All Out atau Walk Out

waktu baca 4 menit
Ilustrasi tempat rapat parlemen (Hansjorg Keller-Unsplash).
Abdul Rachman Thaha (ART)

Oleh: Abdul Rachman Thaha (ART)
Anggota Komite I DPD RI

KEMPALAN: Hampir seluruh fraksi di DPR seia-sekata, namun masih malu-malu menyampaikannya secara terbuka, perihal amandemen UUD, perpanjangan masa jabatan presiden, dan pergeseran jadwal pilpres-pileg dari 2024 ke 2027.

Saya, selaku anggota DPD RI, menegaskan ulang bahwa saya menentang rencana-rencana tersebut. Saya yakini, lembaga DPD pun demikian.

Kejelasan sikap itu sudah saya sampaikan ke masyarakat luas melalui berbagai forum dan media. Dan tampaknya pihak-pihak tertentu mulai gerah akibatnya. Mereka melancarkan serangan balik yang sama sekali tidak elegan dan abai ketentuan.

‘Tidak elegan dan abai ketentuan’ itu mengemuka, antara lain, pada serangan pribadi berupa peretasan ke situs internet yang memuat biodata saya. Hal tersebut, walau melanggar UU ITE, saya pandang biasa. Kerusakan oleh peretas sudah teratasi, selesai masalah. Yang jauh lebih serius bahkan mengarah pada pelecehan tatanan perundang-undangan adalah pernyataan-pernyataan yang mengerdilkan kedudukan DPD RI. Mulai dari disepelekannya inisiatif DPD dalam penyusunan RUU, antara lain RUU Badan Usaha Milik Desa (BUMD), hingga ditutup-tutupinya rencana besar di balik amandemen UUD seperti saya tulis di atas.

Kalangan di DPR RI perlu diingatkan untuk patuh pada pasal 37 UUD ayat 1 bahwa pengajuan usul pasal-pasal baru dapat diagendakan apabila diajukan oleh 1/3 anggota MPR RI. Artinya harus ada 230an anggota MPR RI yang memberikan tanda tangan. Dan untuk mengubah pasal-pasal, sidang itu harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR (460 an orang). Jumlah anggota DPD RI adalah 136 orang. Dengan angka-angka tersebut, suara anggota DPD ditambah suara dari anggota beberapa fraksi akan bisa menjegal rencana kubu yang begitu bernafsu mengubah UUD demi bertahan di kursi kekuasaan.

Banyak pihak di DPR RI yang lagi-lagi juga perlu diwanti-wanti untuk taat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Putusan 92/PUU-X/2012 dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2013.

Dalam putusannya, MK meneguhkan lima hal, di antaranya:

1. DPD terlibat dalam pembuatan program legislasi nasional (Prolegnas);

2. DPD berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana hal nya DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3. DPD berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD 1945;

4. Pembahasan UU dalam konteks Pasal 22D ayat (2) bersifat tiga pihak (tripartit), yakni antara DPR, DPD, dan Presiden; dan

5. MK menyatakan bahwa ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK atas kewenangan DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, baik yang diminta atau tidak.

Seluruh anggota DPR tentu juga tahu tentang ketentuan-ketentuan tersebut. Tinggal lagi kini masyarakat yang perlu dibangun pemahamannya agar mereka tidak terkecoh. Juga, karena pemahaman publik itulah yang akan menjadi kekuatan terbesar guna menyetop rencana fraksi-fraksi menggagahi kehidupan bernegara lewat perubahan sekehendak hati atas UUD.

Pada sisi lain, pimpinan dan seluruh anggota DPD RI pun perlu mengakui kepada rakyat bahwa lembaga ini telah kecolongan. Ketika para anggota DPD berkonsentrasi memantau realisasi pemenuhan hak-hak masyarakat daerah terkait Covid-19 (dan menjumpai sekian banyak kekacauan dan penyimpangan), ternyata lembaga lain justru mengonsolidasikan langkah-langkah untuk membawa mundur kehidupan bernegara ke masa silam yakni dengan rencana memanjangkan periode jabatan presiden dan mengalihkan jadwal pemilu ke 2027. Rakyat punya alasan kuat untuk khawatir bahwa semasa kita bergelut dengan segala kesempitan hidup di era pandemi, hampir seluruh fraksi di lembaga terhormat itu justru menyibukkan diri untuk hal lain. Saat masyarakat terjerembab ke persoalan mempertahankan hidup, pihak-pihak di lembaga terhormat itu justru berakrobat di arena politik kekuasaan.

Sembari menunggu pimpinan DPD menyampaikan sikapnya, saya pribadi percaya akan sikap all out para anggota DPD RI untuk menolak amandemen UUD yang berorientasi pada pelanggengan kekuasaan. Apabila sikap DPD RI itu diabaikan, dan pihak-pihak tertentu di luar DPD RI tetap memaksakan kepentingan mereka, maka DPD akan walk out dari ruang sidang.

Saya sejatinya enggan menghadap-hadapkan DPD RI dan DPR RI. Namun apa boleh buat, rakyat berhak dan memang sudah sepatutnya tahu ke mana gerangan para wakil rakyat akan membawa republik ini. (*)

Abdul Rachman Thaha (ART)
Anggota Komite I DPD RI
WA: +62 813-1142-0755

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *