Soeharto,Pahlawan atau Penjahat?
KEMPALAN: Presiden ke-2 RI Soeharto diusulkan menjadi pahlawan nasional. Kontroversi pun langsung pecah. Pertanyaan pun muncul, Soeharto the hero, atau Soeharto the villain, Soeharto sang Pahlawan atau Soeharto sang Penjahat?
Pertanyaan semacam itu pasti sulit dijawab. Setiap orang punya interpretasi yang berbeda-beda. Pertayaan tanpa pilihan semacam itu membuat tiap orang tersudut karena fait accompli.
Bagi yang pro terhadap pemahlawanan Soeharto pertanyaan itu mudah dijawab, ‘’Yes, Soeharto the Hero’’. Tapi, bagi yang kontra, apakah akan setegas itu menjawab, ‘’No, Soeharto the Villain’’. Tidak, Soeharto si Penjahat.
Labeling sebagai penjahat bisa jadi terasa sangat keras dan pedas. Sebaliknya, menyematkan gelar agung Soeharto sebagai sang pahlawan tentu saja harus diberi catatan kaki. Atau, seperti promosi barang, harus ada (*) asterisk kecil dan tertulis ‘’terms and conditions apllied’’, syarat dan ketentuan berlaku.
Presiden pertama dan kedua, Sukarno dan Soeharto sama-sama kontroversial. Perjalanan hidupnya penuh ilustrasi. Sampai sekarang Sukarno masih mempunyai banyak pemuja. Pun juga Sukarno mempunyai sangat banyak pembenci.
Peran Bung Karno dalam proses kemerdekaan Indonesia tidak diragukan. Ketika situasi geopolitik berkecamuk hebat dan Pasukan Sekutu bisa menghancurkan koalisi fasisme Jepang, Jerman, dan Italia, anak-anak muda revolusioner memaksa supaya East Indies segera merdeka. Mereka tidak punya pilihan lain kecuali datang kepada Sukarno.
David van Reybrouck dalam buku ‘’Revolusi; Indonesia and The Birth of the Modern World’’ (2025) menggambarkan situasi Indonesia memanas karena dunia berkecamuk setelah kekalahan Pasukan Fasis akibat jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima.
Reybrouck menggambarkan dengan detail suasaana di East Indies dan di negara-negara Eropa dengan mewawancarai ratusan orang saksi mata yang sekarang masih hidup. Rata-rata usia saksi mata itu di atas 90 tahun dan ada yang sudah tembus 100 tahun.
Dari kesaksian para saksi mata dan penelusuran dokumen yang njelimet, Reybrouck menggambarkan bagaimana Sukarno menjadi pahlawan sekaligus penjahat. Bagi Jepang, Sukarno ialah sahabat. Tapi bagi Inggris dan Belanda Sukarno ialah penjahat yang harus segera ditangkap.
Menurut Roybrouck, hanya ada tiga kekuatan yang paling konsisten dalam melakukan perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme Belanda di East Indies dan kolonialisme secara umum di seluruh dunia. Tiga kekuatan itu adalah Islam, komunisme, dan nasionalisme.
Sukarno menyadari sepenuhnya hal itu dan berusaha melakukan sintesa untuk menyatukan ketiga kekuatan itu. Hal itu terlihat dalam artikelnya yang tersohor berjudul ‘’Nasionalisme, Islam, dan Marxisme’’ (1926). Sukarno ingin menyatukan ketiga kekuatan itu. Maka ia pun memperkenalkan konsep Nasakom, nasionalisme, agama, dan komunisme.
Itikad baiknya itu tidak berjalan mulus. Tiga kekuatan itu tidak bisa dipersatukan. Upaya Sukarno untuk menjadi pemersatu malah berakibat fatal baginya. Ia dituduh sebagai bagian dari PKI (Partai Komunis Indonesia) yang memberontak pada 1965.
Sukarno jatuh dan muncullah Soeharto. Jenderal pendiam yang tidak banyak bicara. Ia memegang peran penting dalam pergolakan yang penuh misteri pada 30 September 1965. Sebagai komandan Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) ia memegang posisi sentral. Tetapi, namanya tidak masuk dalam daftar 7 jenderal yang diculik.
Jared Diamond dalam ‘’Upheaval; How Nations Cope with Crisis and Change’’ (2019) menyamakan Soeharto dengan Jenderal Augusto Pinochet di Chile. Dua-duanya jenderal pendiam yang tidak masuk hitungan. Tetapi kemudian namanya muncul pada saat yang tepat dan kemudian memegang kepemimpinan.
Soeharto dan Pincochet sama-sama jenderal yang sangat anti-komunis, dan mempunyai hubungan dekat dengan Amerika melalui CIA (Central Intelligence Agency), agen rahasia Amerika. Keduanya kemudian menjadi ujung tombak dalam perburuan untuk menghancurkan gerakan komunis. Soeharto menjadi ujung tombak di Asia Tenggara, Pinochet menjadi pemburu komunisme di Amerika Selatan.
Keduanya mendapat perlindungan dari Amerika Serikat sekaligus pembiayaan. Selama mereka masih dipakai untuk mencapai kepentingan Amerika mereka dilindungi. Tetapi, ketika mereka sudah tidak lagi dibutuhkan mereka pun dilepas, good bye.
Bagi banyak orang Soeharto adalah pahlawan. Bagi lainnya dia penjahat. Tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Prof. Dr Salim Said almarhum dengan tegas membela Soeharto dan menuduh PKI sebagai dalang kudeta 1965. Cornell Paper bikinan Ben Anderson dan kawan-kawan menganalisis peristiwa itu sebagai puncak persaingan antar-jenderal Angkatan Darat, dan PKI (Partai Komunis Indonesia) tidak terlibat.
Kalau kita membaca Vincent Bevins ‘’The Jakarta Method: Washington Anti-Communist Crusade and the Mass Murder Program that Shapes Our World’’ (2020) akan tergambar bagaimana Amerika mendesain sebuah perburuan terhadap kaum komunis di seluruh dunia dengan metode yang sistematis dan masif. Metode yang dipakai seragam di seluruh dunia, dan ujicoba dilakukan dengan sukses di Jakarta. Karena itu metode itu disebut sebagai ‘’The Jakarta Method’’.
Dalam metode itu Angkatan Darat menjadi ujung tombak perburuan terhadap kaum komunis. Gerakan itu disokong dengan dana besar dan senjata, serta dukungan media massa yang memprovokasi masyarakat untuk ikut memburu kaum komunis.
Bagi kalangan Islam di Indonesia dan kaum nasionalis anti-komunis Soeharto adalah pahlawan. Tanpa Soeharto sangat mungkin PKI akan berkuasa di Indonesia. Dampak domino akan terjadi di Asia Tenggara yang bakal jatuh ke tangan komunis setelah kejatuhan Indonesia.
Bola sekarang ada di kaki Presiden Prabowo Subianto. Ia harus memutuskan apakah sang mantan mertua itu pahlawan atau penjahat. ()
Oleh: Dhimam Abror Djuraid









