Tiga Triumvirat Kecil

waktu baca 5 menit


Oleh: Dhimam Abror Djuraid

KEMPALAN: Tiga orang ini menjadi triumvirat kecil di Surabaya. Eri Cahyadi (Wali Kota), Armuji (Wakil Wali Kota), dan Dominikus Adi Sutarwijono alias Awi (Ketua DPRD) sekaligus Ketua PDIP Surabaya.

Tiga triumvirat kecil itu merupakan produk PDIP Surabaya. Armuji dan Awi merupakan kader asli, sementara Eri Cahyadi adalah kader muallaf, baru masuk PDIP pada kontestasi Pilwali Surabaya 2019.

Sekarang triumvirat kecil itu bubrah. Awi dipecat dari jabatannya sebagai Ketua PDIP Surabaya. Jabatannya sebagai Ketua DPRD untuk sementara masih aman. Tetapi, harus siap-siap setiap saat bisa melayang.

Awi dan gengnya di PDIP Surabaya dipecat karena dianggap gagal menjaga soliditas partai yang menyebabkan kinerja merosot. Salah satu indikatornya adalah penurunan perolehan kursi DPRD Surabaya yang melorot dari 15 kursi menjadi 11 kursi.

Selain itu ada banyak alasan organisatoris yang menyebabkan organisasi tidak berjalan efektif. Ada masalah komunikasi organisasi yang dianggap tidak berjalan baik. Selain itu ada juga masalah pengelolaan keuangan.

Alasan-alasan itu tentu saja bersifat subjektif dan bisa diperdebatkan. Yang jelas Awi telah menjadi korban dari pertarungan antar-faksi di internal PDIP. Pertarungan itu sudah berlangsung lama, dan masih terus berlangsung di balik kandang.

Faksi Armuji pernah terlibat perseteruan keras dengan faksi almarhum Whisnu Sakti Buana. Ketika itu Armuji menjadi Ketua PDIP Surabaya dan Whisnu menjadi Wakil Wali Kota di bawah Tri Rismaharini.

Menjelang pemilihan Wali Kota 2020 dua kubu itu bersaing keras. Kursi Wali Kota yang lowong ditinggalkan oleh Risma menjadi rebutan dua kader PDIP itu. Whisnu berambisi utuk mendapatkan rekomendasi dari DPP PDIP supaya bisa maju menjadi calon Wali Kota.

Risma punya plot lain. Ia tidak menghendaki Whisnu sebagai penggantinya, dan diam-diam menyodorkan Eri Cahyadi yang sudah disiapkan menjadi protégé-nya. Di tengah persaingan sengit itu Armuji membuat manuver ‘’politik melipir’’ dengan merapat ke Risma.

Whisnu harus menelan pil pahit karena Megawati Soekarnoputri lebih percaya kepada Risma ketimbang Whisnu. PDIP memilih Eri Cahyadi sebagai calon Wali Kota. Armuji mendapatkan durian runtuh menjadi calon Wakil Wali Kota mendampingi Eri.

Pasangan Eri-Armuji dengan mudah mengalahkan pasangan Machfud Arifin Mujiaman yang didukung oleh delapan partai koalisi . Kemenangan itu bukan cerminan kemenangan PDIP, tapi lebih sebagai kemenangan Risma, karena ‘’Risma Factor’’ masih sangat kuat di Surabaya.

Kubu Whisnu tersingkir, kubu Armuji berkibar. Tapi kubu Whisnu masih kebagian jatah di DPRD karena banyak kader binaan Whisnu yang menjadi anggota dewan. Penunjukan Awi sebagai ketua DPRD bisa menjadi pelipur lara bagi kubu Whisnu.

Pada pilwali 2024 keadaan berbalik. Jika sebelumnya Eri-Armuji dikeroyok oleh koalisi 8 partai, kali ini pasangan Eri-Armuji ‘’seng ada lawan’’, hanya menghadapi bumbung kosong, karena semua parpol berhasil diringkus menjadi satu. Eri-Armuji menang mutlak.

Eri makin pintar setelah berpengalaman lima tahun. ‘’Risma Factor’’ sudah tidak signifikan. Eri mulai berani ‘’mbalelo’’ terhadap Risma. Bahkan, Eri terkesan main dua kaki ketika Risma maju di kontestasi Pilgub 2024 melawan Khofifah.

Eri-Armuji tetap ber-Sinerji, seperti tagline kampanye mereka. Tapi hubungan kedua orang itu ‘’hangat-hangat tahi ayam’’. Armuji tahu bahwa posisi Wakil Wali Kota hanya ban serep.

Sebagai politisi gaek Armuji cerdik. Diapun mencari peran di panggung lain supaya tidak berbenturan dengan Eri Cahyadi. Armuji pun menjadi Wakil Wali Kota medsos. Tiap hari dia ‘’ngonten’’. Tidak ada hari tanpa ‘’ngonten’’.

Kalau Dedi Mulyadi dijuluki sebagai ‘’Gubernur Konten’’, Armuji layak dijuluki “Wawali Konten’’. Meskipun tidak banyak peran di birokrasi, yang penting eksis di medsos.

Armuji berusaha supaya tetap floating, mengambang tidak tenggelam, dan tetap diingat di ‘’top of mind’’ publik Surabaya. Syukur-syukur bisa dapat popularitas dan elektabilitas yang cukup untuk modal maju di Pilwali 2029.

Di panggung yang lain Eri Cahyadi sedang memainkan plot wist. Ia makin pintar memainkan dramaturgi. Di front stage, panggung depan, Eri bermain sebagai anak manis, tidak doyan kekuasaan. Dalam banyak kesempatan dia bersumpah ‘’Demi Allah’’ tidak berambisi menjadi walikota. Tapi, di back stage, panggung belakang, beda cerita. Eri ‘’tanduk’’ satu periode lagi.

Pilwali 2029 mash jauh. Tapi bau anyir sudah tercium. Pemecatan Awi menjadi indikasi munculnya saling sikut di antara para triumvirat kecil. Awi dikenal dekat dengan Eri. Armuji merasa menjadi outcast yang terasingkan. Dengan terpentalnya Awi ada kesempatan bagi Armuji untuk menempatkan orangnya sebagai Ketua PDIP Surabaya.

Sebagai Wali Kota dua periode Eri akan memainkan peran penting untuk mengendorse calon di pilwali 2029. Apakah Eri akan mengendorse Armuji? Kelihatannya jauh panggang dari api.

Malah ada tanda-tanda Eri mempersiapkan ‘’ordal’’, orang dalam, untuk menjadi penerusnya. Nama yang sedang digadang-gadang ialah Rini Indriyani, istri Eri Cahyadi.

Eri sudah pintar berpolitik. Dia belajar dari para kepala daerah yang mempersiapkan istrinya sebagai pengganti. Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi, Mustofa Kemal Pasha di Kabupaten Mojokerto, Eddy Rumpoko di Batu, adalah contoh-contoh kepala daerah yang berhasil menjadikan istrinya sebagai penerus.

Eri aktif mempromosikan sang istri. Beberapa program Pemkot Surabaya memakai inisial R1N1 yang mengacu pada nama istrinya. Sebuah rumah sakit di wilayah Surabaya timur diberi nama ‘’Eka Candrarini’’.

Eri boleh saja menjiplak para kepala daerah yang menyiapkan istri sebagai penerus. Tapi Eri harus ingat bahwa dua di antara tiga kepala daerah itu masuk penjara. Satu di antaranya meninggal di penjara (DAD)

Editor: Nur Izzati Anwar (Izzat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *