Rasa Keadilan Masyarakat yang Terkoyak, Apakah Sebuah Penghakiman?
Hamid Abud Attamimi
Aktivis Dakwah dan Pendidikan, tinggal di Cirebon
KEMPALAN: Agak aneh juga logika yang digunakan Majelis Hakim Tipikor PN Jakpus, rasa kecewa masyarakat bukannya dipandang dan dijadikan rujukan untuk menghukum lebih berat karena memenuhi rasa keadilan, malah dijadikan hal yang meringankan terdakwa, karena dipandang terdakwa telah divonis bersalah padahal belum tentu bersalah.
Mestinya, Majelis Hakim begitu menemukan keyakinan bahwa terdakwa memenuhi unsur pidana, justru menambah unsur pemberat pada terdakwa, bukankah akhirnya keyakinan masyarakat telah terbukti benar adanya dan itu berarti, nurani masyarakat terkoyak dan lebih peka.
Apalagi seperti pengakuan Ketua KPK, bahwa pada awalnya sempat membuka kemungkinan Tuntutan Hukuman Mati, karena tindak korupsi yang dilakukan terdakwa dilakukan dalam keadaan tertentu, yaitu pada saat bencana alam atau krisis ekonomi.
Mana yang harus lebih jadi rujukan dan pertimbangan, perasaan terdakwa yang telah merasa divonis oleh masyarakat ataukah fakta bahwa perbuatan terdakwa jelas dilakukan ketika masyarakat sedang menderita lahir batin akibat pandemi dan krisis ekonomi?
Lagian, dari mana Majelis Hakim yakin bahwa terdakwa merasa telah divonis oleh masyarakat, bukankah Majelis Hakim sendiri yang menyatakan hal yang memberatkan adalah terdakwa menyangkal perbuatannya.
Sikap apriori pada suara masyarakat yang dikesankan Majelis Hakim sebagai penghakiman justru tidak tepat dan bisa melukai perasaan masyarakat, seharusnya Majelis menjadikan itu sebagai faktor pemberat pada tindakan tercela terdakwa sebagai pejabat dan abdi negara, yang seharusnya memberi keteladanan.
Pertanyaan besarnya, jika Majelis Hakim dalam putusannya jelas menyebut bahwa hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa dilakukan dalam keadaan darurat bencana nonalam, juga korupsi tersebut menyumbang peningkatan tindak pidana korupsi, bukankah itu berarti memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 31/1999, yaitu Pengenaan Hukuman Mati?

Mengapa pasal tersebut tidak dikenakan pada terdakwa, yang jelas menyangkal perbuatannya?
Jangan-jangan tuntutan Majelis Hakim lah yang lebih berpotensi meningkatkan keberanian pejabat negara untuk melakukan tindak pidana korupsi?! Apalagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) pun cuma menuntut menggunakan UU Tipikor dengan tuntutan jauh dibawah hukuman maksimal penjara seumur hidup, yaitu cuma 11 tahun.
Bukankah kita sama menyadari dan bahkan jadi keprihatinan negara, bahwa korupsi di negeri ini tak saja meningkat secara kuantitatif, tapi juga kualitatif. Artinya korupsi kini nyaris jadi berita harian dan mirisnya bahkan dilakukan oleh para pejabat negara yang seharusnya jadi pengawal ketertiban.
Prinsip transparansi dalam bernegara semakin jauh dan nyaris kita yakin bahwa belum ada political will dari pemerintah untuk memberantas tuntas korupsi di negeri ini.
Belum sadarkah kita, bahwa penyumbang terbesar kemerosotan kepercayaan bangsa luar pada negeri ini adalah korupsi yang merajalela dan pada akhirnya tak ada lagi marwah negeri ini di mata dunia luar.
Sebetulnya banyak hal bisa kita sumbangkan pada masyarakat yang sedang didera oleh cobaan demi cobaan, tidak harus materi, setidaknya kepekaan rasa atau empati.
Hakim tidak harus terpaku pada pasal dan ayat, dia pasti bisa menemukan dan menangkap rasa keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Inilah sumbangsih besar Hakim, karena sejatinya mereka tidak hidup terpisah dan terasing dari masyarakatnya. (*)









