Mengapa Kristen Injili AS Dukung Trump?
Donald Trump, berdasarkan tindakan dan kata-katanya, bisa jadi tak terlihat sebagai orang yang relijius. Lihatlah, Trump mengklaim dirinya tak memintakan pengampunan dari Tuhan. Namun, lihatlah faktanya: bagaimana kelompok Kristen Injili (evangelical Christian) di Amerika Serikat mendukungnya bak utusan pelindung Tuhan.
Sebanyak 76% dari kelompok Kristen Injili kulit putih mendukungnya dalam pemilihan presiden di Negeri Paman Sam 2020 lalu. Kenapa banyak kalangan Kristen, terutama yang berhaluan ke kanan atau fundamentalis mendukung Trump? Bahkan, merasa khawatir kehilangan Trump?
Banyak kelompok Kristen Injili di sana tertarik dengan janji Trump untuk melindungi kebebasan beragama. President terpilih Biden, memang juga menjanjikan kebebasan beragama. Namun, tampaknya, bukan dengan framing yang diharapkan menurut tafsir ayat-ayat suci kelompok Kristen Injili ini. Plus, sejak dulu memang aliran Kristen Injili memang condong ke Partai Republik dibandingkan Demokrat. Sebaliknya, aliran Kristen yang tradisional seperti Katolik dan Protestan banyak berada di Demokrat.
Denominasi Kristen Injili, demikian kalangan Kristiani menyebut suatu mazhab atau aliran, memang kerapkali menggunakan dan menafsirkan Alkitab, khususnya Injil, secara literal. Tentang Israel misalnya, mereka percaya bahwa negara Israel yang ada pada era saat ini, sama dengan Israel yang digambarkan oleh Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Karena itu, Israel saat ini harus dilindungi. Serangan musuh-musuh Israel menunjukkan bahwa hari kiamat atau akhir zaman menjelang kedatangan Yesus Kristus yang kedua kalinya sudah dekat. Pemercaya alias jemaat beriman atas dogma apokaliptik ini sangat banyak. Bahkan, bertumbuh kian banyak.
Kita masih ingat, pendeta reformed terkemuka di Jakarta yang terkenal di Indonesia, bahkan hingga manca negara bahkan sempat menyebut Trump kalah karena dicurangi. Dan, (waktu itu), masih meyakini pada akhirnya Donald Trump akan menang.

Di Indonesia, paham Kristen yang agak ke kanan ini memang juga tumbuh subur. Pertumbuhannya bahkan sempat menyedot jemaat Kristen arus utama (mainstream christian) berpindah ke gereja-gereja dan ibadah-ibadah yang umumnya bercorak karismatik itu. Aliran ini cenderung independen, mudah pecah dan mendirikan gereja baru lagi, tumbuh sendiri-sendiri bak jamur di musim penghujan, serta tidak memiliki struktur organisasi terpusat seperti gereja-gereja arus utama: Katolik, Huria Kristen Batak Protestan, Gereja Kristen Indonesia, Gereja Masehi Injili di Minahasa, Gereja Kalimantan Evangelis, GKI di Tanah Papua, Gereja Masehi Injili di Timor, dan sebagainya.
Selain itu, tafsir keagamaan mereka cenderung sangat bebas dan beragam. Bahkan, cenderung kebablasan. Seorang pendeta karismatik di Jakarta bisa mengklaim dirinya pernah bolak-balik turun-naik sorga dan diperintah langsung oleh Yesus. Karenanya, dipercaya pengikutnya dengan fanatik.
Sebelum pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas, setiap Natal tiba, Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, pasti penuh oleh kelompok ini. Ratusan ribu jemaat dari seluruh Jabodetabek hadir di sana. Tiberias, Mawar Sharon, Bethany, Jemaat Kristen Indonesia (JKI) Injil Kerajaan, dan lain-lain memiliki kecenderungan seperti ini, dengan sedikit variasi dan plus-minus ajaran.
Namun, di Indonesia, daya tarik kelompok ini memang tidak murni karena paham ajarannya. Namun, jemaat Kristen arus utama di Indonesia berpindah ke karismatik biasanya karena tertarik dengan ibadah ibadahnya yang lebih hidup (kontemporer) dan memberikan motivasi dalam bungkus keagamaan, seperti berkat, keberhasilkan, sukses, kekayaan, mujizat kesembuhan dari penyakit, dll. Karena itu, tak sedikit gereja Protestan arus utama di Indonesia kemudian mengadopsi ibadah ala karismatik ini. Riang dan gembira dengan suara band yang keras. Namun, di sisi lain tetap memegang teguh doktrin ajaran Protestan tradisional.
Balik ke Trump dan Amerika. Secara tipikal, aliran evangelis mungkin lebih senang memilih yang satu mazhab. Sebagaimana pemimpin Kristen konservatif Beverly LaHaye mendeklarasikan, “Politisi yang tidak menggunakan Injil sebaga pedoman kebijakan publik dan kehidupan privatnya, tidak berhak di pemerintahan.”
Tetapi, itulah kenapa Presiden Trump menjadi sangat anomali. Trump kasat mata tak terlalu paham Injil dan pengajaran dasar ke-Kristenan. Namun, pendukung fanatik relijiusnya tampak tak peduli. Walaupun, bahkan di antara kelompok Injili kulit putih di Amerika Serikat, hanya 12% yang percaya Trump “sangat relijius.” (FREDDY MUTIARA, mantan aktivis Badan Musyarawah Antar-Gereja/Bamag-Jawa Timur)









