“Abang Abang Lambene” Jokowi
KEMPALAN: Dalam Bahasa jawa ada istilah “ukara.” Secara kebahasaan, ukara itu akronim dari “ukiraning rasa” atau ukiran rasa, ungkapan rasa/perasaaan. Ukara itu merupakan bentukan rasa hati, hati yang trdalam. Apa-apa yang tercetuskan dalam hati, dalam rasa, kemudian terungkapkan dalam ukara atau kalimat.
Secara filosofis ukara itu memiliki makna yang dalam. Ukara mencerminkan gambaran dunia batin dan dunia lahir seseorang. Karenanya seorang manusia kemudian dinilai sebagai manusia ketika apa yang dilakukanya itu sesuai denngan apa yang diucapakannya.
Filosofi jawa itu pun senada dengan ungkapan dalam Bahasa Arab “Arrajulu kalimah.” Secara leterlek itu berarti bahwa seorang laki-laki itu disebut laki-laki itu diukur dari ucapannya. Jangan sebut diri sebagai lelaki jika apa yang dilakukan tidak sama dengan apa yang diucapkan. Secara umum berarti seseorang itu dinilai dari kecocokan antara ucapan dan tindakannya.
Namun memang ukiran perasaan itu bisa jadi hanya kamuflase atau basa-basi saja untuk menutupi fakta yang sebenarnya. Sehingga fakta kemudian tertutupi oleh ungkapan yang terucap dari lisannya, bibirnya, hanya sekedar “lips service” hanya untuk memuaskan bibir.
Kalau dalam Bahasa Jawa lips service itu berarti “abang-abang lambe” (pemerah bibir). Abang abang lambe berarti bicaranya seseorang yang hanya sekedar di bibir saja, tanpa ada buktinya atau tidak sungguh-sungguh.
Sebagai orang Jawa tentunya Pak Joko Widodo (Jokowi) sangat memahami apa itu abang-abang lambe yang senada dengan lips service. Ada banyak ukara yang telah diungkapkan pak Jokowi, namun hanya abang-abang lame atau lips service.
Dari yang terdekat, Presden Jokowi meminta agar pegawai KPK tidak dipecat kaerna tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaaan, tapi nyatanya mereka masih dipecat. Apa ungkapan pak Jokowi itu adalah sebuah abang-abang lambe untuk menyenenngkan publik yang saat ini tengah menglami krisis kepercayaan keada pemerintah? Antara ucapan dan perbuatan Presiden Jokowi tidak match.
Jokowi hanya memberikan lips service saja untuk meredakan kemarahan rakyat yang telah mengetahui bagaimana Komisi Permberantas Korupsi (KPK) telah dilemahkan baik secara institusional via undang-undang maupun dari sisi penegak keadilan yang kemudian dipecat oleh Jokowi
Belum lama lalu jelang masa lebaran, kebijakan larangan mudik bagi ditrapkan bagi seluruh warga Indonesia tapi pulang kampung boleh, ini sebuah inkonsistensi. Jika memang mudik dilarang, maka pulang kampung pun seharusnya dilarang, tidak peduli Kartu Tanda Penduduknya dari mana. Ini merupakan wujud keadilan.
Presiden supaya terlihat tegas dalam menangani Covid-19 membuat pernyataan yang melarang tradisi mudik. Padahal mudik memiliki dimensi sosial-spiritual-ekonomi bagi masyarakat dihentikan. Sebagai bentuk pencegahan penyebaran covid-19, publik tentu bisa memahaminya. Namun ketika pemerintah membuka keran wisata bagi masyarakat yang potensial membuat kerumunan seolah tidak ada konsistensi kebijakan. Sehingga muncul pasien-pasien covid-19 baru. Lagi-lagi sebuah lips service.
Jokowi melarang penerbangan domestik, tapi penerbangan internasional boleh. Melarang kedatangan orang (asing), tapi mendatangkan TKA (tenaga kerja asing), Lebih menyakitkan lagi dengan dibukanya pintu bagi tenaga kerja asing dari China yang diizinkan untuk masuk ke Indonesia dengan jumlah yang telah mencapai jutaan orang. Kenapa kemudian untuk pekerjaan-pekerjaan yang sepatutnya bisa dilakukan olah warga Indonesia, namun diberikan kepada warga asing. Padahal janji Jokowi pada saat kampanye adalah menyediakan sepuluh juga lapangan pekerjaan bagi warga negara Indonesa.
Berbagai omongan Jokowi menjelang pandemic seperti kelonggaran kredit bagi warga negara, juga perintah untuk mencintai produk dalam negeri dan membenci produk asing tidak dibarengi dengan kebijakan yang konkret tentang bagaimana bentuk kelonggaran kredit dan membenci produk asing tersebut. Warga pun menjadi kecele dan marah. Tapi ya sudahlah…
Tidak salah kemudian jika Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia kemudian memberikan gelar kepada Presiden Jokwi sebagai “King Of Lips Service.” Karena semua yang diomongkan Jokowi hanya unutk abang-abang lambe saja alias basa-basi yang hanya untuk menyelamatkan muka. Padahal rakyat tidk bodoh. Rakyat sudah bisa dapat melihat apa yang disampaikan para mahasiswa itu benar adanya. Bahwa Jokowi tdak lebih dari king of lips service.
Pak Jokwoi sepatutnya konsisten dengan kesejatian seorang lelaki seperti ungkapan Arab sebagai lelaki yang ucapannya wajib seirama dengan aksinya. Arrajulu kalimah. Jika memang pak Jokowi benar-benar hanya menerapkan lips service atau abang-abang lambe, mendingan sekalian aja pak Jokowi pakai lipstick supaya tegas abang-abang lambenya.
(Dr. Kumara Adji Kusuma adalah redaktur kempalan.com, Dosen Unversitas Muhammadiyah Sidoarjo dan Penangung Jawab LKBH Umsida)