Infantilisme dalam Politik
KEMPALAN: Dalam dunia politik, infantilisme bukan sekadar fenomena psikologis individu, tetapi juga pola perilaku yang mencerminkan ketidakdewasaan dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan.
Infantilisme politik bisa dilihat dalam berbagai bentuk, mulai dari ketidakmampuan menerima kritik, sikap defensif terhadap perbedaan pendapat, hingga kebiasaan mencari kambing hitam alih-alih bertanggung jawab.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Larry Diamond, seorang pakar demokrasi dari Stanford University, pernah menyatakan bahwa “demokrasi yang sehat membutuhkan pemimpin yang memiliki kapasitas untuk mendengar, berdialog, dan berkompromi.”
Namun, yang kita saksikan justru banyak pemimpin yang bertindak layaknya anak kecil—mudah tersinggung, enggan menerima kritik, dan lebih mengutamakan ego pribadi daripada kepentingan rakyat.
Politik Kekanak-kanakan
Salah satu bentuk infantilisme politik yang paling mencolok adalah ketidakmampuan menerima perbedaan pendapat. Banyak politisi yang lebih suka menyerang balik lawan politik mereka daripada berdialog dengan rasional.
Daripada menjawab kritik dengan data dan argumentasi yang kuat mereka lebih memilih menggunakan propaganda emosional, membangun narasi yang membingungkan, atau bahkan memainkan peran sebagai korban.
Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik ternama, pernah mengingatkan bahwa demokrasi yang dewasa membutuhkan pemimpin yang mampu berpikir dalam jangka panjang.
Dalam bukunya Political Order and Political Decay, ia menyoroti bagaimana pemimpin yang terlalu emosional dan defensif cenderung merusak institusi demokrasi.
Mereka menciptakan iklim politik yang penuh kebencian dan polarisasi, sehingga masyarakat lebih sibuk berkonflik dibanding mencari solusi bersama.
Di banyak negara, infantilisme politik juga terlihat dalam kebiasaan mencari kambing hitam. Ketika sebuah kebijakan gagal atau suatu permasalahan terjadi, alih-alih mencari solusi, banyak pemimpin justru sibuk menyalahkan pemerintahan sebelumnya, oposisi, atau bahkan rakyat sendiri.
Tindakan ini tidak hanya menunjukkan ketidakdewasaan politik, tetapi juga menghambat pembangunan yang berkelanjutan.
Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Hannah Arendt, filsuf politik asal Jerman, “Tanggung jawab adalah bagian fundamental dari kepemimpinan.
Ketika seorang pemimpin lebih sibuk mencari kambing hitam daripada mencari solusi, maka yang ia lakukan bukanlah memimpin, melainkan melarikan diri dari tugasnya.” Sayangnya, dalam banyak sistem politik modern, sikap ini justru semakin sering terjadi.
Seharusnya Matang, Bukan Emosional
Fenomena infantilisme politik berbahaya karena politik seharusnya dijalankan dengan kedewasaan, bukan dengan emosi sesaat.
Pemimpin yang matang adalah mereka yang mampu mendengarkan kritik, berdebat dengan argumentasi rasional, dan mengambil keputusan berdasarkan kepentingan jangka panjang.
Namun, dalam banyak kasus, kita justru melihat pemimpin yang lebih peduli pada citra diri dibanding kebijakan yang substansial.
Contohnya adalah bagaimana beberapa pemimpin dunia menggunakan media sosial bukan untuk berdiskusi atau menyampaikan gagasan, tetapi untuk menyerang lawan politik mereka secara personal.
Dengan menggunakan pendekatan populis yang penuh emosi, mereka membangun basis massa yang fanatik, tetapi pada saat yang sama, merusak norma-norma demokrasi yang sehat.
Seorang pemimpin yang matang harus mampu menempatkan kepentingan bangsa di atas ego pribadi. Mereka harus memiliki keberanian untuk mengakui kesalahan, bertanggung jawab atas keputusan yang mereka buat, dan mencari jalan keluar yang terbaik bagi rakyat.
Harus Kritis Memilih Pemimpin
Jika infantilisme politik terus merajalela, demokrasi hanya akan menjadi ajang drama tanpa substansi.
Oleh karena itu, masyarakat harus lebih kritis dalam memilih pemimpin—bukan hanya berdasarkan popularitas semata, tetapi juga dari kedewasaan mereka dalam bersikap dan bertindak.
Noam Chomsky, seorang intelektual dan pengamat politik asal Amerika Serikat, pernah mengatakan bahwa “demokrasi tidak akan bertahan lama jika masyarakat tidak memiliki kesadaran politik yang tinggi.”
Artinya, masyarakat harus lebih cerdas dalam menilai pemimpin, tidak hanya melihat janji-janji politik yang manis, tetapi juga bagaimana mereka bertindak dalam menghadapi kritik dan perbedaan pendapat.
Sebagai warga negara, kita harus berani menuntut pemimpin yang dewasa, bukan hanya dari sisi usia, tetapi juga dalam cara berpikir dan bertindak.
Bangsa yang besar membutuhkan pemimpin yang siap bertanggung jawab, bukan yang masih terjebak dalam mentalitas anak-anak.
Infantilisme dalam politik bukan sekadar masalah individu, tetapi juga masalah sistemik yang bisa merusak demokrasi jika tidak dikendalikan.
Pemimpin yang tidak mampu menerima kritik, selalu mencari kambing hitam, dan lebih mementingkan ego pribadi daripada kepentingan rakyat akan membawa negaranya ke dalam krisis yang berkepanjangan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Larry Diamond, Francis Fukuyama, dan Hannah Arendt, demokrasi hanya bisa berjalan dengan baik jika dipimpin oleh individu yang memiliki kedewasaan politik.
Jika kita ingin masa depan politik yang lebih baik, kita harus mulai dengan memilih pemimpin yang matang, rasional, dan bertanggung jawab. Sebab, hanya dengan pemimpin yang dewasa, demokrasi bisa berkembang dengan sehat dan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Oleh Bambang Eko Mei
