Moeldoko, Cerita Mengenai Segawon

waktu baca 7 menit

KEMPALAN: Kalau kita menyebut kata anjing konotasi yang muncul langsung negatif. Apalagi kalau pengucapan kata itu disertai dengan intonasi tertentu, bisa menjadi umpatan yang kasar. Bahasa Jawa menyebut anjing sebagai asu. Kalau kata itu diucapkan dengan intonasi, jadinya juga umpatan.

Maka ada cara untuk menghaluskan kata itu, lalu dipakailah kata segawon yang diambil dari bahasa Jawa krama halus. Segawon artinya tetap asu dan anjing. Tapi, kalau Anda mengumpat seseroang dengan menyebut “Segawon! mungkin orang itu tidak akan marah, karena tidak tahu artinya.

Tapi sebaiknya tidak usah dicoba, apalagi kalau Anda berada di Jawa Tengah. Kecuali kalau Anda di Solo dan sedang berwisata kuliner, Anda boleh pesan menu segawon dengan berbagai aneka rasa, mulai dari segawon goreng, sate segawon, segawon rica pedas, segawon asam manis, dan lain-lain.

Dalam 10 tahun terakhir Solo dikenal sebagai surga bagi pecinta kuliner berbahan daging anjing. Ratusan warung dan rumah makan yang menyediakan menu anjing bertebaran di kaki lima dan jalan-jalan utama Solo. Ada yang malu-malu menyebutnya sebagai “menu jamu”, ada yang memasang nama “warung segawon”, dan banyak yang terang-terangan menyebutnya sebagai “warung gukguk” lengkap dengan gambar kepala anjing alias segawon. Anda yang tidak paham bahasa Jawa harus hati-hati kalau si empunya warung bilang “Ngersa’aken segawon, mas?”

Di kalangan masyarakat Sulawesi Utara terutama di Manado dan masyarakat Batak di Sumatera Utara menu makanan anjing sudah menjadi bagian kuliner khas. Di Manado dan Medan anjing disebut sebagai RW, singkatan dari “rintek wuuk” atau bulu halus. Sama dengan segawon, penyebutan erwe juga dimaksudkan sebagai penyamaran supaya tidak ada kesan menjijikkan. Di Jawa RW adalah jabatan terhormat sebagai ketua rukun warga, tapi di Manado dan di kalangan warga Batak erwe adalah daging anjing yang jadi makanan lezat.

Di Medan dan Manado makanan erwe sudah menjadi makanan tradisional sebagian masyarakat sejak era nenek moyang dahulu kala. Ahli kuliner almarhum Bondan Winarno menyebut tradisi kuliner erwe di Manado sudah ada ratusan tahun dan menjadi makanan khas di setiap hajatan perkawinan.

Di Solo popularitas kuliner gukguk meroket ketika Joko Widodo menjadi walikota Solo pada 2005. Ketika itu kuliner segawon dipopulerkan sebagai kuliner khas Solo. Bertepatan dengan itu salah satu jamaah pengajian Islam yang cukup besar di Solo memfatwakan bahwa segawon tidak haram dimakan, karena Alquran hanya mengharamkan babi. Maka “tumbu oleh tutup” kata orang Jawa. Dalam waktu singkat lebih dari 100 warung segawon menjamur di Solo dan lebih dari seribu segawon dibunuh tanpa disembelih.

Anjing adalah hewan yang dekat dengan manusia. Banyak orang yang merasakan kesetiaan anjing dan menjadikannya sebagai teman yang setia dan terpercaya. Karena itu ketika anjing dijadikan bahan masakan untuk disantap manusia berbagai kontrovesi bermunculan. Pertanyaan moral pun menjadi perdebatan sengit. Bagaimana kalau seorang pemilik anjing menemukan anjingnya mati ketabrak sepeda motor, lalu dia memutuskan untuk memasak anjing itu menjadi rawon dan menikmatinya sebagai menu makan siang.

Ada yang menjawab boleh-boleh saja, toh dia sendiri yang punya anjing dan selama ini memeliharanya. Ada yang mengatakan tindakan itu tidal bermoral karena membalas kesetiaan sang anjing dengan tindakan biadab memakan daging anjing itu ketika mati.

Perdebatan dilematis soal anjing menjadi perdebatan soal moral yang yang serius yang ditulis oleh pakar psikologi moral Jonathan Haidt dalam artikel “The Emotional Dog and Its Rational Tail” di Jurnal Psychological Review (2001). Haidt mempertanyakan dari mana asal usul orang mendapatkan nilai-nilai moral dalam hidupnya, apakah dari pertimbangan rasional atau emosional.

Karena perdebatannya menjadi kontroversi yang sangat heboh Haidt kemudian menulisnya menjadi sebuah buku yang kemudian best seller “The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion” (edisi terjemahan, 2020). Haidt mengelaborasi dari mana sumber moralitas berasal, dari pendidikan atau tumbuh secara alamiah, atau dalam bahasa Inggris disebut “nurture or nature”.

Pendapat yang lebih umum mengatakan moralitas muncul dari hasil pemikiran rasional. Semakin berpikir rasional seseorang maka dia akan semakin memahami moralitas yang baik. Anak-anak kecil yang belum bisa berpikir rasional tidak akan memahami nilai moral dengan baik. Anak itu tidak akan merasa bersalah kalau merebut mainan atau makanan dari tangan temannya. Kapasitas nalarnya belum cukup mampu untuk membedakan tindakan bermoral atau tidak.

Pandangan moral rasional ini belakangan dicabar oleh penelitian Haidt yang menemukan bahwa institusi sosial memainkan peran yang lebih penting dalam menumbuhkan kesadaran moral. Pengaruh lingkungan sosial seperti konsensus masyarakat dan lingkungan bisa menjadi sumber moralitas yang kuat.

Haidt menyebut ada enam pondasi moral yang secara umum dijadikan landasan moral manusia, yaitu care (kepedulian), fairness (keadilan), liberty (kebebasan), loyalty (kesetiaan), authority (kepatuhan pada otoritas), dan sanctity (kesucian). Tiap manusia mempunyai penekanan yang berbeda-beda terhadap landasan moral itu. Itulah yang menyebabkan orang-orang yang bermoral baik terpecah dalam afiliasi politik dan dalam menginterpretasikan agama.

Di Indonesia masyarakat yang mengidentifikasikan dirinya sebagai nasionalis akan lebih condong untuk menekankan pentingnya kepedulian, kebebasan, dan keadilan. Mereka pun merasa lebih dekat kepada partai yang berbasiskan nasionalisme dan dalam menjalankan agama cenderung lebih moderat dan toleran.

Kelompok lain akan memberi penekanan terhadap kesetiaan, kesucian, dan kepatuhan, terutama terhadap Tuhan yang menjadi sumber otoritas kekuasaan dan sumber segala kepatuhan. Dalam urusan politik kelompok ini lebih dekat kepada partai-partai konservatif dan partai yang berdasarkan agama. Dalam mengamalkan agama kalangan ini lebih menekankan pemahaman keagamaan yang murni berdasarkan penerapan tauhid, keesaan Tuhan.

Polarisasi abangan dan santri ala Geertz ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika, di Inggris, dan di Eropa polarisasi semacam itu juga terjadi. Republik vs Demokrat di Amerika, Konservatif vs Partai Buruh di Inggris, dan lain-lain.

Dalam pandangan kalangan instusional, moralitas itu relatif terhadap nilai-nilai sekitarnya. Apa yang oleh satu kelompok dianggap amoral tapi oleh kelompok lainnya bisa disebut sebagai bermoral, atau setidaknya tidak melanggar moral.

Pandangan terhadap moral bukan pandangan yang statis tapi dinamis berdasarkan konstruksi di lingkungannya. Memakan daging segawon adalah haram dan tidak bermoral bagi kalangan konservatif. Tapi bagi kalangan liberal makan kuliner segawon menjadi bagian dari keragaman budaya yang harus dihormati.

Merebut partai orang lain dengan cara yang tidak fair adalah tindakan tidak bermoral, seperti anjing yang menggigit tuannya sendiri. Meskipun kemudian sang majikan membunuh anjing yang membahayakan itu, tapi sang majikan tetap tidak boleh memakan daging anjing itu karena tindakan itu tidak bermoral.

Kelompok lain berpendapat bahwa dalam politik apa saja boleh dilakukan seperti fatwa Machiavelli, tujuan menghalalkan cara. Kalau Anda kebelet menjadi presiden, misalnya, boleh saja mengambil jalan pintas dengan merebut partai orang lain dengan berbagai tipu dan muslihat. Kalau sejak kecil Anda dipelihara sebagai anjing piaraan, dirawat, dan diberi makanan bergizi, lalu pada suatu ketika anjing itu menggigit tuannya, maka tindakan anjing itu sah saja dan dibenarkan secara moral jika tujuannya adalah mencari kebebasan dan keadilan.

Apa yang dilakulan oleh Moeldoko terhadap Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini mirip dengan perdebatan anjing dan tuannya. Moeldoko pernah diberi jabatan panglima TNI oleh SBY, tapi sekarang SBY merasa digigit oleh Moeldoko. SBY marah dan mengatakan siap perang dengan menyebut perangnya sebagai “sancity war” perang suci dan “just war” perang keadilan.

Bagi SBY tindakan Moeldoko adalah pengkhianatan yang tidak bermoral, karena SBY punya pandangan moral rasional. Tapi Moeldoko merasa bahwa tindakannya sah dan tidak ada pelanggaran moral, karena tindakannya didukung oleh institusi di sekitarnya yang memberinya legitimasi hukum. Institusi negara akan mendukungnya dengan mengesahkan jabatannya sebagai ketua Partai Demokrat. Dengan legitimasi institusi itu Moeldoko akan merasa sah sebagai ketua partai dan perebutan yang dilakukannya melalui KLB tidak melanggar moral.

Kita bisa berdebat sepanjang malam tanpa bisa menemukan titik temu karena sudut pandang kita terhadap moralitas berbeda. Membicarakan kudeta Moeldoko sama dengan membicarakan makan segawon. Kalau sampean tidak punya rasa jijik dan tidak merasa amoral, monggo kerso. ()

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *