Reuni Alumni ’83 AWS dan Menulis Puisi
KEMPALAN : Ada perhimpunan alumni sekolah setingkat SLTA yang setiap mengadakan reuni acapkali menerbitkan buku, baik yang sifatnya kolektif tentang pengalaman saat masa sekolah dalam bentuk story telling, maupun artikel dengan disiplin normatif.
Selain itu, ada juga yang setor ungkapan hati dalam bentuk puisi, kendati yang disebut terakhir ini jumlahnya sedikit dibanding yang tampil dengan gaya story telling.
Selain (semacam) buku bunga rampai yang digarap secara keroyokan, ada juga yang menerbitkan secara tunggal, menampilkan pengalaman personal secara empiris saat sekolah dulu yang diluncurkan sekira 2-3 tahun kemudian.
Kenapa saya ceritakan begitu, karena saya tahu betul yang terkandung dari buku kumpulan tulisan personal tersebut, mengingat saya adalah editornya.
Sosok yang tampil secara personal ini saya nilai “gagah berani”, cenderung nekad — mengingat yang bersangkutan tidak punya pengalaman sama sekali di jagad literasi.
Dari kaitan dua konteks di atas –baik buku yang diterbitkan secara kolektif maupun secara tunggal– oleh seorang istri salah satu alumni yang sering mendampingi suaminya hadir pada reuni tersebut, dibilang begini: “Ini alumni STM, tapi kalau reuni selalu dibarengi launching buku. Tidak saja menarik, juga unik !”
Tentu saja, jangan ada yang beranggapan bahwa yang komentar sebagaimana di atas adalah istri saya. Bukan.
Sosok yang saya maksudkan adalah istri kakak tiga angkatan di atas angkatan saya pada eks. STM Negeri II Kimia Industri, Surabaya. (Saya sebut ‘eks.’ karena sekolah saya dulu itu sejak puluhan tahun lalu terkonversi ke STM Pembangunan — sekarang SMK Negeri V Surabaya).
Sebulan lalu, saya dihubungi sobat saya Kris Maryono pensiunan jurnalis RRI Surabaya yang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sibuk mengurusi dunia literasi di banyak komunitas profesi –terutama guru dan wartawan– untuk menerbitkan buku-buku bungai rampai.
“Bah, tolong dulur-dulur AWS (Akademi Wartawan Surabaya) Angkatan 1983 dibikinkan kata pengantar untuk buku antologi puisi yang akan rilis 14 September tahun ini di Pasuruan bersamaan dengan reuni angkatan tersebut,” kata Kris Maryono, yang lantas saya jawab, “Siap, Pakket !”
‘Pakket’ adalah sebutan untuk Kris Maryono mengingat sosok ini adalah Ketua Warumas (Wartawan Usia Emas) dimana komunitas tersebut telah menerbitkan tujuh buku antologi puisi yang dimotorinya.
Tentu saja ini niat yang positif. Maka saya sambut baik rencana aksi adik-adik ini, mengingat saya adalah lulusan AWS Angkatan 1975.
Reuni, gathering, silaturahmi kolektif, adalah upaya untuk mengenang masa lalu, sehingga sebagaimana sering dinyatakan kata-kata arif : bisa mempererat persahabatan, meningkatkan paseduluran — yang dipercaya bisa menyehatkan badan, mengawetkan usia. Alhamdulillah …
Kumpul-kumpul saja sudah bagus, apalagi jika ditandai dengan menerbitkan buku, wow…tidak hanya bagus, melainkan : istimewa.
Sebagaimana banyak pecinta seni tahu, puisi adalah bentuk ekspresi sastra yang menggunakan bahasa dengan daya ungkap estetis dan imajinatif untuk menyampaikan perasaan, pikiran, atau pengalaman. Gak percaya ? Buka saja google. Lantas klik ‘puisi’, seterusnya akan tersaji gambaran seperti ini :
Puisi sering kali memiliki struktur ritmis, menggunakan metafora, simbol, dan permainan kata untuk menciptakan efek emosional yang kuat pada pembaca.
Lantas, bagaimana puisi yang baik?
Puisi yang baik biasanya memiliki kombinasi dari elemen-elemen seperti keaslian ekspresi, kekuatan bahasa, kedalaman emosi, dan kemampuan untuk membangkitkan imajinasi pembaca.
Puisi yang baik juga sering kali memiliki keunikan dalam gaya dan cara penyampaian pesan.
Tentu saja, jika Anda memulai menulis puisi, tidak mesti detil sebagaimana paparan di atas. Cukup ungkapkan kata-kata sebagaimana yang tersimpan pada kejujuran hati nurani, itu sudah cukup. Sesungguhnya kejujuran itu sendiri adalah bentuk keindahan hakiki.
Dalam konteks “visi & misi” antologi puisi adik-adik Angkatan saya ini, tentu banyak kenangan indah manakala “mesin waktu” menelusuri lorongnya, menerobos masa lalu — terutama saat-saat menjalani studi di kampus Kapasari 3-5.
Hakikatnya, menulis puisi kenangan adalah memanifestasikan pengalaman empiris masa lalu ke dalam jalinan larik-larik kalimat yang menyusup dari bait ke bait.
Dengan menulis puisi kenangan bisa menjadi cara untuk mengekspresikan dan mengabadikan momen-momen penting dalam hidup, misalnya pengalaman di kampus sembari merayakan pertemuan setelah lama tak jumpa. Siapa tahu akan muncul ide-ide susulan demi kehidupan yang lebih bermanfaat dan bermartabat.
Dengan puisi kenangan memungkinkan penulisnya untuk merenungkan kembali pengalaman-pengalaman di masa lalu, mengenang emosi dan detil terkait, serta berbagi dengan orang lain maupun sesama alumni.
Sedangkan puisi kenangan di kampus diharapkan bisa menarik karena kampus seringkali menjadi tempat di mana banyak pengalaman berharga tentang persahabatan dan momen pembelajaran terjadi.
Puisi kenangan tentang kampus diharapkan juga bisa menangkap esensi dari masa lalu, mengenang interaksi dengan teman, dosen, dan lingkungan kampus yang unik.
Tentu saja perihal dunia tulis-menulis bukan sesuatu yang asing bagi Alumni AWS, mengingat kita dulu pernah diajari bagaimana menulis berita sesuai standar jurnalistik.
Hanya bedanya kalau dasar penulisan jurnalistik bersandar pada non-fiksi, sementara menulis puisi atmosfernya adalah dunia fiksi. Sementara banyak di antara wartawan yang menggenggam “koin mata uang literasi” — yang satu sisi mendasari pada non-fiksi, sisi satunya lagi: fiksi.
Manakala kita elaborasi, sering sastra dan jurnalistik menyatu dalam satu koin mata uang, sesuatu yang selama ini banyak diperbuat, dirangkap, oleh banyak jurnalis, sebagaimana dilakukan : Mochtar Lubis, Goenawan Mohamad, Gerson Poyk, Putu Wijaya, Arswendo Atmowiloto, dan jika kita telisik teman-teman se-alumni, muncul nama-nama : Sunendar, Tiny Frida, Errol Jonathans, Maria Andriana, Sasetya Wilutama.
Yakin bisa ‘kan? Yang lulusan STM saja bisa kok…
Oke, sampai jumpa pada launching antologi puisi Kukenang Kampus KAPASARI yang tinggal 4 hari lagi.
Amang Mawardi
Pekerja Literasi