(Suka) Dukanya Jadi Ojol Gelap
KEMPALAN : Untuk mendapatkan uang ada dua cara yang mesti dijalankan banyak orang.
Yang pertama: cara umum; dan yang kedua : cara ekstrem – melanggar hukum.
Bagi Dv. (nama singkatan), ia memilih cara pertama meski cukup mengkhawatirkan, bikin was-was, yaitu dengan menjadi tukang ojek.
Kok sebagai tukang ojek dianggap mengkhawatirkan, terutama bagi orang yang kurang tatag ?
Kisahnya diawali dengan setiap hari Dv. mangkal di depan Rumah Sakit Haji, Surabaya, dimana di situ biasanya ada 3 – 4 ojol (ojek online) yang mangkal.
Cekak aos, saya jumpa dengan Dv. seputar 4 bulan lalu. Saat itu saya kehabisan paket internet, sehingga saya tidak bisa memesan ojol via dua dari tiga anak saya yang punya aplikasi itu.
Saya sendiri tidak paham mengapa anak-anak saya tidak mengizinkan saya punya aplikasi ojol. Mungkin aplikasi akan menyulitkan mengingat saya dianggap gaptek. Atau jika saya memesan ojol (sepeda) motor atau taksi online via mereka, menjadi mudah untuk dikontrol kemana saya pergi mengingat saya yang sudah lansia ini.
Nah, saat saya berniat pulang sehabis kontrol dari rumah sakit dimana saya kehabisan paket internet itu, saya lantas mencoba mendekati pengojek-pengojek online di depan rumah sakit tersebut untuk mengantar saya pulang.
Ada tiga ojol yang saya dekati, lantas saya katakan maksud saya. Ternyata mereka semua menolak permintaan saya.
Saya membatin, mungkin mereka sudah janjian menjemput pelanggan.
Pada sosok keempat yang tidak tampak berjaket hijau khas seragam aplikasi ojol –tapi nampak helm ojolnya diselipkan pada tonjolan ujung jok bagian depan, agak dikempitnya– lantas saya dekati.
Setelah sejenak berbasa-basi, kemudian saya katakan :
“Berapa Mas ke Rungkut (saya sebut alamat lengkap)?”
“Yang dekat (pertokoan) Yakaya itu ya, Pak?”
“Ya..”
“25 ribu ya, Pak”
“20 ribu,” jawab saya. “Tadi saat berangkat ke sini cuma 17 ribu,” sambung saya.
” Oke, Pak!”.
Sebetulnya saya menawar 20 ribu rupiah itu, ojek ini sudah lebih untung, tidak dipotong prosentase oleh manajemen aplikasi karena bersifat offline.
Lantas helm bertanda salah satu aplikasi diserahkan pemuda bersosok atletis, bertemperamen kalem, dan bersuara pelan ini.
Dalam perjalanan dengan (sepeda) motor yang tidak bisa cepat, ditambah cuaca Surabaya siang itu cukup menyengat, saya menahan diri untuk tidak naik tensi. Padahal sebelumnya sudah saya perintahkan agar gas dibesarkan, tapi motor tetap saja jalannya terseok-seok.
Dari “titik” ini baru saya tahu ternyata Dv. bukan ojek yang terafiliasi dengan aplikasi Gojek, Grab, atau lain-lain yang kini jumlahnya makin banyak.
“Lha kok sampeyan bisa punya helm ojol dan jaketnya?” tanya saya. (Sebetulnya jaket ojol dirangkapinya dengan baju yang terlihat kedombrangan).
“Ya itu semua saya beli di rombeng (tukang loak), Pak…”
“Kenapa gak daftar ke Gojek atau Grab?”
“Motor saya tidak memenuhi syarat…”
“Maksudnya ? “
“Untuk daftar ke cabang aplikasi Gojek atau Grab, infonya motor minimal tahun pembuatan 2015. Sedangkan motor saya tahun 2003”.
Saya lantas membatin, ‘pantas jalan motornya terseok-seok’. Meski pada akhirnya batin saya mengatakan begini : ‘Biar motor tua kalau dirawat dengan baik, bisalah lari dengan lumayan kencang. Apalagi cuma membawa beban berat badan saya yang cuma 67 kilogram’.
Tapi, bagaimana Dv. bisa punya biaya untuk ongkos servis motornya, jika setiap hari pendapatannya rata-rata tidak lebih dari 50 ribu rupiah, bahkan pernah dalam 2-3 hari dia tidak ada pemasukan sama sekali, sebagaimana pengakuannya.
Tentang kondisi mengkhawatirkan, bikin was-was –sebagaimana saya sebut pada alinia ke-3 tulisan ini– ya ada hubungannya dengan posisinya sebagai ojek non-online.
Itu bisa diindikasikan saat saya mendekati satu per satu tiga orang ojol di depan rumah sakit itu untuk saya tawarkan mengantar saya pulang, Dv. rupanya hanya mengamati dari jauh.
Boleh jadi menyadari posisinya sebagai “ojek gelap”. Tidak tampak effort-nya untuk mendekati saya, mengingat tiga ojol sebelumnya menolak permintaan saya.
Baru setelah saya dekati, dia memperlihatkan wajah cerahnya.
Seminggu lalu saya ketemu lagi dengan Dv, sehabis saya kontrol di salah satu poli.
Kali ini saya tidak kehabisan paket internet, tapi saya tetap akan menggunakan jasa ojek non-aplikasi, dengan tawar menawar seperti biasanya. Karena kalau mesti pesan dengan sistem aplikasi via anak saya, paling sekitar 10 menit ojol baru tiba. Padahal hari sudah beranjak siang. Sementara sengatan matahari mulai menggigit.
Ternyata tak ada satu pun ojol yang mangkal disitu. Mungkin lantaran keburu siang, ojol yang ada sudah habis dipesan konsumen.
Tiba-tiba saya didekati ojek tanpa berjaket seragam aplikasi.
Setelah saya amati, oh ternyata Dv.
Kenapa dia berani mendekati konsumen, karena ojek resmi sudah tak ada yang mangkal di depan rumah sakit “pampasan” korban jemaah haji tragedi terowongan Mina pada tahun 1990 itu.
Jadi sudah tak ada yang dikhawatirkan, tak ada yang bikin Dv. was-was. Dv. bebas mendekati konsumen yang clingak-clinguk sebagaimana saya siang itu.
Deal lagi, harga jadi masih seperti 4 bulan lalu : Rp. 20.000.
Ada nada heran dari Dv. saat percakapan on the way masih dengan laju motor terseok-seok bahwa saya masih hafal asal bapaknya yang dari Maluku dan ibunya dari Kalimantan.
“Ya, betul, Pak. Ayah dari Maluku, ibu dari Kalimantan — persisnya sampit.”
Saya juga masih hafal ayah dan ibunya merantau ke Surabaya pada seputar 30 tahun lalu, dimana mereka tinggal di kawasan dekat Jl. Demak.
Saya juga masih hafal ayah dan ibunya berjualan sayur-sayuran di pasar dekat Jl. Demak, tapi saya sudah lupa nama pasarnya.
Dan yang saya lupa lagi, ibunya sudah berpulang 5 tahun lalu. Kali ini dipertegas Dv., disebabkan diabetes yang berkomplikasi.
Saya juga lupa bahwa Dv. sudah berusia 38 tahun namun belum menikah.
Saya juga sudah lupa bahwa dia cuma lulusan SMA, sebagaimana semua itu pernah diceritakan saat jumpa pertama dulu.
Yang saya masih ingat, jika pada hari-hari tertentu saat Dv. tidak ada pemasukan sama sekali, untuk siang dia harus meluncur ke Jl. Blambangan dekat kampus Universitas Widya Mandala atau ke lokasi di Jl. Kedungsari, lantaran di situ menyediakan makan siang gratis yang dikelola oleh komunitas sosial.
“Bapak kok masih hapal ya,” katanya disusul tawa kecilnya, saat motor melaju mendekati jembatan Pondok Nirwana.
“Sekarang ada ‘pandangan’ baru lagi, Pak. Itu masjid di Kali Kepiting juga menyediakan makan gratis”.
Iya juga mengiyakan saat saya tanya, masih mangkal di Kampus B Unair untuk nyegat mahasiswa-mahasiswi yang tidak bawa motor atau kendaraan pribadi lainnya.
Sebetulnya sosok humble ini tidak menampakkan keluhan serius. Mungkin karena ngomongnya datar, seperti tanpa ekspresi.
“Sekarang makin sulit mendapatkan penumpang, Pak…,” katanya, yang kemudian dilanjutkan, “kemarin cuma dapat satu penumpang, dari Rumah Sakit Haji ke Terminal Bungur Asih.
“
Saya katakan bahwa itu disebabkan sekarang banyak pengangguran, terjadi gelombang PHK, akhirnya mereka banyak yang daftar ojek online. Space ojol pun makin sempit, apalagi baginya yang cuma –maaf– ojek gelap yang mengandalkan remah-remah ojek resmi.
Perjalanan kurang lebih 20 menit berakhir di depan rumah saya. Akhirnya saya tambahi 5 ribu rupiah dan sebotol air mineral ukuran terkecil. (Amang Mawardi).