Kemiskinan dan TBC
KEMPALAN : Ini “episode” lama. Suatu hari saya dikontak sahabat saya Toto Sonata, intinya menyampaikan permintaan maaf lantaran tidak bisa hadir pada pertemuan komunitas yang diadakan malam sebelumnya, karena mengikuti acara tahlilan tetangganya, seorang almarhumah –ibu sejumlah anak– yang usianya 40-an tahun.
Lantas Toto menceritakan ihwal almarhumah bahwa kamar kontrakannya seukuran 3 x 3 meter. Dilukiskan berantakan, penuh dagangan jajanan kemasan yang biasa dikonsumsi anak-anak kecil.
Almarhumah sangat bertanggung jawab kepada keluarganya, kata Toto. Tubuhnya digambarkan kurus sekali. Mungkin salah satu faktor karena seringnya kena angin malam.
Kalau berjualan hingga mendekati larut dengan kondisi udara terbuka, di suatu titik lokasi di sebuah kawasan di mana Toto tinggal, dekat Tambaksari.
“Ia meninggal karena TBC, menyusul suaminya yang meninggal juga karena penyakit serupa sekian tahun sebelumnya,” papar Toto.
Anaknya yang diopeni yang besar cewek, masih duduk di SMA negeri di Jalan Ngaglik, Surabaya. Sedang adiknya masih SD jelang mau dikhitan.
Berarti ada yang tidak diopeni? “Ada,” kata Toto, “Diopeni negara, sedang menjalani hukuman di LP Madiun karena perkara kriminal…” Anak pertama almarhumah seorang laki-laki.
“Sekarang 2 anak yang tinggal di dekat rumah Anda itu bagaimana hidup sehari-hari, yang masih di kamar kontrakan,” tanya saya. Jawab Toto, ada salah satu famili yang ikut mengawasi.
Penyakit TBC disebabkan microbactery tuberculosis. Sering menular pada orang terdekat, seperti yang tinggal serumah.
Itu semua setidaknya yang saya baca di Google.
Pengobatannya harus telaten, tidak boleh putus-putus. Dan butuh waktu relatif lama, antara 6 bulan sampai setahun. Biasanya penderitanya hidup di kawasan padat penduduk dan kumuh.
Paparan Google di atas tidak keliru. Mirip pengalaman saya saat masih bujang, pernah mengontrak kamar di kawasan padat penduduk, di kawasan kampung Karangasem, Surabaya.
Karena gaji yang sangat minim, sering terlambat makan — ini boleh jadi faktor yang menurunkan potensi tubuh, akhirnya bakteri itu menyerang paru-paru. Saya pun divonis TBC.
Setahun kemudian saya dinyatakan bersih dari TBC karena disiplin minum obat. Salah satu obat yang saya ingat initial-nya INH.
Karena ingin cepat sembuh, saya sering beli yang paten. Sedikit lebih mahal.
Pernah karena duit di saku sangat menipis banget, saya nekat beli obat (paten) penyakit itu cuma 2 tablet. (Hebat apotiknya, mau melayani eceran). Biasanya saya beli satu emplek.
Dan yang bikin saya grogi bin malu, yang melayani saya di apotik dekat kontrakan adalah cewek alumnus SAA yang kompleks sekolahnya jadi satu dengan kampus saya di Jl. Kapasari 3-5 Surabaya.
Saya memang kenal mbak cantik itu, tapi tidak akrab. Yang saya ingat lagi, selain cantik beliau sekretaris OSIS.
Namun, karena kemauan untuk sembuh kuat, saya tidak ingin pengobatan terputus 1-2 hari. Maka dengan harap-harap cemas saya datangi apotik itu, untuk beli eceran — 2 tablet saja : Semoga yang melayani bukan mbak alumnus SAA yang saya maksud itu. Eladalah, lha kok ndilalah yang melayani beliaunya. Ya, sudahlah. Apa boleh buat…
Cerita selanjutnya, obat pun terus saya minum tiap hari sesuai petunjuk dokter, sampai sekitar setahun. Akhirnya saya dinyatakan sembuh.
Toto sendiri, meski tinggal di kawasan padat penduduk, rumahnya tembok kokoh bertingkat dengan 4 kamar.
Dulu hampir setiap hari saya ke rumah Toto, sehabis ngantar istri mengajar di SMA negeri di Jalan Ngaglik. Mobil van saya, dengan sedikit sulit saya parkir di jalan agak lebar, dekat rumah Toto.
Karena masih pagi, sering mampir ke rumah Toto yang jaraknya sekitar 500 meter dari SMA negeri itu, untuk ngobrol apa saja. Tentu sering diajak sarapan, menikmati masakan istrinya yang luar biasa lezatnya.
Setelah itu baru saya “ngantor” di DKS (Dewan Kesenian Surabaya) dan urusan lainnya di luar kantor DKS.
Hari-hari ini saya prihatin dan timbul rasa empati. Salah satu sahabat saya sosok penggiat literasi, berdasar informasi yang saya peroleh dari yang bersangkutan, “Saya absen 6 bulan ya, cak. Saya di rumah terus. Gak boleh keluar. Ada masalah di paru-paru saya.”
Saya menduga dia menderita sakit seperti yang saya alami sekitar 45 tahun lalu. Apalagi diperkuat informasi sana-sini dari sahabatnya yang juga sahabat saya.
Yang saya heran kalau penyakit yang saya maksudkan –setidaknya dulu– diidap oleh banyak masyarakat miskin, kurang gizi, ditambah dengan lingkungan yang buruk, kenapa teman saya itu yang rumahnya gedong bersih, dalam lingkungan real estate yang nyaman dan teratur, kok bisa kena juga. Antitesa yang bikin tanda tanya.
Semoga beliau segera sehat kembali. (Amang Mawardi).
![](https://kempalan.com/wp-content/uploads/2022/12/KEM-24x24.png)