Jika Politik Panggung Wayang, Maka Inilah Dalang Takdir Juga Hancurnya NKRI
Oleh: Cak Bonang
KEMPALAN: Ada satu bab dalam buku besar politik Indonesia yang tidak boleh dihapus sejarah: bab tentang seorang “paman” yang dengan satu ketukan palu berhasil membuka pintu istana untuk seorang jenderal sepuh, sekaligus menggendong seorang pewaris muda masuk ke panggung kekuasaan.
Bukan dongeng, bukan legenda kerajaan — ini republik, tapi rasanya seperti serial drama akhir tahun yang rating-nya dipaksa tinggi oleh algoritma kuasa.
Dulu kita punya Mahkamah Konstitusi sebagai benteng konstitusi.
Ternyata, beberapa waktu lalu, benteng itu lebih mirip pintu VIP lounge — buka tutup sesuai tamu yang ditunggu.
Bayangkan kalau permohonan batas usia 70 tahun itu dikabulkan.
Cerita selesai.
Tidak bisa pelesiran tiap bulan, tidak ada rubrik “Presiden Rakyat” tapi tampil seperti selebritas global.
Dan tentu saja, tidak ada adegan anak muda low capacity yang tiba-tiba diseret naik podium negara. Pseudonim disebut Fufufafa.
Semua itu berawal dari “jasa” seorang hakim yang — kalau republik ini punya penghargaan untuk Layanan Politik Terbaik Kategori Kunci Pintu Kekuasaan — mungkin beliau yang menang mutlak.
Apa tidak pantas diberi Bintang Mahaputera?
Atau sekalian gelar Pahlawan Nasional?
Karena tanpa momen sakral itu, mimpi setengah abad bisa buyar seperti janji kampanye setelah pemilu. Hematlah.
Dan lihatlah hari ini: sejarah disulap seperti pertunjukan panggung.
Tokoh-tokoh yang dulu disebut penyelamat demokrasi, kini lebih cocok disebut kurator ambisi pribadi.
Negara bahkan nyaris terasa seperti perusahaan keluarga, lengkap dengan “program regenerasi” versi politik dinasti.
Kalau ada pepatah “di balik pria besar ada wanita hebat,” di republik ini versinya berubah:
“Di balik seorang presiden, ada satu putusan konstitusi dan seorang hakim yang rela jadi legenda dadakan.”
Jangan khawatir, nanti pasti banyak yang bilang ini demi bangsa, demi stabilitas, demi masa depan Indonesia.
Tentu saja.
Selalu demi bangsa — bangsa siapa, itu pertanyaan lain.
Bangsa rakyat atau bangsa kroni, tinggal pilih sesuai logika kekuasaan.
Sejarah tidak boleh lupa.
Bukan karena kita dendam, tapi supaya rakyat tahu:
Ada saat ketika nasib negara ditentukan bukan oleh suara jutaan rakyat, tetapi oleh satu orang, satu palu, dan satu mimpi yang terlalu mahal untuk gagal total.
Kalau republik ini panggung sandiwara, setidaknya kita tahu siapa sutradaranya, siapa pemain tambahan, dan siapa yang cuma tepuk tangan sambil berharap dapat jatah cameo lima tahun mendatang.
Dan buat yang merasa berjasa membuka pintu kekuasaan untuk dua generasi sekaligus — tenang.
Nama kalian tidak akan hilang.
Bahkan jika lupa ditulis sejarah, memori publik tetap menyimpan satu kalimat satir abadi:
“Ketika demokrasi ragu, satu palu memutuskan arah negeri.” Amsyong!
Cak Bonang
Aktivis — Srawungan AKAS
Arek Kampung Suroboyo
Trawas, Kamis, 6 November 2025









