Ketika Negara Tunduk Pada Oligarki
KEMPALAN : Negara, dalam idealnya, lahir dari kontrak sosial. Rakyat menyerahkan sebagian haknya untuk diatur demi kebaikan bersama.
Ironinya idealisme itu kini tampak seperti dongeng yang diceritakan di ruang kelas, bukan kenyataan di ruang kekuasaan.
Sebab di banyak negara—termasuk Indonesia—yang memerintah bukan lagi kehendak rakyat, melainkan kehendak segelintir elite yang menguasai sumber daya ekonomi, politik, dan bahkan narasi publik.
Inilah yang disebut oleh banyak ilmuwan politik sebagai oligarki modern—suatu sistem di mana kekuasaan tidak dijalankan oleh institusi negara secara demokratis, tetapi oleh kelompok kecil yang memiliki kekayaan dan pengaruh besar untuk mengendalikan negara dari balik layar.
Mengapa negara selalu kalah oleh kekuatan oligarki? Jawabannya sederhana namun menyakitkan: karena negara bergantung pada sumber daya yang dikuasai para oligark.
Dalam sistem demokrasi yang semakin komersial, ongkos politik yang tinggi menciptakan simbiosis parasit antara penguasa dan pengusaha.
Politikus butuh dana untuk kampanye, membangun citra, dan membeli dukungan, sementara pengusaha membutuhkan perlindungan, izin, dan kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka.
Maka, transaksi itu menjadi jantung dari sistem yang rusak—negara tak lagi berdaulat, melainkan menjadi “perusahaan bersama” yang sahamnya dikuasai segelintir pemilik modal.
Ekonom politik terkemuka Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy (2011) menegaskan bahwa oligarki adalah bentuk kekuasaan yang abadi. Bukan sistem yang bisa dihapus, tetapi hanya bisa dikelola.
Winters berargumen bahwa sepanjang ada ketimpangan kekayaan ekstrem, oligarki akan selalu menemukan cara untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya, entah melalui institusi hukum, partai politik, atau bahkan narasi moral.
Dalam konteks Indonesia, analisis Winters terasa menampar: sejak era reformasi, oligarki tidak hilang, hanya berganti wajah.
Mereka bertransformasi dari pengusaha yang mendekati penguasa menjadi penguasa yang sekaligus pengusaha.
Dari sinilah muncul paradoks besar, negara yang konstitusinya menegaskan kedaulatan rakyat justru dikuasai oleh elite ekonomi.
Kebijakan dibuat bukan berdasarkan kebutuhan publik, tetapi berdasarkan kalkulasi laba dan kepentingan kelompok tertentu.
Subsidi energi bisa dicabut dengan alasan efisiensi, sementara proyek-proyek besar dengan nilai ratusan triliun bisa melenggang tanpa transparansi.
Dalam kondisi seperti itu, negara kehilangan fungsi utamanya sebagai penjaga kepentingan rakyat, dan berubah menjadi mesin legal yang melayani kepentingan segelintir orang.
Kekalahan negara dari oligarki tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia tumbuh dari kompromi kecil yang dianggap wajar: izin tambang yang diberikan karena alasan “pembangunan daerah,” konsesi hutan demi “investasi lapangan kerja,” atau revisi undang-undang dengan dalih “kepastian hukum.”
Setiap kompromi semacam itu menanamkan akar oligarki lebih dalam ke tubuh negara. Lama-kelamaan, mereka tidak hanya memengaruhi kebijakan, tapi juga menentukan siapa yang boleh memerintah dan siapa yang harus tersingkir.
Maka, pemilu bukan lagi ajang kontestasi ide dan program, melainkan pertarungan kapital yang dibungkus retorika demokrasi.
Dampak dari dominasi oligarki sangat luas dan mendalam. Pertama, lahir ketimpangan ekonomi yang semakin ekstrem. Ketika kebijakan pajak, subsidi, dan investasi dibuat untuk menguntungkan pemilik modal besar, maka kekayaan akan terus mengalir ke tangan segelintir orang.
Data Oxfam menunjukkan bahwa di Indonesia, 1% orang terkaya menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional. Ketimpangan semacam ini tidak hanya menciptakan jurang sosial, tapi juga mematikan mobilitas ekonomi rakyat kecil.
Anak petani sulit menjadi dokter, anak buruh sulit menjadi pengusaha, karena struktur sosialnya telah dikunci oleh oligarki.
Kedua, muncul krisis moral dalam birokrasi dan politik. Ketika pejabat publik terbiasa bernegosiasi dengan oligark, maka standar etika bergeser, korupsi dianggap bagian dari mekanisme, bukan pelanggaran.
Bahkan, sebagian masyarakat mulai memandang wajar bahwa “uang berbicara lebih keras daripada suara rakyat.”
Ketiga, dominasi oligarki merusak tatanan hukum. Hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, melainkan alat legitimasi. Kasus besar bisa diredam, pelanggaran bisa disulap menjadi prestasi, dan keadilan menjadi komoditas yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang mampu.
Dalam jangka panjang, dominasi oligarki menggerogoti fondasi demokrasi. Ketika rakyat merasa suaranya tak berpengaruh, maka apatisme tumbuh.
Demokrasi pun kehilangan makna karena partisipasi politik hanya menjadi ritual lima tahunan tanpa daya tawar substantif. Itulah yang disebut Noam Chomsky, intelektual asal Amerika Serikat, sebagai “manufactured consent”—persetujuan yang diproduksi secara sistematis oleh elite untuk menciptakan ilusi kebebasan.
Rakyat merasa mereka memilih, padahal pilihan mereka telah disiapkan oleh kekuatan modal yang mengendalikan media, survei, dan opini publik.
Namun, apakah negara benar-benar tak punya daya melawan oligarki? Tidak sepenuhnya.
Negara bisa melawan jika memiliki keberanian politik untuk menegakkan aturan tanpa pandang bulu dan memperkuat transparansi di setiap sektor kebijakan.
Penguatan lembaga antikorupsi, pajak progresif yang adil, dan pembatasan pendanaan politik adalah langkah-langkah awal untuk merebut kembali kedaulatan negara dari tangan oligark.
Tapi langkah-langkah itu memerlukan dukungan moral dan politik yang besar dari masyarakat, sebab oligarki tak akan diam melihat sumber kekuasaannya terancam.
Masalahnya, masyarakat modern sering terjebak dalam kenyamanan semu yang ditawarkan oleh sistem oligarkis, pembangunan fisik yang megah, proyek infrastruktur yang tampak spektakuler, dan narasi stabilitas yang meninabobokan.
Semua itu membuat rakyat lupa bahwa di balik pencitraan itu, ada sistem yang menindas tanpa terlihat.
Negara, dalam arti sejatinya, kalah bukan karena lemah, tapi karena menyerah—karena penguasa memilih berdamai dengan oligarki demi kelangsungan kekuasaan mereka sendiri.
Pada akhirnya, pertarungan antara negara dan oligarki bukan sekadar soal siapa yang memerintah, tetapi soal siapa yang menentukan arah masa depan, rakyat atau segelintir pemilik kekayaan.
Jika negara terus tunduk pada oligarki, maka demokrasi akan tinggal nama, dan rakyat hanya menjadi penonton dalam panggung kekuasaan yang dibeli dengan uang.
Seperti kata Jeffrey Winters, “Oligarki bukanlah bayangan masa lalu, melainkan realitas masa kini yang akan terus membentuk masa depan, kecuali jika negara dan rakyat berani merebut kembali kendali atas nasib mereka sendiri.”
Oleh: Bambang Eko Mei
*









