Sesajen
KEMPALAN: Dalam upacara ritual tradisional, sesajen atau sesaji, adalah jamuan yang terdiri dari makanan, lauk pauk, seperti ayam dan telur, nasi putih atau bubur merah, kembang telon tiga warna, dan dilengkapi dengan dupa atau kemenyan. Sesajen dikeluarkan dalam upacara keagamaan secara simbolis dengan tujuan berkomunikasi dengan kekuatan supranatural tertinggi.
Cerita mengenai sesajen menjadi heboh nasional setelah seorang relawan bencana Gunung Gunung Semeru, Lumajang, melemparkan dan menendang sesajen ke dasar kawah. Adegan tersebut diunggah ke media sosial dan memantik reaksi keras dari beberapa kalangan, terutama masyarakat Lumajang.
Polisi segera bertindak cepat dengan menangkap lelaki pelaku penendangan sesajen itu. polisi memeriksa dengan cepat dan menetapkannya sebagai tersangka. Ia dikenai pasal menyebarkan permusuhan dan terancam hukuman empat tahun penjara.
Pasal penistaan agama yang dikenakan terhadap pelaku sama dengan pasal yang dikenakan kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2017. Reaksi pun bermunculan. Ada yang menganggap kasus ini tidak perlu harus dibawa ke ranah hukum. Pelaku tidak perlu dihukum, cukup dipertemukan dengan warga, dimediasi, dan pelaku harus meminta maaf.
Tetapi ada pihak yang dengan keras meminta agar polisi menghukum pelaku. Pemuda Anshor Lumajang secara resmi melaporkan pelaku ke polisi, dan bupati Lumajang Thoriqul Haq yang marah mengatakan ingin bertemu dan menginterograsi pelaku untuk mengetahui motivasinya.
Kasus ini memicu perdebatan lama mengenai syariat Islam dan tradisi Jawa. Tradisi sesaji sudah menjadi bagian dari budaya Jawa yang mengurat mengakar di daerah pedesaan. Bentuk sesaji bermacam-macam, mulai dari sekadar telur dan bunga-bunga, sampai yang paling mewah seperti kepala kerbau. Semua diyakini punya simbol dan makna tersendiri dengan tujuan masing-masing.
Sesajen yang terlihat di Gunung Semeru terlihat terdiri dari nasi putih lengkap dengan lauk. Nasi itu dibentuk sebagai tumpeng dengan bentuk mengerucut yang dilambangkan sebagai simbol menuju kekuatan supranatural tertinggi.
Ada juga lauk pauk seperti ayam dan buah-buahan sesisir pisang. Ada beberapa jenis kembang, disebut sebagai kembang telon karena terdiri dari tiga jenis dan warna, biasanya mawar, melati, dan kembang boreh. Dan tentu saja yang tidak pernah ketinggalan adalah dupa atau kemenyan, yang oleh beberapa kalangan dipercaya sebagai makanan kesukaan makhluk halus.
Sesajen disajikan di atas tampah besar untuk jenis sesaji dengan uba rampe yang komplet. Kadang juga disajikan dalam bentuk anyaman bambu kecil untuk sesajen yang lebih sederhana. Sesajen diletakkan di tempat-tempat tertentu seperti pohon keramat, di perempatan jalan, di pinggir hutan, atau di puncak gunung.
Kepercayaan Jawa kuno sebelum kedatangan Islam didominasi oleh animisme dan dinamisme, yang meyakini bahwa benda-benda seperti pohon, batu, gunung, laut, dan hutan mempunya roh yang menjadi penunggu. Roh-roh itu mempunya kekuatan untuk memberi keberuntungan dan sebaliknya juga bisa mencelakakan.
Masyarakat primitif kemudian berkembang menjadi masyarakat yang mempercayai metafisika, bahwa ada kekuatan besar yang mengendalikan dunia. Kemudian muncullah agama Hindu dan Budha yang mempunyai serangkaian kepercayaan dengan unsur mistik yang kuat.
Ketika Islam datang ke Jawa pada bad ke-15, ajaran tauhid yang menjadi intinya secara diametral bertentangan dengan ajaran mistik Hindu. Tetapi, para pendakwah Islam yang dikenal sebagai Wali Songo atau Wali Sembilan, mengambil langkah dakwah yang kompromistis dengan banyak mengakomodasi keyakinan Hindu yang sudah menyatu dengan budaya lokal.
Karena itu kemudian lahirlah Islam Jawa yang sinkretis yang merupakan paduan Islam dan sufisme yang banyak mengadopsi unsur mistik Jawa. Dengan strategi dakwah yang adaptif itu Islam bisa diterima dengan mudah di Jawa. Islam Jawa kemudian mempunyai corak khas karena perpaduannya yang kental dengan mistisisme Jawa.
Prof. Simuh melakukan studi yang mendalam terhadap praktik Islam mistis ini. Dalam ‘’Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa’’, Simuh melihat sufisme Jawa sebagai ajaran yang mempunyai akar yang sama dengan tasawuf Islam.
Menurut Simuh…









