‎Penggunaan Etanol, Jangan Korbankan Rakyat

waktu baca 3 menit
Foto ilustrasi pengisian BBM di SPBU. (Foto: Google).

KEMPALAN : Indonesia tengah berada di persimpangan energi penuh risiko. Kebijakan menaikkan kadar etanol di BBM seharusnya didasari data lapangan, studi teknis independen, dan kesiapan kendaraan rakyat. Laporan mogok dan brebet kendaraan yang muncul di beberapa wilayah menjadi alarm keras bahwa transisi energi tidak bisa dipaksakan secara tergesa-gesa.

‎Semestinya pemerintah tidak cepat-cepat menaikkan kadar etanol di Pertalite.

Hingga Oktober 2025, tercatat 162 laporan kendaraan mogok setelah mengisi BBM di sekian wilayah di Jawa Timur.

‎Konsumsi Pertalite nasional pada 2024 mencapai 29,7 juta kL dari kuota 31,6 juta kL. Fakta ini memperlihatkan bahwa mayoritas kendaraan belum siap menghadapi campuran etanol tinggi. Proyeksi 2025 bahkan menunjukkan konsumsi bisa menembus 32,1– 32,2 juta kL.

‎Studi independen memang menunjukkan campuran etanol E10–E20 dapat meningkatkan angka oktan dan menurunkan emisi. Namun kenyataannya, banyak kendaraan lama memiliki sistem bahan bakar yang tidak kompatibel.

Distribusi BBM di SPBU pun masih rawan kualitas buruk, dari air bebas, endapan, hingga pencampuran ilegal yang menambah risiko kerusakan mesin.

‎TRANSISI BERTAHAP, BUKAN UJI CEPAT

‎Kapasitas produksi etanol nasional 2024 tercatat 303.325 kL, tetapi realisasi hanya 160.946 kL. Artinya, supply chain belum matang, dari feedstock hingga distribusi.

‎Jika campuran etanol dipaksakan, pasokan bisa terganggu sementara kendaraan tidak kompatibel tetap harus menggunakan bahan bakar berisiko.

‎Sebagian besar kendaraan di Indonesia berusia lebih dari 10 tahun. Sistem injeksi, pompa bensin, dan seal mesin tidak dirancang untuk etanol tinggi.

Mengorbankan kendaraan rakyat demi target angka adalah kesalahan fatal. Distribusi BBM di SPBU juga rawan kualitas buruk, dari air bebas, endapan, hingga alat ukur yang tidak presisi.

‎Laporan lapangan dari Jatim wajib menjadi referensi. Uji laboratorium tidak selalu mencerminkan kondisi jalan, kualitas BBM di SPBU, dan cara penggunaan kendaraan.

‎Keputusan tanpa pertimbangan ini bisa menimbulkan kegagalan massal. Kendaraan mogok berarti biaya perbaikan tinggi, gangguan mobilitas, dan menurunnya produktivitas. Kebijakan dipaksakan akan menambah beban ekonomi rumah tangga dan bisnis kecil yang mengandalkan transportasi.

‎Pelajaran dari provinsi lain menunjukkan bahwa penerapan E10 awalnya lancar, tetapi kendaraan lama menghadapi masalah dalam beberapa bulan.

‎Uji kompatibilitas harus bertahap dan menyeluruh, bukan dalam skala nasional sekaligus. Kebijakan bioetanol seharusnya dijalankan bertahap, mulai dari E3–E5, sambil melakukan uji lapangan menyeluruh pada berbagai tipe kendaraan.

‎Ambisi energi bersih Indonesia harus dibangun di atas data lapangan, uji teknis transparan, dan kesadaran bahwa setiap kendaraan rakyat adalah ujung tombak keberhasilan kebijakan.

‎Transisi terburu-buru hanya menjadikan rakyat korban, bukan penerima manfaat. Pemerintah perlu menunda campuran tinggi BBM, memastikan kompatibilitas mesin, dan memperkuat pengawasan kualitas di SPBU.

‎Energi bersih bukan sekadar target angka. Itu proses teknis dan sosial yang memerlukan kesabaran, uji lapangan, dan kesiapan infrastruktur.

‎Mogok massal dan brebet bukan insiden kecil, tetapi sinyal bahwa transisi harus hati-hati. Indonesia bisa memimpin energi hijau, tapi hanya jika setiap langkah ditempuh dengan data, teknik, dan tanggung jawab pada rakyat.


‎M.Rohanudin, penulis, tinggal di Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *