Jalan Tasawuf KH. Syaiful Ulum Nawawi (8)

waktu baca 4 menit
KH. Syaiful Ulum Nawawi, didampingi Ketua Yayasan Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad, Pandugo, Surabaya -- Ir. Bambang Wahyudi M.Sc. (kiri) dan Sekretaris yayasan tersebut -- Mashudi (kanan).

KEMPALAN :Dalam wawancara ke-2 tanggal 12 Februari 2025 dibahas juga tentang “kisah” seorang nenek yang ketahuan mencuri kakao, sebagaimana diposting di medsos.

Oleh perusahaan pemilik perkebunan kakao tersebut, nenek yang mencuri tadi diserahkan ke polisi yang akhirnya diproses hingga ke meja hijau, dimaksudkan sebagai pelajaran untuk mencegah agar tidak terjadi peristiwa serupa di masa yang akan datang.

Jaksa menuntut 1 tahun penjara dengan denda pengganti sebesar dua setengah juta.

Jika nenek tadi tak bisa membayar denda, maka dihukum masuk penjara selama setahun.

Setelah melalui proses persidangan, hakim tadi menyatakan begini : Hukum tetap hukum. Yang bersalah tetap dinyatakan bersalah.

Selanjutnya hakim tadi membuka toganya dan meletakkan uangnya ‘sejuta’ di toga tersebut seraya mengatakan, “semua yang hadir di persidangan ini didenda per orang ‘lima puluh ribu’. Karena membiarkan nenek ini miskin dengan anaknya yang sakit dan cucunya kelaparan.”

Toga tadi lantas beredar di ruang sidang yang dipenuhi pengunjung. Setelah dihitung, terkumpul uang ‘empat juta’. Yang ‘dua setengah juta’ diserahkan sebagai denda pengganti kurungan, sedangkan yang ‘satu setengah juta’ diberikan ke nenek miskin itu untuk dibawa pulang.

Uang terkumpul ‘empat juta’ itu termasuk denda ‘lima puluh ribu’ dari manager perusahaan perkebunan kakao yang hadir di persidangan.

Bagaimana reaksi KH. Syaiful Ulum Nawawi?

Begini kurang lebih narasi jawaban beliau :

Pada konteks peristiwa di atas, nenek tadi tetap divonis bersalah. Dalam hukum positif –kalau ada orang melakukan tindakan kriminalitas A, maka hukumannya B– minimal sekian waktu masuk penjara dan maksimal sekian waktu dijebloskan. Atau dengan denda pengganti.

Pada dasarnya hakim hukum positif itu punya wilayah kuasa yang tak bisa dicampuri oleh siapapun. Makanya kalau kita ingat pelajaran di sekolah dulu, ada disebut bahwa negara itu memiliki tiga pilar, yaitu : eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Hakim merupakan bagian dari unsur yudikatif, punya wewenang mutlak untuk memutus perkara berdasarkan pasal-pasal yang teruji dan tersusun dalam KUHAP.

“Tapi,” kata KH. Syaiful Ulum Nawawi, “Hakim itu juga manusia. Dan hakim pengadilan tadi punya ‘rasa’ bahwa nenek tersebut mencuri kakao karena terpaksa, disebabkan kemiskinannya.”

Dalam hal-hal tertentu, bisa saja ‘logika’ dan ‘rasa’ : “bertemu”. Sekali lagi: dalam hal-hal tertentu.

Hakim yang bijak bisa “mempertemukan” tanpa mengorbankan fakta hukum.

Itulah, boleh jadi ada hakim yang secara sadar atau tidak, melakoni jalan tasawuf dalam memutus perkara dengan landasan : welas asih.

*

Pengadilan meja hijau adalah domain logika. Ranah “rupa”. Bukan wilayah tasawuf. Kalau tasawuf, sebagaimana beberapa kali saya sampaikan adalah wilayah “rasa”. Ada yang bilang, ‘logika’ dan “rasa” tidak bisa ketemu. Dalam konteks tertentu tidak demikian.

Memang benar jika ‘salah’ dan ‘benar’ itu perkara “rupa”. Sedangkan ‘kaya’, ‘kurang kaya’ atau ‘miskin’, itu wilayah “rasa”.

Nah, pencuri miskin yang mencuri karena kelaparan, muara keadilannya acapkali belok ke : wilayah “rasa”. Tentu saja itu berlaku bagi hakim yang betul-betul paham keadilan berdasarkan prinsip welas asih. Beda lagi putusannya kalau hakim paham betul bahwa peristiwa pencurian terjadi manakala berkaitan dengan perbuatan mencuri yang sudah jadi kebiasaan, sudah jadi kultur — profesional.

Apakah orang semacam hakim yang mengadili mbah pencuri kakao tadi pernah belajar ke seseorang semacam guru yang Sufi? Bisa iya, bisa tidak. Yang namanya guru itu bisa saja perwujudan personal, atau bisa jadi berupa guru kehidupan. Kedua guru ini tugasnya membukakan pintu untuk ‘menungso’ ketemu karo sing ‘gawe urip menungso’.

Makanya di sini ada semacam proses, kenapa kalau ada sebutan murid –orang yang sedang mencari sesuatu– lalu muncul sosok mursyid. Sang pencerah. Sang pengarah.

Mursyid memberitahu jalan pengembaraan. Nah, ada istilah dalam dunia tasawuf bahwa guru tugasnya “membuka pintu”. Murid dipersilakan memulai perjalanannya lewat pintu yang dibukakan tadi.

Atau secara filosofis, begini: guru tugasnya membuka pintu yang menghubungkan perjalanan manusia menuju Tuhannya.

Bagaimana caranya?

Sang murid diberi kesempatan berjalan. Proses itu diistilahkan perjalanan kehidupan mencari kesejatian diri berdasarkan prinsip kasih sayang. Prinsip welas asih.

*

Cekak aos, berkaitan dengan hukum dan hakim, adakah yang benar-benar adil ?

Kalau secara ekstrem tidak ada, kecuali sing gawe urip : Allah SWT.

Kalau mendekati seadil-adilnya : ada.

Karena apa? Peradilan hukum positif itu berdasarkan fakta. Istilahnya : fakta hukum. Tetapi yang namanya kesalahan, kekhilafan, itu kan ada prosedurnya untuk dihakimi. Kenapa sampai mencuri?

Karena itu seorang hakim ketika memutus perkara, sebaiknya melihat dari sisi “rasa” juga, kenapa seseorang berbuat salah dengan melakukan kriminalitas.

Di balik itu, bisa saja ada orang tobat jika berhadapan dengan hakim yang welas asih.

Allah itu Maha Tahu dan Maha Berkehendak. Cara Allah itu macam-macam untuk menjadikan orang tobat. Maka ada yang dimasukkan ke perkara dosa dulu.

Kan podo karo ngene, lho kok aku nglakoni duso. Kok aku diputus salah?” Baru kemudian orang itu menyadari kesalahannya. Kalau sudah kejeblos, maka sadarlah dia.

Sebetulnya agama itu sudah memberi warning melalui ayat-ayat ‘perintah’ dan ‘larangan’. Kalau orang-orang mengamini dan mematuhi ayat-ayat itu, tidak akan masuk bui.

*

Dari paparan panjang lebar di atas, di situ kita bisa melihat bahwa sesungguhnya hukum positif itu bukan satu-satunya yang bikin entitas : lokal, regional, bahkan nasional — menjadi aman tenteram. Jangan lupa dengan peran welas asih. (Amang Mawardi – Bersambung).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *