Ira Puspadewi: Perempuan yang Dihukum atas Kejujuran dan Keberanian
KEMPALAN: Empat setengah tahun penjara. Angka itu terdengar dingin, tapi bagi Ira Puspadewi, itu seperti belati yang menancap di hati, menghancurkan perjalanan hidup seorang perempuan yang menegakkan integritas tanpa cela. Dunia seolah menudingnya, padahal yang ia lakukan hanyalah menjalankan tanggung jawab.
Sebagai Direktur Utama ASDP, Ira bukan pemimpin biasa. Di tangannya, ASDP berkembang pesat, mencapai prestasi yang nyata dan terlihat oleh semua pihak, bukti kehebatannya dan kerja keras yang tiada tara.
Namun di tengah prestasi itu, muncul tuduhan fantastis: ia disebut merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar. Tuduhan yang dibuat untuk menakut-nakuti, menempelkan stigma, dan menghancurkan reputasi sebelum fakta sempat bicara. Padahal ASDP di tangannya justru mencetak hasil yang nyata dan bermanfaat bagi publik.
Ira menapaki dunia ferry yang keras—terminal gelap, calo puluhan tahun, pungli yang berakar, permainan jadwal kapal, hingga monopoli proyek. Semua itu ia hadapi tanpa mundur, bersenjatakan profesionalisme dan keberanian.
Semua pelabuhan yang dikelola ASDP adalah medan tempur. Ia merapikan satu per satu: tiket digital, gate otomatis, manajemen kapal efisien. Tantangan menghadang di setiap sudut, tapi ia menabrak semuanya dengan tegas dan integritas.
Keputusan strategisnya—akuisisi perusahaan sejenis—bukan tindakan nekat. Itu aksi korporasi yang melalui uji tuntas lengkap, melibatkan berbagai lembaga, konsultan ternama, dan direksi ASDP. Ironisnya, langkah bersih itu dijadikan dasar menyeretnya ke pengadilan.
Lebih pedih lagi, ketua majelis hakim menyatakan Ira TIDAK bersalah, namun kalah suara dengan dua hakim lain. Fakta jernih tersingkir, dan luka di hati Ira menjadi lebih dalam.
Bagaimana mungkin seseorang yang tidak mengambil sepeser pun dipukul tuduhan merugikan negara? Bagaimana mungkin tindakan yang menaikkan kinerja justru dianggap kriminal? Logika dan fakta dipaksa tunduk pada ketidakadilan.
Dan yang lebih menyayat hati: perempuan ini hidup jauh dari kemewahan. Dirut perusahaan besar, tapi tetap sederhana dalam hidup, menghadiri acara biasa tanpa kemewahan, naik transportasi sederhana, tanpa harus dipuja atau dikawal. Sebelumnya, ia meniti karier internasional, bekerja di perusahaan global di luar negeri, mengasah kemampuan dan integritasnya.
Rumahnya di Malang hanya tiga kamar—sederhana, hangat, ramah. Di situ ia memasak sendiri untuk teman-temannya, menyajikan makanan khas daerahnya. Kesederhanaan bukan pencitraan; itu dirinya yang sejati, yang tetap rendah hati meski memimpin perusahaan besar.
Ira merawat sahabat yang sakit, menyediakan pengantar berobat setiap hari, memulangkan pekerja luar negeri yang bermasalah, menampung, membiayai, dan mencarikan pekerjaan. Kebaikannya tak bisa diukur dengan angka; ia menebar manfaat tanpa pamrih.
Apakah mungkin orang seperti ini “merugikan negara”? Tuduhan itu seperti menuduh sungai mencuri air hujan. Yang duduk di kursi terdakwa bukan predator anggaran, tapi perempuan yang membersihkan ASDP dari kubangan kepentingan selama bertahun-tahun.
Hati publik diremas melihat ketidakadilan ini. Namun rasa perih itu harus menjadi bahan bakar perjuangan. Masih ada banding, masih ada kesempatan menegakkan keadilan yang tertindas. Kita tidak boleh diam ketika kebenaran diinjak, dan integritas dipermainkan.
Siapa Ira sebenarnya? Pemimpin yang membawa kemajuan nyata, perempuan yang hidup lurus, manusia yang memilih kebaikan walau tak terlihat. Ia adalah simbol bahwa integritas dan keberanian harus diperjuangkan. Menegakkan keadilan bukan hanya untuk Ira, tapi untuk semua yang percaya bahwa kejujuran harus menang, walau hukum kadang tak adil.
—
Penulis:
M. Rihanudin, Praktisi Penyiaran








