Affan sang Martir

waktu baca 4 menit
Demo Ojok memprotes kematian Affan (*)

KEMPALAN: Di setiap gerakan selalu ada martir. Kali ini, gerakan rakyat yang melakukan demonstrasi di depan gedung DPR RI memunculkan martir baru, Affan Kurniawan, pengemudi ojol yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob Polisi, Kamis 28 Agustus 2025.
Kematian seorang martir biasanya menandai puncak kemarahan publik yang memunculkan gerakan perlawanan yang makin meluas. Tidak jarang gerakan ini bisa menjungkirkan sebuah pemerintahan.

Video yang viral di media sosial menggambarkan tragedi menyesakkan dada. Affan Kurniawan hanyalah seorang pengemudi ojok online. Ia masih 22 tahun. Masih sangat muda untuk mati sebagai martir. Ia menjadi simbol bagi jutaan pemuda seusianya, yang mengalami secara langsung kesulitan hidup akibat kondisi ekonomi yang mencekik.

Affan adalah simbol dari jutaan anak muda yang terancam menjadi ‘’lost generation’’, generasi yang hilang. Para elite politik sering membual dengan mengatakan bahwa anak-anak seusia Affan adalah simbol bonus demografi yang akan membawa kebangkitan ekonomi Indonesia.

Alih-alih, Affan adalah simbol dari generasi yang telantar. Tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak punya biaya. Affan menjadi ‘’sandwich generation’’, generasi terjepit dari atas dan bawah. Ia menjadi tulang punggung keluarga, menghidupi kedua orang tua sekaligus membiayai sekolah adiknya.

Affan menjadi simbol masyarakat miskin perkotaan yang jumlahnya kian meningkat. Pemerintah selalu membual dengan mengatakan bahwa angka kemiskinan turun. Yang terjadi adalah kemiskinan turun dari anak ke bapak. Orang tua Affan bekerja sebagai buruh serabutan, dan Affan kerja serabutan sebagai pengantar makanan melalui aplikasi ojek online.

Di hari nahas itu Affan sedang mengantar order makanan di sekitar wilayah tempat ribuan buruh berdemonstrasi. Affan menyeberangi jalan dengan berlari. Ia terpeleset di tengah jalan. Bersamaan dengan itu muncul kendaraan taktis Brimob menyeruduknya dari belakang. Affan tersungkur, kendaraan Brimob yang anti peluru itu menggilas tubuh ringkihnya. Affan tewas di rumah sakit.

Nasib orang miskin seperi Affan selalu kurang beruntung. Selalu menjadi the wrong man in the wrong place. Sementara, ratusan orang lainnya di gedung DPR RI menikmati privilege, menjadi the right man in the right place. Mereka menjadi orang yang tepat untuk berada di tempat yang tepat, untuk menikmati privilege yang berlebihan.

Affan bekerja keras dari subuh sampai malam, hanya untuk mendapatkan puluhan ribu atau ratusan ribu, kalau sedang beruntung. Sementara di gedung DPR wakil rakyat bisa mengantongi ratusan juta rupiah setiap bulan. Sebuah ironi yang sangat telanjang.

Ahmad Dani anggota DPR dari Partai Gerindra mengatakan bahwa pekerjaan di DPR itu bukan pekerjaan ‘’nine to five’’. Kalau rapat selesai jam 12 siang ia masih bisa melakukan konser di sore hari atau di malam hari. Entah logika apa yang dipakai oleh Dani. Ia dibayar penuh dari pajak rakyat. Tapi ia seperti pekerja half-time yang masih punya banyak waktu untuk mengojek cari ceperan.

Bagi seorang Affan, tunjangan perumahan Rp 50 juta perbulan–dan penghasilan Rp 320 juta sebulan–tidak akan pernah masuk dalam impian dan khayalannya yang paling liar sekalipun.

Di tengah hidup yang semakin tercekik karena pajak, pameran absurditas anggota dewan makin menjadi-jadi. Tunjangan perumahan Rp 50 juta itu bisa menjadi ‘’bombshell’’ yang membuat publik berang dan meledak.

Kemampuan komunikasi politik para wakil rakyat yang pas-pasan membuat situasi makin memburuk. Adies Kadir dari Golkar seperti orang linglung. Ia menjelaskan bahwa biasa kos perhari anggota DPR Rp 3 juta dikalikan 26 hari kerja, berarti anggota dewan masih harus menombok.

Alih-alih menjernihkan masalah pernyataan itu malah makin membuat suasana keruh. Biaya kos Rp 3 juta perhari pasti tidak masuk di akal seorang Affan. Ia tidak akan bisa membayangkan fasilitas apa yang ada dalam rumah kos semahal itu.

Sufmi Dasco Ahmad mencoba memberikan finising touch untuk menyelesaikan masalah. Katanya tunjangan perumahan Rp 50 juta perbulan itu hanya diberikan selama setahun untuk kebutuhan lima tahun.

Alih-alih menyelesaikan masalah, malah timbul pertanyaan baru. Mengapa tunjangan untuk lima tahun harus diberikan setiap bulan pada tahun pertama saja. Mengapa tidak sekalian dibayar semua di muka. Atau diberikan per termin setiap tahun.

Dasco dijuluki sebagai Don Dasco karena menjadi orang kuat di rezim Prabowo sekarang ini. Jabatannya ‘’hanya’’ wakil ketua DPR, tapi lebih powerful ketimbang Puan Maharani yang sering gagap menghadapi pers. Dasco sering offside dengan mencampuri urusan eksekutif. Ia kerap berganti-ganti peran sebagai wakil ketua DPR dan ketua harian Partai Gerindra.

Presiden Prabowo Subianto membuat pernyataan video, meminta maaf dan menyesalkan tragedi yang menimpa Affan. Prabowo berjanji akan menanggung biaya hidup keluarga Affan. Pernyataan seperti ini menjadi ‘’setelan prabik’’ yang selalu menjadi resep ajaib untuk menyelesaikan masalah.

Prabowo memerintahkan supaya kasus ini diusut tuntas. Tapi, publik sudah hafal dengan retorika Prabowo. Tidak akan ada pengusutan yang tuntas mengenai peran Polri yang sering membuat blunder. Jangan mimpi bahwa Kapolri akan dicopot, apalagi akan mengundurkan diri.

Tidak lupa pula—seperti hobinya selama ini—Prabowo mengingatkan supaya bangsa Indonesia berhati-hati terhadap pengaruh pihak asing yang ingin mengacau Indonesia.

Entah sudah berapa kali Prabowo memakai retorika itu. Mudah-mudahan Prabowo tidak menderita halusinasi, atau terjangkit xenophobia akut. ()

Dhimam Abror Djuraid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *