KMP Tunu Pratama Jaya dan Kegagalan Sistem Penegakan Hukum Keselamatan Pelayaran
KEMPALAN; Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Tunu Pratama Jaya yang tenggelam di perairan Selat Bali pada 2 Juli 2025 meninggalkan duka mendalam bagi keluarga korban dan masyarakat luas. Musibah yang menewaskan belasan orang dan menyisakan banyak pertanyaan ini bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistem pengawasan dan penegakan hukum di sektor pelayaran Nasional.
Sebelum berlayar, KMP Tunu Pratama Jaya menjalani ramp check atau uji kelaikan kapal pada tanggal 3 Juni 2025. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Tanjung Wangi. Hasilnya menyatakan kapal tersebut laik laut dan aman untuk beroperasi. Namun, nyatanya, kapal tersebut tenggelam kurang dari satu bulan kemudian.
Insiden ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektifitas ramp check sebagai alat pengawasan keselamatan pelayaran. Apakah pemeriksaan tersebut sudah dilakukan dengan benar dan menyeluruh? Ataukah ramp check hanya menjadi formalitas yang tak mampu mendeteksi risiko-risiko nyata?
Menurut berbagai informasi, ada kemungkinan kelalaian teknis seperti pintu ruang mesin yang terbuka saat kapal berlayar dan pengikatan muatan kendaraan yang tidak sesuai prosedur menjadi faktor penyebab kecelakaan. Jika benar demikian, maka pengawasan dan prosedur operasional kapal perlu diperbaiki secara drastis.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang menjadi lembaga pengawas dan investigasi kecelakaan juga mendapat sorotan tajam atas lambannya tindakan dan investigasi setelah insiden.
Masyarakat, keluarga korban, dan bahkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan keprihatinan atas kurang transparannya proses investigasi dan minimnya informasi yang disampaikan ke publik. Keterlambatan dalam mengumumkan hasil penyelidikan serta ketidakjelasan langkah penanganan menimbulkan keraguan atas keseriusan pemerintah dalam menangani masalah keselamatan pelayaran.
Padahal, secara hukum, investigasi kecelakaan transportasi laut harus dilakukan secara cepat, komprehensif, dan transparan agar penyebab utama dapat diidentifikasi dan tindakan perbaikan dapat segera diterapkan demi mencegah kejadian serupa. Dari sisi hukum, insiden KMP Tunu Pratama Jaya harus menjadi momentum penting untuk menegakkan akuntabilitas.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang menjadi landasan hukum awal yang sangat komprehensif dalam mengatur kegiatan pelayaran di Indonesia menegaskan kewajiban seluruh pihak yang terlibat dalam pengoperasian kapal untuk memenuhi standar keselamatan dan kelaiklautan kapal. Ini mencakup operator kapal, nakhoda, hingga pejabat pengawas pelabuhan seperti KSOP.
Apabila terbukti ada kelalaian dalam melakukan ramp check, penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB), maupun pengawasan operasional kapal, maka pejabat pengawas terkait harus bertanggung jawab secara hukum. Begitu pula dengan operator kapal yang wajib memastikan kapal dan awaknya memenuhi persyaratan keselamatan, serta nakhoda yang berkewajiban menjaga keselamatan penumpang dan kru.
Saat ini, penyelidikan sedang berlangsung, termasuk penahanan Designated Person Ashore (DPA) PT Raputra Jaya yang merupakan operator kapal tersebut. Namun, proses hukum harus dilanjutkan secara menyeluruh terhadap semua pihak yang terbukti lalai atau abai.
Penegakan hukum harus mencakup berbagai aspek, mulai dari sanksi pidana bagi pihak yang terbukti melakukan kelalaian hingga sanksi administratif kepada pegawai negeri yang gagal menjalankan fungsi pengawasan.
Pasal-pasal dalam KUHP dan peraturan pelayaran mengatur hukuman bagi pelanggaran keselamatan pelayaran yang menyebabkan kecelakaan, cedera, atau kematian. Selain itu, pejabat pengawas yang lalai bisa dikenakan sanksi disiplin mulai dari teguran hingga pemecatan.
Penerapan sanksi yang tegas dan transparan akan menjadi langkah penting untuk memperbaiki sistem pengawasan dan memastikan tidak ada lagi pihak yang merasa kebal hukum dalam urusan keselamatan pelayaran.
Kegagalan ini harus menjadi titik tolak reformasi sistem pengawasan pelayaran di Indonesia. Ramp check harus diperkuat, tidak sekadar formalitas administratif, tetapi benar-benar menjadi alat validasi kelayakan kapal secara menyeluruh.
KSOP dan instansi terkait perlu ditingkatkan kapasitasnya, baik dari sisi sumber daya manusia, teknologi inspeksi, hingga mekanisme pengawasan lintas instansi. Selain itu, transparansi hasil investigasi dan data pengawasan harus dijamin agar masyarakat dan pemangku kepentingan dapat memantau proses secara terbuka.
Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya adalah peringatan keras bagi semua pihak bahwa keselamatan transportasi laut adalah hal yang tidak boleh ditawar. Pemerintah wajib bergerak cepat dan tegas dalam menegakkan hukum, memperbaiki sistem pengawasan, dan membuka ruang transparansi agar kepercayaan publik dapat kembali pulih.
Tanpa langkah-langkah ini, potensi kecelakaan serupa akan terus mengancam nyawa ribuan penumpang setiap tahunnya. Ini adalah panggilan moral dan hukum bagi Indonesia untuk menjadikan keselamatan pelayaran sebagai prioritas nasional yang sesungguhnya. ()
Oleh: Oki Lukito, Sekjen LBH Maritim