Bapak Panjat Tebing Indonesia Berpartisipasi di Bienale Jabar IV
KEMPALAN : Bagaimana jika pintu keadilan, pintu nurani, dan pintu kemanusiaan, masih banyak yang digembok? Yang lantas menimbulkan rasa sesak dan prihatin?
Nah, untuk itulah, Harry Suliztiarto salah satu alumnus Seni Rupa ITB, menampilkan karya seni rupa instalasi berjudul “Luk Uluk Regol Kidul Isih Digembok” dalam Bienale Jabar IV yang berlangsung pada 29 Oktober – 17 November 2025 di Thee Huis Gallery UPTD Pengelolaan Kebudayaan Jawa Barat, Jl. Bukit Dago Selatan No. 53 A, Bandung.
“Luk Uluk” adalah seruan –semacam aba-aba ritual– untuk menyatukan tenaga agar penghalang bisa tergoyahkan.
Maka batang pendobrak pun disiapkan untuk ditumburkan ke pintu yang terkunci.
Harry Suliztiarto Arek Suroboyo yang sudah puluhan tahun tinggal di Bumi Parahiyangan, Bandung ini, dalam wawancara via WA
menuliskan :
Tumburkan. Lihat. Rasakan getarannya. Dengarkan derak kayu, riuh lonceng dan kelintingan, serta gembok-gembok yang terguncang, memekik menyayat, menciptakan luka di ruangan (ini).
Suara nurani terus bergema, mencari celah agar cahaya bisa masuk.
Setiap ikhtiar tidak selalu memberi jawaban memuaskan. Tapi, biarlah begitu. Karena diam justru lebih menakutkan.
Bienale Jabar IV yang mengambil semboyan “Tekad” ini diikuti 38 perupa, di antaranya selain Harry Suliztiarto : Azep Zam Zam Noor, Asmudjo J. Irianto, Herry Dim, Irawan Karseno, Laskar Panggung Bandung, Raden Kian Santang, Tisna Sanjaya, Wawan Setiawan.
Pada Bienale Jabar III, Harry Suliztiarto juga berperan-serta.
Sebagaimana diketahui, sosok teduh yang dikenal sebagai Bapak Panjat Tebing Indonesia juga dikenal sebagai pendiri Skygers pada tahun 1977. Ia mempelopori olahraga ini, termasuk ekspedisi legendaris menaklukkan tebing utara Eiger pada 1986, dan saat ini terlibat dalam pelatihan vertical rescue.
Kisah hidupnya telah didokumentasikan dalam film berjudul “Tebing, TUHAN, dan Aku” yang diproduksi Eiger. (AM).
