Literasi Digital dan Perempuan dalam Perbincangan Akhir Tahun

waktu baca 6 menit
Ilustrasi ibu bermain hp (*)

Ini perjumpaan kami yang kesekian kali. Beruntung dapat bersua di tempat senyaman dan terasa mahal, namun ada intimasi dan keakraban di suasananya. Kami duduk berhadapan setelah sejenak tadi berpelukan dan berciuman di pipi. Ini malam terakhir di penghujung tahun. Kemewahan kami adalah bisa bertatapan langsung, bertukar kata, menajamkan nalar.

“Aku kira kehidupan perempuan jaman dahulu itu lebih tenteram. Urusan mereka hanya seputar ‘sumur, dapur, kasur’. Tidak seperti sekarang, Internet on Thing kata orang, jaman semua serba digital, serba internet. Jika tidak kenal dengan dunia maya, seolah hidup di jaman batu.”

“Baru sekali ini aku mendengar ada yang mengeluhkan kemajuan zaman. Ini Era Society 5.0, kehidupan manusia sudah sedemikian rupa berkelidan dengan keberadaan internet. Memang hidup tidak menjadi lebih sederhana, tetapi ada banyak kemudahan yang bisa kita tuai.”

“Well, memang media digital dan internet membuat ruang ekspresi dan aktualisasi diri perempuan menjadi lebih luas dan terbuka. Namun, itu hanya berlaku bagi mereka yang mempunyai akses, berkemampuan pikir, dan berketerampilan teknis yang memadai dalam menggunakan internet. Perempuan dengan pemahaman terbatas tentang dunia maya –apalagi yang tidak tahu secara tepat dan benar bagaimana menggunakan segala piranti dan fitur yang menghubungkannya dengan internet– malah berada dalam posisi rentan.”

“Nah, di titik ini, penting untuk meningkatkan pemahaman perempuan tentang literasi digital. Bayangkan, jika semua perempuan di Indonesia ini secara merata memiliki pemahaman dan kemampuan untuk memanfaatkan internet dengan baik, maka itu akan berkontribusi signifikan terhadap ketahanan bangsa.”

“Hidup ini memberikan beban terlalu berat pada pundak perempuan. Ketahanan bangsa saja salah satunya ditumpukan kepada perempuan, mendidik generasi penerus bangsa dititahkan kepada perempuan, menjaga moral bangsa diamanahkan kepada perempuan. Aku, sebagai perempuan, merasa terhormat dengan peran besar yang diharapkan dapat dijalankan oleh perempuan bagi bangsa. Ini semacam pengakuan bahwa perempuan adalah komponen bangsa yang strategis, tidak bisa diremehkan, tidak boleh dimarginalkan. Namun, di sisi lain, dengan tuntutan yang demikian banyak, apa fasilitas dan dukungan yang diberikan kepada para perempuan?”

“Memang tampak mustahil mengharapkan perempuan akan mampu melaksakan tugas-tugasnya tanpa ada proses pembekalan dan penguatan. Literasi digital itu terbilang hal baru dalam peradaban manusia. Penguasaan kemampuan di sektor ini tidak bisa diperoleh secara otodidak, tidak ada orang yang terlahir dengan membawa bakat literasi digital. Kemampuan ini harus diajarkan, dipupuk, dan ditumbuhkan.”   

“Bayangkan, literasi digital itu memiliki banyak spektrum: kecakapan digital, budaya digital, etika digital, dan amanat digital. Kecakapan digital bisa dicapai dengan mengajarkan penguasaan teknis pada perangkat keras dan pengenalan fitur-fitur yang tersedia. Sedangkan budaya, etika, dan amanat digital itu perlu dirumuskan terlebih dahulu lantas diajarkan.”

“Budaya digital itu merupakan hal yang bisa diintervensi oleh manusia sebagai pelaku budaya. Penyebarluasan pakem dan norma dalam berselancar di dunia maya perlu dirumuskan oleh pihak yang berwenang, kemudian disebarluaskan hingga dikenali banyak orang untuk kemudian dijadikan code of conduct di dunia maya. Berawal dari kebiasaan-kebiasaan itulah maka akan terbentuk budaya yang sehat, saling mendukung, juga saling mengamankan platform digital.” 

“Masalah etika digital ini lebih menantang lagi. Etika semestinya berlaku sama baik itu di kehidupan daring maupun luring. Akan tetapi, etika digital itu perlu lebih digencarkan penerapannya mengingat dunia maya memiliki tantangan yang berbeda dengan dunia non-maya. Pelanggaran etika di dunia maya sulit untuk dikenai sanksi sosial, karena internet demikian luas dan tidak memiliki batas-batas fisik. Karenanya, etika digital fokus pada proteksi diri sendiri, selain tentu saja prinsip-prinsip non-maleficent, give benefit, respect to others yang juga masih sangat relevan dan perlu diberlaku di dunia maya.”

“Sedangkan amanat digital lebih menekankan pada pentingnya penggunaan internet bukan sekedar dan sebatas pada tataran hiburan (entertainment) yang konsumtif dan cenderung membebani secara finansial. Amanat digital memberikan pesan konkrit bahwa pemanfaatan dan pelibatan internet dan instrument digital dalam kehidupan manusia hendaknya diniatkan dan disasarkan kepada adanya peningkatan kualitas hidup manusia. Internet harus hadir untuk memberikan banyak kemudahan bagi penggunanya.”

“Terbukti tidak mudah kan mengajari masyarakat tentang literasi digital? Karena itu penting untuk menguatkan perempuan dalam menjalani tugas berat ini. Apa yang perlu dilakukan perempuan? Pihak mana yang memiliki tanggung jawab untuk menyediakan fasilitas dan dukungan kepada perempuan dalam hal ini?”

*Ini sebuah tugas yang diemban oleh Pemerintah, yang dapat didukung oleh masyarakat. Ada beberapa hal yang murni menjadi domain Pemerintah, sehingga masyarakat tidak bisa ikut serta dalam ranah tersebut, seperti: pembuatan kebijakan, penetapan aturan, dan penegakan hukum. Unsur masyarakat dapat diperankan pada tataran sosialisasi dan implementasi. Perempuan sebagai bagian dari masyarakat mendapat peran besar dalam hal ini.” 

“Mengapa perempuan yang diharapkan dapat berpartisipasi lebih massive dalam peningkatan literasi digital ini?”

“Bukannya di awal tadi kau sudah mengafirmasi bahwa perempuan itu komponen penting di sebuah masyarakat? Fungsi dan peran perempuan sangat strategis. Daya jangkau dan kemampuan menulari yang dimiliki perempuan ini sangat diperhitungkan. Setidaknya di ranah domestik, seorang ibu memiliki pengaruh besar bagi suami dan anak-anaknya. Ketika horizon kita perlebar, maka akan semakin nampak dominasi perempuan di masyarakat.”  

“Optimisme terhadap perempuan seperti ini memang penting terus dipupuk dan disebarluaskan. Namun, aku yakin, perempuan tidak akan menapak di jalan yang lurus dan mudah, tantangan dan hambatan pasti banyak. Persoalan terbesar bisa jadi terletak pada pengukuran kemampuan perempuan yang kurang realistis. Orang bilang over-expectation. Sementara saat ini secara nyata perempuan menjadi sasaran empuk dalam aneka modus cyber-crime.” 

“Kalau menurutku kata kuncinya tetap pada penguatan perempuan. Didik dan ajari perempuan tentang pemanfaatan internet, tunjukkan kepada mereka titik-titik lemah dan zona berbahaya di dunia maya, lantas latih mereka untuk tanggap serta mampu merespon dengan cepat dan tepat manakala terjadi modus cyber-crime.” 

“Sangat menarik. Jadi, peran perempuan memang patut diperhitungkan dan wajib dilibatkan dalam upaya peningkatan literasi digital. Ini bukan semata karena secara jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk pria, akan tetapi lebih karena memang perempuan mempunyai kapasitas yang memadai untuk menjalankan amanah besar dalam mendidik bangsa di era digital ini.” 

“Kapasitas ini timbul tidak bisa dengan sendirinya. Perempuan perlu dididik, diajari, dan dilatih secara berkesinambungan sampai perempuan berada dalam posisi kuat dan siap dalam melaksanakan tugas mulia di dunia maya.” 

“Sehingga intinya tugas yang diletakkan pada pundak perempuan terkait peningkatan literasi digital ini baru akan mampu diemban dengan baik manakala Pemerintah dan masyarakat mampu menyediakan supporting system bagi perempuan.”

“Meski perempuan diharapkan dapat mengambil peran lebih dominan, akan tetapi mustahil bagi perempuan mampu menjalankan tugas ini sendiri. Kunci sukses peran perempuan dalam meningkatkan literasi digital bertumpu pada diri perempuan itu sendiri dan tersedianya dukungan dari Pemerintah dan masyarakat,” 
“Aku yakin di atas sana, Raden Ajeng Kartini akan tersenyum mendengarkan perbincangan kita petang ini.” 

*Aku pun bangga bisa bercakap-cakap denganmu sedemikian dalam. Bangsa ini perlu lebih banyak lagi perempuan-perempuan pintar seperti kita.” 

Langit mulai meriah dengan pecahan kembang api. Hitungan mundur dipekik sana-sini. Kami bergeser ke luar, menghirup hawa malam yang perlahan meruapkan salam perpisahan.

Surabaya, 31 Desember 2024
Jani Purnawanty Jasfin
Dosen & Peneliti di Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Oleh: Jani Purnawanty Jasfin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *