Perbatasan Terluar : Dilema Aparat dan Kehadiran Negara

waktu baca 3 menit
Salah satu pulau terluar di Indonesia. (Foto : Google).


KEMPALAN : ‎Di perbatasan, di ujung daratan yang bersentuhan dengan laut perbatasan terluar, melahirkan : Dilema Aparat dan Kehadiran Negara.

‎Di perbatasan, di ujung daratan yang bersentuhan dengan laut lepas, idealisme aparat diuji oleh kerasnya realitas. Angin membawa tantangan, gelombang menjadi saksi, dan setiap langkah di tanah terpencil ini adalah ujian bagi negara.

‎Pengalaman Budi Suwarno, yang pernah bertugas sebagai Kepala RRI Nunukan, membuka mata kita tentang getirnya hidup para pengawal perbatasan. Mereka menghadapi dilema sehari-hari: antara tugas menjaga kedaulatan dan kenyataan hidup yang serba terbatas.

Di Sebatik dan wilayah perbatasan lain, biaya operasional tinggi, BBM sering langka, dan fasilitas dasar nyaris tak memadai.

‎Di lapangan, kesulitan itu bukan sekadar cerita. Pos-pos penjagaan kerap beroperasi dengan bahan bakar terbatas; perahu patroli tak bisa melaut karena BBM tak tersedia, atau dana belum cair.

‎Di Miangas, sekitar 80% penghuninya adalah aparat yang hidup dengan air bersih terbatas dan listrik yang hanya menyala beberapa jam sehari.

‎Dalam kondisi seperti itu, sulit berharap pengawasan berjalan efektif. Laut luas yang berbatasan langsung dengan Filipina menjadi jalur yang mustahil diawasi sepenuhnya. Tak heran jika penyelundupan BBM, hasil laut, bahkan barang kebutuhan pokok menjadi hal biasa — bukan semata karena niat jahat, melainkan disebabkan kebutuhan dan keterbatasan yang tak terselesaikan.

‎Miangas tidak hanya dijaga oleh aparat berseragam, tetapi juga oleh RRI yang menembus laut dan angin. Dalam senyapnya perbatasan, radio menjadi benteng kultural dan ideologis yang menjaga Indonesia tetap hidup di hati warganya.

‎Dari potret ini, kita belajar bahwa menjaga perbatasan bukan hanya soal menegakkan aturan, melainkan juga soal menghadirkan negara secara nyata. Integritas tak tumbuh di tengah kekosongan fasilitas, dan loyalitas tak akan utuh jika kebutuhan dasar aparat dan masyarakat tak terpenuhi.

Negara harus hadir lebih kuat di wilayah terdepan —memastikan logistik, infrastruktur, dan kesejahteraan mereka memadai. Sebab di pundak para penjaga terluar itulah, batas kedaulatan bangsa sesungguhnya dipertaruhkan.

‎Namun realitas di lapangan sering jauh dari ideal. Di kawasan perbatasan, ada begitu banyak unsur keamanan—TNI AD, AL, AU, Satgas Pamtas, Bea Cukai, hingga pemerintah daerah —yang semestinya bekerja sama menjaga kedaulatan.

‎Namun praktiknya, sering kali muncul ketegangan antar unsur keamanan dalam menjalankan tugas, terutama ketika menghadapi arus barang dan aktivitas ekonomi yang kompleks di wilayah perbatasan.

‎Bahkan, tidak jarang muncul dugaan keterlibatan aparat dalam pengawalan atau perlindungan terhadap barang-barang ilegal. Kondisi ini biasanya muncul akibat kombinasi pengawasan yang terbatas dan kesejahteraan yang kurang memadai. Inilah wajah kompleks perbatasan kita : tempat idealisme diuji oleh kenyataan, dan tempat negara harus benar-benar hadir, bukan sekadar tercatat di peta.

‎Untuk menghadirkan negara secara nyata, semua unsur aparat harus bekerja sama dengan RRI sebagai sarana komunikasi dan informasi. Sinergi ini memungkinkan aparat tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga menyampaikan informasi penting, edukasi, dan layanan kepada masyarakat.

Dengan demikian, perbatasan bukan sekadar garis batas yang dijaga secara militer, melainkan wilayah yang terhubung, terlayani, dan produktif, di mana rakyat merasa diperhatikan dan negara hadir secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

‎Akhirnya, menjaga perbatasan bukan hanya soal menegakkan hukum atau menahan arus barang ilegal. Kehadiran negara harus membangun ketahanan warga setempat, dengan memastikan mereka terlindungi, terpenuhi kebutuhan dasar, dan memiliki akses terhadap pendidikan, kesehatan, serta peluang ekonomi.

Sinergi aparat dan RRI menjadi ujung tombak strategi ini : negara hadir bukan sekadar di peta, tetapi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Hanya dengan pendekatan menyeluruh inilah kedaulatan bangsa bisa dijaga dengan kokoh, sementara masyarakat perbatasan tetap kuat, mandiri, dan setia pada tanah airnya.


‎M.Rohanudin, penulis, tinggal di Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *