Konflik Jawa Pos, Pasca Pecah Kongsi Dahlan versus GM

waktu baca 48 menit

HUBUNGAN PANAS JP – PERSEBAYA

Pecah kongsi Dis v GM juga berimbas pada hubungan Persebaya -JP. Jika sebelumnya pasca JP membeli Persebaya 2016,  pemberitaan JP terhadap Persebaya, bonek penuh bunga,  puja puji tanpa cela. Bahkan JP membuat laporan khusus empat halaman untuk Persebaya dan pernak perniknya setiap hari Selasa. Itu membuat kepala wartawan-redaktur pening. Karena isu beritanya hanya mutar-mutar di situ saja.

Setelah Azrul dicopot dari Dirut JP Koran dan keluarga Sakura jadi pemilik Persebaya, haluan pemberitaan JP berubah 180 derajat.

Hampir tidak ada berita positif di JP. Isinya hanya kritikan…kritikan dan kritikan. Semua dicacati. Mulai kebijakan manajemen, rekrutmen pemain sampai statement presiden Persebaya  Azrul Ananda dikuliti habis JP. Seakan JP mencium bau darah pada mangsanya.

Persebaya gusar. Akhirnya Azrul menggandeng Harian Surya musuh bebuyutan JP,  sebagai media partner Persebaya.

Persebaya juga mensomasi JP. Setelah pimpinan Persebaya-JP bertemu. Clear.

Eh… tak berselang lama muncul pemberitaan JP Koran pada Minggu, 6 Januari 2019.

Dalam investigasi JP yang dimuat dua seri soal pengaturan skor pertandingan atau match fixing oleh mafia sepak bola.

Investigasi JP menemukan dugaan keterlibatan Persebaya dalam pengaturan skor saat menjamu Kalteng Putra pada 12 Oktober 2017 di Stadion  Gelora Bung Tomo.

Dalam investigasinya  Persebaya disebut “menjual”,  sengaja mengalah 0-1 dari  Kalteng Putra. Itu tidak gratis tapi ada imbalan ratusan juta.

Persebaya meradang. Lalu melaporkan JP ke polisi dengan aduan pencemaran nama baik.

Tapi, polisi menyarankan kedua belah pihak mengadu ke dewan pers.

Berbulan bulan Dewan Pers (DP) melakukan mediasi Persebaya-JP tidak mencapai titik temu. Akhirnya, DP angkat tangan dan mempersilahkan Persebaya menempuh jalur lain. ” Sampai saat ini Persebaya belum mencabut laporan ke polisi, ” aku Nanang Priyanto, salah satu orang kepercayaan Azrul. (Baca: Panas Dingin Persebaya – Jawa Pos, Sampai Kapan? di Buku 2).

SENGKARUT IKLAN-PEMASARAN

Hawa panas tak hanya terjadi di redaksi. Tak kalah serunya juga terjadi di kompartemen iklan dan pemasaran.

Suatu hari 2010 silam di ruang kerja Eddy Nugroho (EN) lantai 5 Graha Pena mendadak tegang.

Ketua HRD JP yakni, SH masuk ruangan EN. SH bersikap tidak etis langsung nguncalno (melemparkan) SK pemecatan EN sebagai Wakil Direktur Iklan. SK ditandatangani Azrul Ananda.

EN shock berat sampai menangis sesenggukan. “Saya tahu persis karena saat itu berada di ruang Pak Eddy,” ujar Eri Suharyadi, Direktur Radar Jogja.

Tulungono saya Mas Eri. Kalau tidak saya habis,” rengek EN seperti ditirukan Eri sobatnya yang saat itu di pemasaran.

Pemecatan EN terjadi setelah terbongkarnya kasus besar di iklan. Kata Eri, biasanya tak jauh dari isu korupsi.

Yang membongkar Nany Wijaya, salah satu direktur JP Holding. “Ini maling semua,” ujar Nany emosi seperti ditirukam Eri saat menyidang EN dan lainnya.

Eri pun mengulurkan tangan menerima EN di pemasaran. Abdul Aziz sempat keras menolak EN karena sebelumnya terus gegeran. Tidak akur. Tapi, Aziz luluh setelah dirayu Eri.

Saat Rs anak buah EN dibuang dari Iklan. EN sekali lagi minta tolong Eri menampung Rs di pemasaran. Eri pun dengan tangan terbuka menolong anak buah EN tadi masuk pemasaran.

Enam bulan kemudian situasi berbalik. EN dan Rs ganti menguasai pemasaran.

EN yang pernah ditolong Eri justru balik menthung (memukul). Eri dibuang di Iklan jitu. Abdul Aziz dilempar ke Jawa Pos Radar (JPR)

Tak hanya dibuang di Iklan jitu. Eri dikriminalisasi, dilaporkan ke polisi. Bahkan Eri pernah disidang oleh Leak Kustiya dan EN. “Saya dihabisi dan dikasuskan. Intinya dikriminalisasi,” aku Eri. Setahun Eri dieret eret. Wajib lapor polisi. Setiap  Senin dan Kamis disidik.Kantor lepas tangan. Meski di kemudian hari semua tuduhan itu tidak terbukti. Clear. “Sakit hati kalau ingat itu. ” aku Eri. (Baca Wawancara Eri Suharyadi di buku 2).

Saat tugas di Radar Solo, Eri mendengar statement dilontarkan EN dan Leak. Intinya mereka berdua mengklaim berhasil membongkar ular (baca maling) di pemasaran. “Saya sakit hati mendengar itu, ” tambah Eri.

Nasib serupa juga menimpa Hendy Mustofa, General Manager Iklan dan Event Jawa Pos.

Saat krisis 1998, omzet iklan JP anjlok. Tinggal 20 persen. Redaksi dimotori Pimred Solihin Hidayat mendesak EN dicopot dari Wakil Direktur Iklan karena kinerjanya dianggap jeblok.

Bahkan posisi EN sempat digantikan Ali Murtadlo.

Redaksi mendorong Hendy sebagai gantinya EN. Tapi, Hendy setia kawan. Tidak mau menari diatas penderitaan kawan. “Saya tidak mau gantikan Pak Eddy. Soal cari iklan biar saya yang urus. Untuk rapat redaksi Saya yang akan mewakili bagian iklan, ” aku Hendy pasang badan untuk Eddy. Meski kecewa, redaksi bisa menerima sikap Hendy.

Beberapa tahun kemudian isu miring menerpa Eddy Nugroho lagi.

Sudah jadi rahasia umumnya Eddy diisukan punya biro iklan, dapat fasilitas istimewa dari dari perusahaan iklan dan isu miring lainnya. Eddy bahkan sempat disidang petinggi JP. Nasib Eddy benar-benar di ujung tanduk. Meski semua tudingan tadi belum bisa dibuktikan.

Sekali lagi Hendy menunjukkan kesetiakawanan pada koleganya Eddy. “Saya jamin isu di luaran bahwa Eddy punya biro iklan itu tidak benar, ” ujar Hendy meyakinkan petinggi JP. Isu panas menerpa Eddy pun mereda.

Tak lama isu lawas bahwa Eddy punya biro iklan muncul lagi. Tapi, kali ini isu yang semula menerpa Eddy, dibelokkan ke Hendy Mustofa.

“Perusahaan warung waralaba bakso saya dipersoalkan. Padahal, yang mengelola istri saya, ” ujar Hendy.

Eddy dan Kepala HRD SH mengaku tak percaya kalau yang mengelola waralaba baksonya istrinya.

“Nggak mungkin istrimu punya kemampuan mengelola waralaba warung bakso,” tuding Eddy dan SH bergantian.

Hendy pun marah besar. Karena tuduhan Itu sama saja bawa yang mengelola waralaba bakso dirinya.

Eddy dan SH meremehkan kemampuan istrinya yang seorang doktor. “Itu kan tidak etis. Padahal, mereka belum kenal,” ungkap Hendy.

“Sudah sekarang saya mundur. Itu kan yang sampeyan kehendaki berdua dalam pertemuan ini,” tukas Hendy sambil menahan amarahnya.

“Jangan mundur. Biar saya saja yang mundur,” timpal Eddy Nugroho ‘pura-pura’ empati.

“Mereka (Cik Wenny-Eddy Nugroho) memang berkomplot untuk menjatuhkan, menendang saya dari JP,” aku Hendy.

Makanya, kalau di kemudian hari loyalis Dis melabeli Cik Wenny-Eddy Nugroho berkhianat atas pendongkelan Dis dari JP, Hendy tidak kaget.

“Kalau benar mereka (Cik Wenny-Eddy Nugroho) mengkhianati Pak Dahlan, mereka tidak bisa sendirian bermain. Eddy saja, atau bu Wenny saja tidak bisa. Pasti berdua. Kalau salah satu saja yang bergerak, tidak jalan. Itu karena mereka saling melindungi. Saling ketergantungan, saling memanfaatkan. Siapa memanfaatkan siapa tidak jelas, ” jelas Hendy. (Baca Wawancara Hendy Mustofa di buku 2)

Syafi’i Zemud, mantan wartawan yang  ditugaskan di bagian iklan JP Jakarta selama 19 tahun  sampai pensiun 2019 silam. Zemud bergabung JP  28 tahun.

Selama jadi anak buah Eddy Nugroho di bagian iklan, Zemud banyak belajar soal seluk beluk iklan dari  Eddy. “Pak Eddy orangnya baik. Saya diajari bagaimana caranya mengambil keputusan dengan logika yang baik. Juga kiat beragam  dalam memberi diskon kepada klien. Semua itu yang ngajari Pak Eddy, ” aku Zemud.

Pak Eddy lanjur Zemud juga tidak marah meski anak buahnya keliru. Paling ditegur halus agar tidak salah lagi. “Pak Eddy membimbing dan mengajari kami secara langsung, ” kenang Zemud (Baca Wawancara Syafi’l Zemud di Buku 2).

Apa komentar Eddy Nugroho terhadap berbagai hal yang ditudingkan kepada dirinya.

Dua kali penulis japri Eddy Nugroho. Pertama 28 April 2021.

Eddy menolak diwawancarai penulis. “Ngapunten (maaf) sy tidak bersedia diwawancarai Mas,” balas Eddy Nugroho.

Japri kedua 29 April 2021. Jawaban Eddy kurang  lebih sama. Tak bersedia diwawancarai. (Baca Menolak Diwawancarai di Buku 2)

SAHAM KARYAWAN JADI BANCAAN PEMEGANG SAHAM

Mungkin isu paling panas soal raibnya saham karyawan 20 persen. Di mana diketahui jadi bancaan para pemegang saham. Termasuk Goenawan Mohamad dan Dahlan Iskan ikut kecipratan saham karyawan.

Pada Juli 1979 ada perubahan dan pemberitahuan anggaran dasar serta perubahan data persereon yang masih bernama Perusahaan Penerbitan dan Percetakan Djawa Post Concern Limited disingkat Djawa Post Concern Limited.

Disebutkan dalam susunan pengurus dan pemegang saham.

PT Grafiti Pers pemegang saham mayoritas 49 persen berjumlah 8.000.000 lembar saham senilai Rp 8 miliar. Harga saham per lembar Rp 1.000.

Disusul Eric Samola selaku Dirut menguasai saham 18 persen atau 3.280.000 lembar saham senilai Rp 3, 28 miliar.

Goenawan Mohamad (GM) selaku Komisaris Utama menguasai 1.000.000 senilai Rp 1 miliar. Harjoko Trisnadi, Fikri Jupri dan Lukman Setiawan memiliki saham yang besarnya sama dengan GM.

Sedangkan Pimred JP saat Dahlan Iskan yang masih beralamat di Jl Rungkut Mejoyo Selatan

IV no 10 menguasai saham 480.000 lembar saham senilai Rp 480.000.000.

Selain Pimred tidak disebutkan apa jabatan lain Dis. Mungkin Direktur atau Wakil Direktur.

Sedangkan karyawan JP lewat Yayasan Karyawan Jawa Pos jadi pemegang saham terbesar kedua setelah Grafiti Pers. Yakni, sebesar 4.000.000 (empat juta lembar saham) senilai Rp 4 miliar.

Pemegam saham lainnya adalah Tarianto sebanyak 240.000 lembar saham senilai Rp 240.000.000.

Tak disebutkan jabatan Tarianto. Mungkin Direktur atau Wakil Direktur. Sedangkan Ratna Dewi Wonoatmodjo atau Cik Wenny belum kecipratan saham.

Terkait pemberitahuan perubahan anggaran dasar, perubahan data perseroan dan persetujuan perubahan anggaran dasar pada 12 Oktober 2004.

Anehnya, perubahan itu tidak memerinci klasifikasi saham, harga, jumlah total maupun nilainya. Semua kolom sengaja dikosongkan.

Fikri Jupri yang semula memiliki satu juta lembar saham jumlahnya naik menjadi. 1.116.704 lembar saham. Atau naik 116.704 saham.

Kenaikan yang sama juga dinikmati GM, Harjoko Trisnadi dan Lukman Setiawan.

Ny Ratna Dewi Wonoatmodjo   mulai kecipratan saham sebanyak 200.000 lembar saham.

Sebaliknya saham Eric Samola yang meninggal tahun 2000 sahamnya tergerus.

Saham yang diwarisi istrinya NY Dorothea Samola semula berjumlah 3.280.000 lembar hanya tersisa 1.368.668 lembar saham. Menguap hampir 2 juta lembar saham. Tepatnya, 1.911.322 lembar saham.

Sebaliknya, saham Grafiti Pers yang semula berjumlah 8 juta lembar saham naik menjadi 8.933.636. Atau naik hampir satu juta.

Yang mengejutkan saham karyawan Jawa Pos yang diwakili Yayasan Karyawan Jawa Pos berjumlah 4 juta lembar sudah tidak tercatat dalam pemegang saham. Alias raib.

Aba kadabra. Bak sulapan saham Dahlan Iskan (Dis) melonjak sangat fantatis dari 480.000 lembar saham menjadi 5.550.880. lembar saham. Wouw.. Kenaikan luar biasa. Hampir sepuluh kali lipat. Besarnya saham Dis dari limpahan saham karyawan.

Dalam pemberitahuan perubahan dasar perseroan terkait peralihan saham dengan akta 30 November 2016 terjadi peralihan saham karyawan JP.

Saham karyawan JP sebesar 20 persen yang semula dititipkan ke Dis jadi bancaan para pemegang saham.

GM, Fikri Jupri, Lukman Setiawan,  Harjoko Trisnadi yang semula masing masing memiliki saham 5,58 persen. Setelah bancaan, masing masing memiliki 7,26 persen.

PT Grafiti Pers yang semula memiliki saham 44,67 persen kini menjadi 49,40 persen.

Ny Dorothea Samola semula 6,84 persen setelah bancaan menjadi 8,90 persen. Sedangkan Ratna Dewi Wonoatmodjo atau Cik Wenny semula 1 persen naik jadi 2,8 persen.

Sedangkan saham Dis semula 25,15 persen kini hanya tersisa 10,20 persen.

(Baca:Sejarah Java Post dan Bancaan Saham Karyawan di Buku 2).

SAHAM KARYAWAN Rp160 M, YANG DIBAGI Rp10 M

Apakah saham dibeli, dititipkan, dihibahkan ke Dis mewakili pemegang saham? Tidak ada kepastian.

Kalau dihibahkan kata Imron Mawardi patut dipertanyakan dasar pengurus Dewan Karyawan JP.

Imron menduga mungkin blangko kosong yang ditandatangani karyawan menjelang pencairan dana penjualan saham itu dasarnya.

“Kita kan tidak tahu blangko kosong yang kita tandatangani diisi apa oleh manajemen. Apakah diisi misalnya, karyawan JP menugasi Ketua Dewan Karyawan JP menyerahkan saham karyawan yang 20 persen ke Dis. Atau diisi lain kan kita tidak tahu, ” aku Imron yang kini dosen Unair itu.

“Makanya, saya sebenarnya enggan tandatangan saat itu. Apalagi, nilai penjualan saham yang kita terima tidak signifikan. Tidak sebanding dengan tandatangan yang kita berikan, ” sesal Imron.

Padahal nilai total equitas JP saat itu Rp 800 miliar. Artinya nilai saham karyawan 20 persen jika dikonversi dengan uang setara Rp 160 miliar. Jumlah karyawan JP total saat itu sekitar 300. “Bisa dibayangkan besar dana di terima karyawan dari penjualan saham kalau berlangsung fair dan adil,” jlentreh Imron.

“Saya sendiri hanya dapat Rp 20 juta.”

Saat ditanyakan Imron ke rapat besar karyawan JP soal kecilnya dana yang diterima karyawan dari penjualan saham?

Jawaban Dis sungguh arogan. “Apa! Kalau Anda tidak puas cari pengacara. Gugat saya! ” tantang Dis emosional.

Setelah itu Imron masuk buku inting inting.  Akhirnya Imron pilih mundur dari JP. (*)

 

BERSAMBUNG

Editor: Reza Maulana Hikam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *