Menjaga Harmoni Budaya di Tengah Kampanye Pesta Politik
Oleh:
Suryo Putro
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi
Universitas Sahid Jakarta
BERBAGAI kontestasi politik termasuk pemilihan kepala daerah dengan segala hiruk pikuknya sesungguhnya bukan sekadar kontestasi politik, namun juga bertemunya individu-individu dengan identitas budaya yang seragam. Misalnya Pilkada DKI Jakarta 2024, di mana terjadi dinamika komunikasi antarbudaya dalam interaksi antara Ridwan Kamil dan Rano Karno. Dua kandidat yang mencerminkan nilai budaya berbeda, dalam konteks media digital yang terfragmentasi serta membentuk opini publik multikultural.
Ini menggambarkan betapa kesalahpahaman antar budaya dapat memperkuat resistensi kultural, khususnya ketika simbol-simbol budaya lokal diabaikan atau salah tafsir. Sementara itu, strategi pemulihan citra melalui gerakan visual dan narasi emosional menjadi kunci untuk meredakan konflik dan membangun legitimasi.
Tingkat penetrasi media sosial yang mencapai 80% di kalangan penduduk membuat arena komunikasi politik semakin kompleks dan terpengaruh oleh logika viralitas. Selama kampanye Pilkada DKI Jakarta 2024, data polling independen mencatat peningkatan signifikan sebesar 10% dalam dukungan dari kalangan milenial untuk Ridwan Kamil dalam satu bulan, sedangkan dukungan untuk Rano Karno tetap kuat di komunitas lokal yang menghargai budaya.
Kondisi ini memperkuat bahwa strategi komunikasi politik di era digital tidak hanya menuntut penguasaan isu substansial namun juga sensitivitas budaya dan kemampuan mengadaptasi gaya komunikasi yang sesuai dengan karakter demografis.
Pilkada DKI Jakarta tahun 2024 berlangsung dalam lanskap sosial yang semakin kompleks. Bukan hanya akibat perubahan status administratif Jakarta dari Ibu Kota Negara menjadi Daerah Khusus Jakarta, tetapi juga karena tingginya dinamika kultural dan digital di ruang publik.
Jakarta menjadi representasi ruang sosial dengan keragaman etnis, agama, bahasa, dan gaya hidup yang kaya. Dalam konteks ini, proses komunikasi politik tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya dan teknologi yang membentuk bagaimana individu dan kelompok memahami, memproduksi, dan menanggapi pesan politik. Komunikasi politik di Jakarta tidak hanya ditentukan oleh program atau slogan pilihan, melainkan oleh kemampuan kandidat untuk merespons sensitivitas kultural pemilih.
Terlebih di era digital, medan komunikasi politik telah bertransformasi menjadi ruang interaktif yang tidak hanya cepat, visual, dan algoritmis, namun juga dibumbui potensi misinterpretasi antar identitas budaya. Kandidat tidak hanya menyampaikan program, tetapi juga tampil sebagai person with culture, individu yang membawa nilai, simbol, dan praktik komunikasi khas dari budaya asalnya, siap bertemu, berbenturan, atau dinegosiasikan dengan budaya publik lain.
Dalam konteks ini, Pilkada DKI 2024 menarik untuk diperhatikan, terutama persaingan antara dua figur publik dengan perbedaan kultur dan gaya komunikasi: Ridwan Kamil dan Rano Karno. Ridwan Kamil, yang merupakan mantan Wali Kota Bandung dan Gubernur Jawa Barat, dikenal membawa gaya komunikasi Sunda yang simbolis, kreatif, dan berorientasi digital.
Di sisi lain, Rano Karno, mantan Wakil Gubernur Banten dan ikon budaya Betawi, terkenal dengan pendekatan yang tradisional, emosional, dan narasi lokal. Pertemuan mereka di ruang publik Jakarta menciptakan dinamika komunikasi yang kompleks, termasuk saat terjadi konflik simbolik, negosiasi makna, hingga pemulihan citra melalui gerak visual di media digital. Lebih dari sekadar strategi kampanye adalah bagaimana kedua kandidat, sebagai individu berbudaya, berinteraksi, tidak hanya saat debat atau kampanye melainkan dalam membentuk persepsi publik yang sangat peka terhadap isu-isu budaya.
Salah satu kasus yang menunjukkan pentingnya dimensi ini adalah ketika Ridwan Kamil digugat karena dianggap melecehkan suporter sepak bola lokal, The Jakmania, yang secara kultural mewakili sub-identitas urban Jakarta. Meskipun terkesan sepele, insiden ini memicu resistensi kultural dan menunjukkan bagaimana kegagalan memahami sensitivitas budaya lokal dapat berdampak pada legitimasi politik.
Kampanye politik kini tidak lagi terbatas pada pengumpulan massa secara fisik tetapi beralih ke ruang virtual. Instagram, TikTok, YouTube, dan X (Twitter) menjadi medan utama persaingan narasi dan arena partisipasi lintas budaya. Kampanye digital memungkinkan pesan politik menjangkau beragam segmen masyarakat, melampaui batas geografis dan waktu. Hal ini memudahkan komunikasi lintas etnis, agama, dan usia, terutama untuk menjangkau pemilih muda yang aktif di platform digital. Generasi muda, khususnya Gen Z, sangat tertarik pada konten interaktif dan cerita dari influencer yang mewakili keragaman budaya.
Pasangan calon seperti Pramono Anung dan Rano Karno sukses dalam menggunakan pendekatan komunikasi politik yang inklusif dengan mengakomodasi berbagai komunitas etnis dan agama di Jakarta. Narasi kampanye seperti “Jakarta Bersama untuk Semua” dijadikan simbol persatuan, dan kebudayaan lokal seperti Betawi, Tionghoa, Sunda, serta lainnya ditonjolkan dalam berbagai acara kampanye.
Para kandidat aktif merangkul tokoh-tokoh adat, pemuka agama, dan komunitas lokal baik melalui acara offline maupun digital. Upaya ini memperkuat pesan kebersamaan dan membangun jembatan komunikasi antara kelompok budaya yang berbeda.
Pilkada DKI Jakarta 2024 menjadi momen penting dalam praktik demokrasi yang memanfaatkan media digital secara besar-besaran. Di tengah keragaman budaya, etnis, dan agama masyarakat Jakarta, komunikasi lintas budaya dalam kampanye digital dihadapkan pada berbagai tantangan penting yang harus diwaspadai untuk menjaga harmoni dan inklusivitas.
Salah satu tantangan yang nyata adalah penyebaran informasi palsu atau hoaks, serta kampanye negatif berdasarkan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Algoritma media sosial cenderung menyekat pengguna ke dalam ruang digital yang homogen, di mana mereka hanya melihat konten yang sejalan dengan pandangan mereka sendiri.
Fenomena yang dikenal sebagai ruang gema ini mengakibatkan terbatasnya dialog antar budaya dan memperkuat segregasi antar komunitas di ruang daring. Hal ini menjadikan ruang digital kurang inklusif dan memperluas jarak komunikasi antar kelompok yang beragam. Masih banyak pemilih, khususnya kelompok usia lanjut dan masyarakat dengan latar belakang pendidikan yang lebih rendah, yang belum memiliki literasi digital dan budaya yang memadai.
Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap provokasi, stereotip negatif, dan kesalahpahaman terhadap pesan kampanye yang kompleks. Kurangnya kapasitas dalam memilah informasi dan memahami konteks budaya secara seimbang menjadi hambatan serius dalam komunikasi lintas budaya.
Media digital yang terbuka memunculkan tantangan tersendiri dalam mengendalikan ujaran kebencian dan konten intoleran. Agar kampanye digital dapat berlangsung damai dan kondusif, dibutuhkan kerja sama yang kuat antara pemerintah, platform digital seperti Meta, Google, dan TikTok, serta masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan dan edukasi konten. Upaya moderasi aktif menjadi kunci untuk mengurangi risiko konflik budaya di ranah digital.
Kampanye digital dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 mencerminkan transformasi komunikasi politik yang sangat dinamis. Namun tantangan lintas budaya seperti penyebaran hoaks berbasis SARA, polarisasi digital, literasi yang belum merata, eksklusi teknologi, penyesuaian pesan budaya, dan pengawasan konten masih menjadi rintangan yang harus diatasi. Dengan strategi komunikasi yang tepat dan kerjasama semua pihak, kampanye digital dapat menjadi ruang inklusif yang memperkuat persatuan dan keberagaman di Jakarta. (*)