Anak Pak Lurah, Aprilio Manganang, dan All England

waktu baca 6 menit

KEMPALAN: Kaesang Pangarep jadi berita viral lagi. Kali ini bukan karena ghosting, menghantu, menelantarkan pacar yang sudah lima tahun dikencani, kali ini Kaesang tampil gagah memamerkan jersey tim sepak bola Persis, Solo.

Kaesang, anak ragil Pak Lurah Jokowi, secara resmi menjadi owner Persis Solo setelah mengakuisisi saham mayoritas klub profesional yang berlaga di Liga 2 PSSI itu. Kaesang menjadi pemegang saham bersama Erick Thohir yang kelihatannya ditugasi Pak Lurah untuk menjadi mentor bagi Kaesang. Mungkin sebentar lagi publik bola bisa melihat logo salah satu perusahaan BUMN menempel di jersey Persis Solo sebagai sponsor utama.

Bersama Erick Thohir Kaesang pasti aman mengelola Persis. Erick memang pendekar dalam manajemen olahraga profesional. Kelasnya sudah level dewa, sudah pernah mengelola klub Serie A Inter Milan dan punya saham di klub basket profesional NBA Philadelphia 76-ers.

Klub-klub Liga 2 yang sudah berancang-ancang booking tempat untuk bisa promosi ke Liga 1, nyuwun sewu, kudu rela minggir dulu memberi jalan untuk anak Pak Lurah dan Persis Solo promosi ke Liga 1. Meskipun kompetisi belum dimulai–atau belum tentu dimulai karena pandemi–tapi desas-desus mengenai klub mana saja yang bakal promosi ke Liga 1 sudah santer terdengar. PSSI sudah menyiapkan dua slot untuk promosi ke Liga 1. Tapi kalau ada pembooking baru, bisa saja PSSI mengubah aturan dan menyiapkan tiga slot untuk promosi ke Liga 1.

Tidak ada yang sulit untuk mengubah aturan di PSSI yang sudah sangat berpengalaman dalam sim salabim seperti itu. Dan begitulah asyiknya sepak bola  Indonesia, juara kompetisi sudah bisa ditebak sebelum kompetisi dimulai.

Suporter Pasopati Solo yang terkenal fanatik tentu senang mendengar kabar ini. Tapi para suporter mungkin juga bingung karena sebenarnya Solo sudah punya klub sepakbola yang berlaga di Liga 1, yaitu Bhayangkara FC yang musim ini menjadikan Stadion Manahan menjadi home base. Bhayangkara FC menjadi klub nomaden yang nyaris tiap tahun berpindah home base. Kali ini sudah telanjur pindah kos ke Solo dan terpaksa harus berbagi tempat dengan tuan rumah.
Suporter akan terpecah dua, dan akan menarik dilihat mana yang bisa menyedot penonton lebih banyak.

Munculnya Erick Thohir sebagai pengelola klub sepak bola profesional menjadi kabar baik dan kabar kurang baik. Kabar baik karena Erick profesional dan berpengalaman. Kabar kurang baik karena Erick adalah pejabat negara yang mengelola perusahaan negara yang beromset triliunan rupiah. Keterlibatan Erick menjadi pemegang 20 persen saham bisa menimbulkan konflik kepentingan. Sebagai pejabat tinggi negara Erick harus netral. Sebagai klub profesional Persis Solo adalah perusahaan profesional yang harus dikelola secara mandiri dan transparan.

Dalam akte perusahaan nama Erick tidak muncul tapi diwakili oleh anaknya, Mahendra Thohir. Jadilah duet maut anak Pak Lurah dan Pak Carik di Persis Solo, Kaesang sebagai presiden direktur dan Mahendra sebagai presiden komisaris.

Olahraga Indonesia tidak pernah lepas dari patronase, selalu menempel kepada pejabat birokrasi maupun pejabat politik. Sederet menteri dan pejabat tinggi menjadi ketua organisasi olahraga, bukan karena profesionalitasnya tapi lebih karena akses politik dan dana. Masih sangat jarang klub olahraga di Indonesia yang dikelola secara profesional dan mandiri, lebih banyak yang ngempeng, menyusu, kepada pejabat untuk mendapatkan perlindungan dan akses dana.

Karena itu olahraga selalu rentan terhadap susupan kepentingan politik. Para politisi yang tidak punya kompetensi dalam mengelola klub olahraga ramai-ramai menjadi pengurus klub karena punya target politik.

Patronase olahraga dengan politik adalah fenomena lama era Orde Baru yang keterusan sampai sekarang. Dulu PSSI selalu dipimpin oleh jenderal yang menjadi menteri kabinet atau pemegang jabatan tinggi di pemerintahan. PBSI yang mengurusi bulu tangkis juga menjadi kapling Angkatan Darat, mulai dari Jenderal Subagio HS sampai Jenderal Wiranto pernah jadi ketua. Bola voli juga begitu, sampai sekarang tetap menjadi onderbouw Polri karena ketua umumnya selalu dari polisi dan para kapolda menjadi ketua di provinsi masing-masing.

Tentu banyak manfaat positif dengan patronase semacam itu, paling tidak ada dana dan fasilitas untuk latihan yang tersedia. Setidaknya juga para atlet bisa mendapat pekerjaan di instansi tempatnya bermain. Perusahaan-perusahaan BUMN selama ini banyak yang yang aktif mengelola klub bola voli profesional yang bertarung di kompetisi nasional Pro Liga. PLN, Bank BNI, Petro Kimia, selama ini terjun mengelola klub bola voli profesional. Tetapi sampai sekarang belum ada BUMN yang langsung mengelola klub sepak bola profesional kecuali Semen Padang. Masuknya Erick Thohir ke Persis Solo mungkin bisa menjadi awal masuknya BUMN mengelola klub sepak bola seperti yang selama ini sudah terjadi di bola voli.

Patronase membawa dampak negatif juga karena klub menjadi manja dan tidak profesional karena mengandalkan proteksi politik dari patronnya. Dalam beberapa kasus hal ini bisa mencederai sportivitas olahraga karena gengsi instansi lebih diutamakan ketimbang spirit kejujuran dalam olahraga.

Kasus Aprilia Manganang salah satu contohnya. Ia menjadi idola baru sekarang setelah secara terbuka mengakui bahwa ia menderita hipospadia yang membuat identitas kelaminnya kabur. Setelah 10 tahun malang melintang di kompetisi bola voli nasional dan internasional Asia Aprilia Manganang pensiun dan mengumumkan secara terbuka bahwa dirinya laki-laki tulen.

Keberaniannya melakukan coming out membuat Aprilia menjadi idola baru yang populer dan viral dimana-mana. Ia menjadi sersan Angkatan Darat yang langsung diproteksi oleh KSAD Jenderal Andika Perkasa. Dari istri KSAD Aprilia mendapat nama baru Aprilio Manganang.

Tapi di balik gegap gempita itu ada persoalan sportivitas. Kalangan aktivis bola voli nasional selama bertahun-tahun curiga bahwa Aprilia sengaja diperempuankan untuk kepentingan prestasi bola voli Indonesia. Kecurigaan itu sangat kuat setiap kali Aprilia memperkuat tim Indonesia di ajang internasional. Dalam beberapa kali ajang SEA Games muncul tuntutan agar ada tes kelamin terhadap Aprilia, tapi Indonesia selalu menolak.

PBVSI sebagai induk olahraga juga memprotek Aprilia sekuat tenaga. Pada kompetisi profesional Pro Liga tahun lalu Aprlia dinobatkan sebagai MVP, Most Valuable Player, pemain terbaik. Ketika sekarang ketahuan bahwa Aprilia adalah Aprilio dan penghargaannya dipertanyakan, PBVSI cepat menangkis bahwa penghargaan itu tidak akan dicabut. Tanpa ada upaya klarifikasi terlebih dulu, atau dibentuk tim verifikasi untuk meninjau masalah ini PBVSI sudah langsung menutup diri.

Dalam kancah olahraga internasional sangat banyak penghargaan yang dicabut karena sang atlet melakukan pelanggaran. Gelar juara Tour de France pesepeda Lance Armstrong dicabut setelah ketahuan doping. Medali emas Olimpiade alteltik 100 meter Flo Jo dan Ben Johnson dicabut karena doping. Ini dua contoh mengenai sportivitas dan kejujuran. Aprilia Manganang memang tidak melakukan doping tapi penyembunyian identitas kelamin adalah persoalan kejujuran yang lebih berat tanggung jawab etikanya dibanding doping.

Ini memang persoalan sportivitas dan kejujuran. Aprilia Manganang akan menjadi hero sejati kalau dia mau mengakui kasusnya secara ksatria dan mengembalikan semua penghargaan yang diterimanya secara suka rela.
Ketidakadilan pasti pahit dan mengakui kesalahan dan meminta maaf adalah puncak dari sportivitas dan profesionalitas. Indonesia merasakan sendiri pahitnya perlakuan tidak adil dalam pertandingan olahraga di semua level, baik lokal maupun internasional.

Pencoretan pebulutangkis Indonesia dari kejuaraan All England adalah aib besar yang menampar wajah bangsa Indonesia. Indonesia harus melawan ketidakadilan itu.
Perlawanan dalam bentuk boikot bisa menjadi pilihan yang efektif, dengan catatan Indonesia mendapat dukungan dari banyak negara lain untuk memboikot. Kalau Indonesia boikot sendirian sama saja dengan bunuh diri karena BWF, Federasi Bulu Tangkis Dunia, bisa mencoret Indonesia dari keanggotaan. Diplomasi yang jujur dan mengedepankan pendekatan spirit sportivitas akan lebih efektif daripada boikot yang emosional.

Kasus Aprilia Manganang dan All England sama-sama menjadi sorotan internasional. Sportivitas dan kejujuran Indonesia dalam mengelola olahraga sedang diuji. Kita tunggu titah dari Pak Lurah. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *