๐ฃ๐ฟ๐ฒ๐๐ถ๐ฑ๐ฒ๐ป ๐๐ถ๐ฟ๐ฎ๐ด๐๐ธ๐ฎ๐ป ๐ ๐ฎ๐บ๐ฝ๐ ๐๐ฎ๐ป๐๐ถ ๐๐ฎ๐ฝ๐ผ๐น๐ฟ๐ถ
Oleh: Ponang Aji
KEMPALAN: Secara hukum tata negara, pengangkatan Kapolri memang merupakan hak prerogatif Presiden yang sederhana saja proses pelaksanaannya.
Proses formalnya jelas kok. Presiden memilih satu calon (dari internal Polri), mengajukan nama tersebut ke DPR untuk persetujuan, dan kemudian melantiknya. Setidaknya begitulah yang terjadi dulu, di era Tukang Kayu menjadi Presiden ketika mengganti Kapolri Jenderal Idham Azis dengan Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Namun di era Presiden mantan Jenderal Kopassus, praktiknya malah menjadi ruwet, rumit dan kusut. Proses yang seharusnya sederhana itu bergeser dari sekadar “pelaksanaan hak” menjadi sebuah “arena negosiasi politik” yang kompleks.
Hak Prerogatif Presiden dihiasi dengan “Tarik-Menarik” (Pull and Tug) kepentingan โpejabat pro rezim Jokowiโ alias termul, oligarki pemilik โBoneka Soloโ beserta kendaraan tunggang (partai politik) dibelakangnya agar Kapolri petahana โtidak diganggu” atau tidak mengganggu Kapolri yang mengamankan kepentingan politik dan mesin politik mereka.
“Tarik-menarik” ini adalah bentuk negosiasi antar-elite penguasa loyalis Solo beserta Ketum-Ketum partai koalisi yang ingin “menitipkan” kepentingannya kepada Presiden.
Posisi Kapolri menjadi “alat tawar” (bargaining chip) dalam dinamika politik mereka. Pendukung Presiden yang berasal dari loyalis Solo bisa saja menggunakan “ancaman” terselubung, misalnya, mengganjal RUU prioritas Presiden di DPR jika usulan mereka terkait Kapolri tidak didengar.
Jadi dengan proses penggantian Kapolri yang memakan waktu lama, melewati batas kelaziman masa jabatan Kapolri sebelumnya, atau diwarnai banyak “drama” dan tekanan yang justru datang dari kolega Presiden sendiri, maka wajar jika muncul dugaan atau analisis yang menilai Presiden “lemah” dalam menjalankan kekuasaannya.
Dugaan “kelemahan Presiden” seringkali berbanding lurus dengan dugaan adanya “tekanan”. Tekanan ini bisa bermanifestasi dalam berbagai bentuk, dari yang halus hingga yang bersifat intimidatif.
Para pemilik bisnis besar (terutama di sektor ekstraktif seperti tambang, sawit, atau infrastruktur) sangat berkepentingan dengan siapa yang menjabat Kapolri. Mereka membutuhkan “backing” keamanan untuk operasional bisnis mereka.
Dalam pertarungan elite, bukan tidak mungkin ada faksi (baik dari internal Polri, intelijen, atau partai) yang “menyandera” Presiden atau lingkarannya dengan informasi sensitif/negatif.
Bentuk intimidasi yang lebih jauh adalah ketika faksi tertentu “bermain” dengan membiarkan eskalasi isu keamanan di wilayah tertentu, untuk mengirim pesan kepada Presiden bahwa “stabilitas terancam” jika ia salah memilih Kapolri.
Ini adalah skenario “deep state” yang ekstrem, namun sering menjadi bahan spekulasi di kalangan pengamat.
Proses penggantian Kapolri adalah mikrokosmos dari pertarungan kekuasaan di Indonesia. Hak prerogatif Presiden secara de jure (hukum) sangat kuat, namun secara de facto (realitas) ia terkunci oleh berbagai kepentingan.
Dugaan “kelemahan” Presiden muncul bukan karena Presiden tidak punya kuasa, tetapi karena ia terlihat tidak mampu atau tidak mau menggunakan kuasanya secara penuh akibat kalkulasi biaya politik yang terlalu tinggi dari tekanan koalisi, faksi internal, dan opini publik.
Begitulah realita politik, logika seringkali berlaku terbalik, tak ada jaminan Jenderal Pasukan Khusus yang ditempah dalam kawah candradimuka mampu mengalahkan Tukang Kayu yang ditempa dalam saluran gorong-gorong.
Memalukan memang, tapi begitulah faktanya, mau apa lagi..?
(Cak Bonang. Aktivis. Srawungan AKAS. Arek Kampung Suroboyo. Senin, 20 Oktober 2025)









