Perempuan Jawa, Era Kebebasan, dan Tik Tok
Oleh:
Faiz Rafdillah
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi
Universitas Sahid Jakarta
DI BALIK layar ponsel, tubuh-tubuh muda perempuan menari mengikuti irama pop global. Sekilas, ini hanyalah hiburan ringan: lambaian tangan, goyangan pinggul, senyuman manis diiringi lagu viral. Namun ketika seorang gadis bersanggul dan berkebaya tampil dalam joget yang memancing kontroversi, ruang komentar pun gaduh. Ada yang memuji kebebasan, ada pula yang mencaci: “Lho, kowe kuwi wong Jowo, kok ngono tumindake?”
Di era TikTok yang menyamaratakan gaya hidup, berjoget tak lagi sekadar hiburan. Ia menjadi simbol kebebasan, validasi, dan bahkan afirmasi identitas. Namun bagi sebagian perempuan Jawa, kebebasan itu berbenturan dengan nilai budaya tempat mereka tumbuh, alusing budi, empu rasa, dan ajining diri.
Dalam tradisi Jawa, perempuan diajarkan untuk eling lan waspada, menjaga sikap, dan tahu tempat. Maka, setiap gerak tubuh di ruang digital bisa dianggap menyalahi kodrat sosial yang diwariskan.
Lantas, apakah mereka berjoget sekadar untuk hiburan, atau sedang memperjuangkan ruang untuk dilihat dan didengar? Apakah ini bentuk perlawanan terhadap nilai lama, atau negosiasi antarbudaya yang senyap? Ketika jari menari di layar, budaya yang kita kenal bisa terguncang, atau justru bertransformasi.
Budaya Jawa dan Konstruksi
Perempuan Ideal
Di tengah derasnya modernitas, budaya Jawa masih memegang konstruksi kuat tentang perempuan: lemah lembut, tahu malu, berbudi, dan menjaga martabat keluarga. Nilai seperti ajining diri soko lathi, ajining raga soko busana menjadi pondasi moral perempuan sejak dini. Ini bukan semata bentuk pengekangan, tapi cara menjaga harmoni dan tata krama.
Namun di media sosial, tafsir atas “martabat” menjadi lebih cair. Perempuan yang menari di TikTok, berbicara lantang, dan mengekspresikan tubuhnya langsung bersinggungan dengan nilai tersebut. Ada yang melihatnya sebagai pembebasan, ada pula yang menilainya sebagai hilangnya identitas kultural.
Dalam komunikasi antarbudaya, ketegangan ini mencerminkan pertemuan dua sistem nilai: budaya lokal yang kolektif, dan media baru yang individualistik. TikTok sebagai ruang ekspresi digital tak mengenal batas budaya. Tapi masyarakat, terutama yang menjunjung nilai lokal, menilainya dari lensa adat dan sopan santun.
Joget di TikTok kini menjadi bahasa sosial. Ia menyampaikan pesan, menarik perhatian, dan menegaskan eksistensi. Bagi anak muda, ini adalah cara membentuk identitas di dunia maya. Namun dalam konteks Indonesia, khususnya Jawa, joget dahulu adalah bagian dari pertunjukan yang teratur, punya panggung dan tata waktu. Kini, ia bisa muncul di kamar, teras, bahkan sawah, ruang publik dan privat melebur.
Perempuan muda Jawa yang dahulu diajarkan untuk nyadhong rasa (menahan diri), kini memiliki panggung sendiri untuk bicara lewat tubuh. Ini menimbulkan gesekan: sebagian masyarakat menganggap joget TikTok merusak citra perempuan, apalagi jika gerakannya sensual atau busananya terbuka. Namun banyak pula yang membela sebagai hak atas tubuh dan ekspresi sah.
TikTok menjadi arena tarik-menarik antara norma dan ekspresi, adat dan modernitas, lokal dan global. Di pusaran itu, perempuan Jawa bukan lagi penonton, mereka aktor utama yang sedang menulis ulang narasi tubuh, budaya, dan martabatnya.
Budaya dan Media Digital:
Konflik atau Evolusi?
Pertemuan budaya tradisional dan media digital bukan sekadar konflik nilai, tapi medan dialektika. Budaya tak pernah diam, dan media baru bukan hanya hiburan, tapi arena evolusi kultural. Apakah kita menyaksikan keruntuhan norma atau lahirnya bentuk baru budaya?
Dalam perspektif komunikasi antarbudaya, ini disebut cultural convergence: pertemuan dan percampuran nilai. Ketika budaya Jawa yang menjunjung tata krama bertemu logika algoritma, yang mengejar engagement, viralitas, dan ekspresi bebas, terjadi benturan sekaligus pembaruan.
Apakah perempuan Jawa yang berjoget kehilangan identitasnya? Atau justru sedang mengartikulasikan eksistensinya di tengah zaman? Tak ada jawaban tunggal. Budaya bukan monumen; ia bergerak. Lewat media digital, budaya bisa diperluas, dijangkau, bahkan diredefinisi oleh generasi yang hidup bersamanya.
Namun tak bisa diabaikan, media sosial bekerja dengan logika yang keras. Validasi datang dari jumlah suka, komentar, dan berbagi. Maka tak heran jika banyak perempuan muda terjebak dalam siklus konten yang mengundang perhatian. Joget yang dulu untuk diri sendiri, kini menjadi alat bertahan di hadapan algoritma. Gerakan sensual atau busana mencolok lebih dianggap “layak tayang” dibanding yang biasa.
Di sinilah terjadi negosiasi antara budaya algoritma dan nilai komunal. Tradisi yang dibentuk oleh kebersamaan harus berhadapan dengan sistem digital yang menilai berdasarkan angka. Ini bukan hanya tentang budaya dan teknologi, tetapi tentang bagaimana perempuan, terutama dari latar budaya seperti Jawa, menavigasi dirinya sendiri, audiens, dan sistem digital.
Apakah tubuh mereka hanya sekadar konten? Atau justru sedang mengklaim panggung yang selama ini tak tersedia? Lagi-lagi, jawabannya tak Tunggal, hanya ruang tafsir yang terus terbuka.
Apa yang dianggap tabu di satu budaya bisa lumrah di tempat lain. Tapi di era digital, batas-batas ini makin kabur. Joget di TikTok mungkin tampak sepele, tapi menyimpan dinamika: antara nilai lama dan tuntutan baru, antara hasrat eksistensi dan beban identitas.
Kita perlu bijak dalam menilai. Tidak gegabah menghakimi, tapi juga tak abai terhadap dampaknya. Media digital bukan musuh, begitu pun tradisi. Yang dibutuhkan adalah kesadaran kritis bahwa setiap tindakan, termasuk berjoget di TikTok, menyimpan tafsir yang lebih dalam dari yang tampak.
Dan bagi perempuan Jawa yang kini menari di depan kamera, mungkin itu bukan sekadar gerakan tubuh. Tapi sebuah narasi: bahwa mereka pun berhak tampil, bersuara, dan menentukan identitas mereka sendiri. Meski jalannya tidak selalu mudah. (*)