Kebocoran Parkir di Surabaya, Swastanisasi Pengelolaan Jadi Keniscayaan!

waktu baca 4 menit

KEMPALAN: Kebocoran tarif parkir sejatinya bukanlah hal yang baru, karena memang terkesan dilakukan pembiaran. Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya, Irvan Wahyudrajat, bahwa Pemkot Surabaya telah menghasilkan Perda No 3 tahun 2018 tentang penyelenggaraan Perpakiran di Kota Surabaya. Perda ini merupakan revisi Perda No. 1 tahun 2009, yang lebih menekankan pada perbaikan sistim atau manjemen parkir di Kota Surabaya. Namun sayangnya justru maksud perbaikan sistimya tidak tercapai justru terkesan terjadi pembiaran terjadinya kebocoran.

Dalam laman Bangga Surabaya dikatakan oleh Irvan bahwa prinsipnya dalam perda ini, parkir dipandang sebagai instrument pengendali lalu lintas, bukan lagi sebagai pencari PAD. Sehingga dalam Perrda No. 3/2018, pemerintah tidak lagi menjadikan tarif parkir sebagi pendapatan daerah, tapi sekedar sekedar pengendali agar lalu lintas bisa berjalan dengan baik dan tidak mengganggu arus lalu lintas. Perda ini hanya menekankan denda pelanggaran bagi pemilik kendaraan yang melanggar peraturan larangan parkir. Tidak mengatur bagi para pelaku perpakiran yang menggunakan ruas jalan untuk lahan parkir.  Karena hal inilah maka wajar kalau kemudian ditengarai banyak terjadi kebocoran – kebocoran dari sektor pendapatan parkir. Bahkan ditengarai kebocoran itu mencapai 40 % dari total pendapatan yang ada.

Melalui Perda ini justru semakin menegaskan ketidakmampuan Pemerintah Kota Surabaya, melalui Dinas Perhubungan mengendalikan kebocoran parkir. Sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya sejak tahun 2015 diperkirakan ada 1500 titik, pada tahun 2021 ada berapa?  Sehingga sejatinya memang kebocoran retribusi parkir ini sejak awal berasal dari ruh disahkannya Perda 3 / 2018.

Apa yang Harus Dilakukan?

Dinamika dan semangat mengembalikan fungsi parkir sebagai sumber pendapatan pemerintah kota Surabaya yang sekarang terjadi di DPRD Surabaya, Komisi C merupakan hal yang layak diparesiasi dan didukung, karena ini akan berdampak pada warga kota Surabaya dan pemerintah kota. Dampak bagi warga kota akan membayar tarif parkir resmi sesuai dengan ketentuan , sedang bagi pemerintah kota Surabaya akan mendapatkan dari sektor parkir sesuai dengan fakta lapangan yang ada.

Sebagaimana dikatakan oleh Ketua Pansus, Abdul Ghoni Muklas Ni’Am mengatakan, semangat dibentuknya Raperda atas revisi Perda No.8/2012 ini adalah supaya lalu lintas di Surabaya semakin tertib, dan bagaimana peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya dari retribusi parkir. Memperbaiki perda No. 8 / 2012 tanpa mengembalikan ruh penyelenggaraan perpakiran Surabaya sebagai instrument pendapatan tentu akan menjadi sia sia. Sehingga revisi perda 8 / 2021 juga harus dibarengi dengan revisi perda 3/2018.

Menekan Kebocoran Pendapatan Parkir

Berdasarkan data hasil pendapatan pemerintah kota Surabaya, tahun 2020 pendapatan pemerintah kota Surabaya dari 1500 titik yang ada sejak tahun 2015, berkisar sebesar 35 M, dan bahkan kalua melihat potensi dari 1500 titik, bisa 2 kalinya. Misalkan diambil ilustrasi parkir ditempat tempat yang padat seperti Blauran, Taman Bungkul, Gentengkali dan beberapa tempat lainnya yang sejenis. Pada daerah daerah seperti diatas tentu pendapatan Parkir per hari bisa mencapai lebih dari 1 juta rupiah. Kalau diasumsikan setiap ruas jalan bisa memberi kontribusi 500 ribu rupiah per hari, maka sejatinya pemerintah Kota Surabaya bisa mendapatkan pendapatan dari sektor parkir sebesar 500.000 x 30 x 12 x 1.500. = 270.000.000.000. nah ini artinya bahwa potensi yang semestinya bisa terjadi. Namun dalam pengelolaan swasta pemerintah bisa melelang kepada swasta dengan harga penawaran yang tertinggi yang didapat. Semisal penawaran dilakukan dengan harga pertitik  100.000 rupiah, ini berarti swata akan berkontribusi terhadap pendapatan sebesar 100.000 x 30 x 12 x 1500 = 54. 000.000.000 (Rp54 miliar). Itu artinya sisa dari potensi yang ada menjadi milik swata yang akan dipergunakan untuk operasional manajemen penanganan peprpakiran di 1500 titik yang ada. Nah pembiaran kebocoran pendapatan dari sektor ini yang memang ada akan bisa ditekan.  Coba kita bayangkan Blauran , Taman Bungkul, Genteng Kali hanya dibebani 100 ribu sementara potensinya melebihi itu.

Swastanisasi Menjadi Keniscayaan

Upaya menekan kebocoran dengan perbaikan sistim merupakan keniscayaan, sehingga dalam hemat kami, merevisi perda 12 tahun 2012 juga harus disertai revisi perubahan ruh sistim perda 3 / 2018. Hal lain yang lebih penting adalah menata manusianya.

Komponen manusia dalam manajemen perpakiran yang dijalankan selama ini adalah Dinas Perhubungan sebagai regulator, Juru parkir pelaksana dilapangan serta masyarakat pengguna jasa parkir. Dinas perhubungan sebagai regulator, ternyata selama ini hanya menjalankan fungsi mengatur perpakiran, tapi tidak mengatur bagaimana mengatasi kebocoran anggaran parkir, sehingga pemerintah kota tidak kehilangan pendapatan. Komponen lain yang menyebabkan kebocoran pendapatan parkir pememrintah adalah kenakalan oknum juru parkir dan hal lain yang menimbulkan potensi kebocoran anggaran parkir adalah pemakluman masyarakat terhadap perilaku oknum juru parkir nakal.

Nah untuk mengatasi itu semua, pemerintah kota layak mengajak sinergi sektor swasta dalam menata perpakiran di Surabaya agar bisa meningkatkan pendapatan kota Surabaya. Yang bisa dilakukan oleh pemerintah terhadap swasta adalah berkomitmen menjalankan perpakiran yang baik, yaitu mampu menambah pendapatan pemerintah kota dari sektor parkir, melakukan penataan jukir agar tertib serta menghindari gangguan lalu lintas akibat parkir liar disembarang tempat. Bila diambil contoh potensi pendapatan sebagaimana diurai diatas sebesar 270 M per tahun, pemerintah bisa melelang pengelolaan parkir di Surabaya kepada swasta yang bisa menyediakan alat tehnologi pengontrol kebocoran serta penawaran tertinggi pendapatan parkir untuk menyumbang PAD. Semoga sja parkir kita semakin aman dan pemerintah bisa menekan kebocoran .

Surabaya, 4 April 2021

Isa Ansori

Dosen STT Malang dan Pemerhati Kebijakan Publik

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *