Setahun Prabowo : Antara Harapan dan Ujian Sejarah

waktu baca 5 menit
Ilustrasi setahun Prabowo Gibran

KEMPALAN Setelah menunggu selama lebih dari satu dekade dan melalui tiga kali kegagalan dalam perebutan kursi kepresidenan, akhirnya Prabowo Subianto menjejakkan kakinya di Istana Negara sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2024–2029.

Jalan panjang yang ditempuhnya adalah kisah tentang ambisi, keteguhan, dan kalkulasi politik yang tidak mudah.

Seperti kata pepatah klasik Machiavelli dalam The Prince, “Lebih mudah merebut kekuasaan daripada mempertahankannya.”

Ungkapan itu kini seolah menjadi cermin dari babak baru perjalanan politik Prabowo, di mana kemenangan bukanlah akhir perjuangan, melainkan awal dari pertarungan yang lebih sulit — pertarungan melawan ekspektasi publik dan realitas bangsa yang kompleks.

Satu tahun sudah Prabowo menjabat sebagai presiden, dan rakyat kini menagih janji yang dulu mengisi ruang kampanye dengan gegap gempita: janji kesejahteraan, pemerataan ekonomi, reformasi birokrasi, serta kemandirian nasional.

Di setiap kampanye, Prabowo tampil dengan retorika yang kuat, menggugah rasa nasionalisme, dan menyalakan kembali api optimisme publik yang mulai padam.

Ia berbicara tentang Indonesia yang berdikari, adil, serta sejahtera, dan dengan gaya khasnya yang tegas, ia berhasil menciptakan citra sebagai pemimpin yang kuat, berani, dan nasionalis.

Setelah satu tahun berkuasa, realitas pemerintahan ternyata tidak sesederhana retorika di panggung politik.

Persoalan yang dihadapi Indonesia memang jauh lebih dalam daripada sekadar pergantian presiden.

Kemiskinan masih menjadi wajah buram yang sulit dihapus, dengan jutaan rakyat yang hidup di bawah garis sejahtera.

Ketimpangan ekonomi terus menganga — di mana kota besar menjadi etalase modernitas, sementara desa tetap menjadi cermin keterbelakangan.

Pendidikan belum mampu menciptakan manusia merdeka yang kritis dan produktif; justru sistemnya sering kali melahirkan generasi yang pandai menghafal tetapi miskin analisa.

Dan di balik itu semua, ketidakadilan hukum serta korupsi tetap bersembunyi di balik jubah kekuasaan yang gemerlap.

Prabowo kini berdiri di antara dua tebing: di satu sisi, rakyat menaruh harapan besar padanya; di sisi lain, realitas politik dan birokrasi warisan lama terus menarik langkahnya ke jurang kompromi.

Inilah dilema yang dihadapi setiap pemimpin besar: bagaimana mengubah idealisme menjadi kebijakan konkret tanpa kehilangan jiwa.

Dalam konteks ini, Prabowo sesungguhnya sedang menghadapi ujian sejarah — apakah ia akan menjadi reformis yang menulis bab baru dalam sejarah Indonesia, atau hanya penguasa yang mengulang pola lama dengan wajah berbeda.

Sosiolog Jerman, Max Weber, pernah mengatakan bahwa setiap pemimpin harus memiliki “ethic of responsibility” — etika tanggung jawab terhadap konsekuensi dari setiap keputusan politiknya.

Etika tanggung jawab inilah yang kini diuji dalam kepemimpinan Prabowo. Rakyat tidak hanya menuntut janji yang manis, tetapi juga keadilan yang nyata. Sebab bagi rakyat kecil, keadilan bukan soal pidato, melainkan soal harga beras, biaya sekolah, dan rasa aman di jalanan.

Jika Prabowo gagal menjembatani jarak antara kata dan kenyataan, maka sejarah akan mencatatnya sebagai presiden yang kehilangan momentum emas untuk mengubah arah bangsa.

Tantangan terbesar bagi Prabowo justru datang dari dalam: dari struktur kekuasaan yang dikelilingi kompromi politik, kepentingan partai, serta kekuatan oligarki yang selama ini menumpang di setiap pemerintahan.

Dalam sistem politik yang transaksional, idealisme sering kali menjadi korban pertama.

Pemerintah bisa berbicara tentang reformasi, tapi di belakang layar, lobi-lobi bisnis dan kepentingan elite ekonomi tetap mengatur arah kebijakan.

Ini adalah lingkaran setan yang telah lama mengurung republik ini — dan Prabowo, dengan segala kekuatannya, harus membuktikan bahwa ia mampu memutus rantai itu.

Menurut Joseph E. Stiglitz, ekonom peraih Nobel asal Amerika Serikat, “Ketimpangan bukanlah konsekuensi tak terhindarkan dari ekonomi modern, tetapi hasil dari pilihan politik yang salah.”

Pandangan Stiglitz itu sangat relevan dengan kondisi Indonesia hari ini. Ketimpangan dan kemiskinan tidak muncul begitu saja; ia adalah hasil dari kebijakan yang berpihak pada segelintir orang.

Jika Prabowo ingin dikenang sebagai pemimpin transformasional, maka langkah pertama yang harus ia lakukan adalah menata ulang arah kebijakan ekonomi agar benar-benar berpihak pada rakyat kecil — bukan hanya pada para pemilik modal.

Namun, untuk melakukan itu, Prabowo memerlukan keberanian politik yang luar biasa. Ia harus berani menabrak kenyamanan oligarki yang telah lama menopang kekuasaan di negeri ini.

Ia harus membuktikan bahwa nasionalisme bukan sekadar slogan, melainkan keberanian menegakkan kedaulatan ekonomi dan politik.

Rakyat bisa menerima keterlambatan pembangunan, tapi mereka tidak akan memaafkan kepemimpinan yang tunduk pada kepentingan elite.

Dalam hal ini, Prabowo harus memahami bahwa menjadi presiden bukanlah soal kebesaran nama, melainkan kebesaran tanggung jawab moral.

Tahun pertama kepemimpinan selalu menjadi penentu arah pemerintahan. Ia seperti fondasi rumah: jika diletakkan dengan benar, bangunan akan kokoh; jika tidak, seluruh struktur akan rapuh.

Dalam satu tahun ini, publik mulai menilai: apakah arah pemerintahan Prabowo benar-benar menuju reformasi yang dijanjikan, atau sekadar melanjutkan tradisi kompromi yang membosankan?

Sebab sejauh ini, meski banyak program besar diumumkan, sebagian rakyat merasa perubahan belum benar-benar terasa di ruang hidup mereka.

Harga kebutuhan pokok masih tinggi, lapangan kerja belum terbuka luas, dan birokrasi masih lambat seperti biasa.
Meski demikian, masih ada ruang optimisme.

Prabowo dikenal memiliki ketegasan dan gaya kepemimpinan yang berbeda dari pendahulunya.

Jika ia mampu mengarahkan energi politiknya untuk membersihkan birokrasi, memperkuat hukum, dan menegakkan keadilan sosial, maka ia berpotensi mengubah wajah republik ini.

Namun, jika ia justru larut dalam permainan kekuasaan, maka tahun-tahun berikutnya hanya akan menjadi catatan retorika kosong.

Rakyat Indonesia telah terbiasa menunggu pemimpin yang bisa mengembalikan kepercayaan pada negara.

Satu tahun kekuasaan Prabowo belum cukup untuk menilai segalanya, tetapi cukup untuk melihat arah langkahnya.

Apakah ia akan menjadi sosok negarawan yang menegakkan janji perubahan, atau sekadar presiden yang menikmati kekuasaan tanpa meninggalkan warisan berarti.

Pada akhirnya, sejarah tidak menilai dari seberapa sering seseorang gagal atau menang dalam pemilu, tetapi dari seberapa besar ia mampu mengubah nasib bangsanya.

Dan kini, sejarah menunggu: apakah Prabowo Subianto akan menjadi presiden yang dikenang karena membuktikan janjinya, atau karena gagal menepatinya.

Oleh Bambang Eko Mei

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *