Pak Sam, Kawan Diskusi yang Sangat Baik

waktu baca 3 menit
Almarhum Pak Sam Abede Pareno.

KEMPALAN: Mungkin, saya yang pupuk bawang dan bau kencur ini dalam dunia tulis-menulis tidak berhak berkomentar banyak ihwal almarhum Pak Sam Abede Pareno yang wafat pada hari ini, Sabtu (30/4). Tapi, perkenankan saya berbagi sedikit pengalaman saat dulu obrolan kami berdua.

Sebenarnya sudah lama saya mendengar nama Pak Sam Abede Pareno, atau biasa dikenal Pak Sam sejak saya berkuliah semester awal, tapi saya baru berkomunikasi langsung dengan beliau pada 22 Agustus 2021 silam ketika sudah bekerja di Kempalan. Beberapa kali Pak Sam mengirim artikel ke situs ini dan saya membantu menyuntingnya.

Pada perjumpaan hari itu, saya melihat kerendahatian Pak Sam, karena ketika saya memanggilnya “Prof,” beliau justru bilang untuk memanggil “Pak” saja karena sudah bukan “Prof” lagi. Kebetulan Pak Sam juga meminta foto yang saya pakai dalam artikel itu, karena senang dengan foto tersebut (foto itu adalah foto unggulan yang saya pakai dalam artikel ini).

Beberapa artikel beliau yang saya sunting, diantaranya Lomba Mural, antara Kreativitas dan Perlawanan serta artikel Demokrasi dalam Oligarki, sesungguhnya juga memberi wawasan bagi saya saat menyuntingnya, apalagi kalimat Pak Sam mudah dipahami.

Beberapa hari kemudian, kami sempat berdiskusi sejenak mengenai penggunaan istilah “kaum sarungan” yang menurut Pak Sam disampaikan bukan dari Aidit melainkan nasionalis kiri bernama Hadisubeno. Beliau sebutkan itu sambil berbincang seputar buku terbaru karya John Sidel Asia Tenggara dalam Sorotan. Menurut Pak Sam, tulisan orang luar Indonesia biasanya kaya data. Ia pun melontarkan kritik ke penulis Indonesia yang miskin referensi.

Diskusi singkat kami tutup dengan pandangan Pak Sam bahwa G30S/PKI masih menjadi misteri, entah kudeta atau konflik horizontal antara komunis lawan TNI AD.

Pada perbincangan kami selanjutnya, kami sempat membahas tentang sosialisme dan komunisme.

“Sosialisme dan komunisme itu ideologi yang memperjuangkan kaum marginal. Kapitalisme hanya keinginan pragmatis dari orang-orang berduit untuk berkuasa,” ujar Pak Sam ketika mengomentari status saya terkait film Shang-Chi and The Legend of the Ten Rings.

Ia juga menyampaikan bahwa film-film komunis dan sosialis era Soviet juga bagus dan setara dengan karya sastranya, akan tetapi beliau menyampaikan film bukanlah karya sastra, karena film adalah hasil kerja kolektif. Pak Sam juga menyampaikan bahwa ia tak pernah lagi menonton film-film Soviet setelah negara itu bubar.

Dua chat terakhir beliau kepada saya berkaitan dengan buku. Pertama ketika mencari buku HMI 1963-1966 karya M. Alfan Alfian dan mengomentari buku Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito.

“Beliau wafat ketika berada di Banyuwangi. Saya bersama beberapa pengurus PII (Pelajar Islam Indonesia) Jatim menjemput jenazahnya. Almarhum kalau bicara sangat hati-hati dengan jiwa pamongnya yang kental. Al Fatihah,” kenang Pak Sam ketika mantan Ketua Umum Partai Masjumi terakhir itu wafat.

Sekarang, Pak Sam yang produktif menulis buku sudah berpulang, semoga semua amal dan ibadahnya diterima dan diberikan tempat terbaik di sisi-Nya.

Bagi saya, Pak Sam adalah orang yang sangat easygoing dan santai saat diajak berdiskusi, mendiang juga bukan orang yang bergaya “menggurui” saat berdiskusi. Hal ini membuat saya melihat Pak Sam sebagai figur panutan secara pemikiran serta bijak bertutur kata.

Baru saja saya membaca karyanya yang berjudul Gerakan Ekstrem Tak Pernah Mati, tapi nahasnya saya tak akan bisa berdiskusi dengan Pak Sam lagi, meski ilmunya akan selalu saya gunakan. Al-Fatihah(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *