Polemik Gelar Pahlawan Soeharto

waktu baca 5 menit
Soeharto (*)

KEMPALAN: Polemik seputar wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali mencuat ke permukaan di masa pemerintahan Prabowo Subianto.

Isu ini tidak hanya menggugah kenangan sejarah yang kompleks, tetapi juga menyingkap luka lama bangsa yang belum sepenuhnya sembuh.

Soeharto adalah sosok yang begitu besar pengaruhnya dalam perjalanan Indonesia modern—antara penghormatan dan trauma, antara stabilitas dan represi.

Maka, ketika muncul wacana untuk mengangkatnya sebagai pahlawan, publik seolah dihadapkan pada cermin besar yang menyoroti siapa sebenarnya bangsa ini ingin dikenang sebagai teladan.

Soeharto memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade, dari 1967 hingga 1998. Di masa pemerintahannya, Indonesia memang mencapai pertumbuhan ekonomi yang mengesankan.

Jalan raya dibangun, sawah hijau membentang, dan banyak keluarga menapaki jenjang hidup yang lebih baik.

Dalam ingatan sebagian orang, masa Orde Baru identik dengan keteraturan, harga kebutuhan yang stabil, dan rasa aman karena negara tampak tegas mengatur segalanya.

Banyak yang menyebut masa itu sebagai era keemasan pembangunan, ketika jargon “stabilitas politik dan ekonomi” menjadi mantra yang menenangkan.

Namun, di balik narasi kemajuan itu, berdiri sisi gelap yang tak bisa dihapus begitu saja.

Soeharto adalah pemimpin yang membangun kekuasaannya di atas fondasi kekerasan politik, pembungkaman oposisi, dan korupsi yang terlembaga.

Tahun-tahun awal kekuasaannya ditandai dengan tragedi kemanusiaan 1965–1966, di mana ratusan ribu orang kehilangan nyawa dengan dalih penumpasan komunisme.

Tak hanya itu, selama tiga dekade Orde Baru, kebebasan berpendapat menjadi barang langka; pers dikontrol, mahasiswa diawasi, dan aktivis kerap hilang tanpa jejak.

Kekayaan negara pun mengalir ke segelintir keluarga dan kroni, melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai “KKN”—korupsi, kolusi, dan nepotisme—tiga kata yang menjadi simbol keruntuhan kekuasaan Soeharto di 1998.

Wacana pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto, karena itu, bukan sekadar soal penghargaan. Ia adalah ujian moral dan politik bagi bangsa ini.

Di satu sisi, pemerintah Prabowo tampak berusaha mengembalikan narasi sejarah ke dalam konteks “rekonsiliasi nasional”, mengedepankan gagasan bahwa setiap pemimpin memiliki jasa dan kekurangan.

Dalam logika ini, Soeharto dianggap berjasa besar dalam menjaga keutuhan NKRI, mengangkat ekonomi nasional, serta menegakkan disiplin birokrasi dan militer.

Para pendukungnya menilai, jika tokoh lain seperti Soekarno dan bahkan tokoh-tokoh kontroversial lain bisa mendapatkan gelar pahlawan, mengapa Soeharto tidak?

Di sisi lain, gelombang penolakan juga menguat, terutama dari kalangan aktivis hak asasi manusia, akademisi, dan korban represi Orde Baru.

Mereka menganggap gelar pahlawan bukanlah penghargaan atas jasa pembangunan semata, tetapi pengakuan moral terhadap integritas dan kemanusiaan seseorang. Dan di titik itulah Soeharto gagal memenuhi syarat. Bagaimana mungkin seseorang yang memerintah dengan tangan besi, membungkam kritik, dan membiarkan korupsi merajalela bisa disebut pahlawan?

Pemberian gelar itu, bagi sebagian besar penentang, bukanlah penghormatan terhadap sejarah, melainkan penghinaan terhadap ingatan kolektif bangsa yang pernah berjuang melawan ketidakadilan sistem Orde Baru.

Di masa pemerintahan Prabowo, isu ini juga memiliki dimensi politik yang lebih dalam. Prabowo sendiri memiliki hubungan emosional dan historis dengan Soeharto: ia adalah menantunya, bagian dari lingkar dalam kekuasaan militer Orde Baru.

Maka, langkah mengangkat Soeharto sebagai pahlawan bisa dibaca bukan hanya sebagai upaya penghargaan terhadap sejarah, tetapi juga sebagai simbol rekonsiliasi politik pribadi dan institusional antara masa lalu dan masa kini.

Prabowo, yang dulu tersingkir dari militer pasca reformasi dan kini menjadi presiden, tampak berusaha menulis ulang narasi masa lalu: bahwa Orde Baru bukanlah rezim jahat, melainkan periode panjang stabilitas yang salah dipahami oleh generasi reformasi.

Persoalan sejarah tidak bisa diselesaikan dengan romantisme nostalgia. Menjadikan Soeharto pahlawan tanpa membuka kembali luka-luka masa lalunya hanya akan menambah jurang ketidakpercayaan antara negara dan rakyatnya.

Korban pelanggaran HAM, keluarga yang kehilangan anggota karena politik Orde Baru, dan masyarakat yang hidup dalam ketakutan di masa itu, tentu tak bisa begitu saja menerima bahwa pelaku utama dari sistem itu kini disebut pahlawan.

Sebuah bangsa yang ingin maju harus berani menatap sejarah secara jujur, bukan memilih potongan yang nyaman untuk dijadikan simbol kebanggaan.

Di tengah perdebatan ini, kita bisa melihat refleksi yang lebih luas: betapa bangsa ini masih gamang dengan makna kepahlawanan.

Pahlawan, dalam arti sejatinya, adalah sosok yang mengorbankan diri demi kemanusiaan dan keadilan, bukan mereka yang sekadar membawa kemajuan ekonomi sambil menindas kebebasan.

Bila gelar pahlawan hanya menjadi alat legitimasi politik atau pelipur lara nostalgia, maka bangsa ini sedang kehilangan arah moralnya.

Soeharto tidak bisa dihapus dari sejarah—itu fakta. Ia adalah bagian penting dari perjalanan Indonesia, baik dalam kemajuan maupun kejatuhan.

Mengangkatnya sebagai pahlawan berarti menutup mata terhadap luka-luka yang belum sembuh, dan menafikan suara mereka yang selama ini terbungkam.

Gelar pahlawan bukan sekadar penghargaan atas jasa, melainkan penilaian moral terhadap warisan yang ditinggalkan.

Pemerintahan Prabowo kini berada di persimpangan: antara keinginan untuk menghormati masa lalu dan tanggung jawab moral untuk tidak mengkhianati kebenaran sejarah.

Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto mungkin akan memuaskan sebagian kalangan yang rindu stabilitas Orde Baru, tetapi juga berisiko mencederai rasa keadilan generasi yang berjuang merebut kebebasan di era Reformasi.

Pada akhirnya, bangsa ini perlu lebih dari sekadar simbol dan gelar. Kita membutuhkan kejujuran sejarah, keberanian mengakui kesalahan, dan komitmen untuk tidak mengulangnya.

Sebab, pahlawan sejati bukanlah mereka yang sempurna tanpa cela, melainkan mereka yang mengajarkan bangsa untuk tidak lupa—agar masa lalu yang gelap tidak kembali menyelimuti masa depan.
                
                ****

Oleh : Bambang Eko Mei

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *