Nonton Pasar Tradisional, Penjual dan Pembeli Semuanya Lelaki

waktu baca 4 menit
Pasar desa di Distrik Sirajgonj, Bangladesh. (*)

KEMPALAN: Semula saya bermaksud ‘hunting’ foto-foto pasar tradisional berbagai negara di google sebagai pelengkap ucapan salam pagi, untuk kemudian akan saya posting di beberapa WAG di mana saya menjadi salah satu anggota. Rupanya keliru. Bukan Google yang saya pencet tetapi YouTube.

Maka keluarlah “etalase” video-video pasar tradisional di sejumlah negara. Salah satunya yang saya anggap unik adalah pasar tradisional di Sirajgonj, Bhangladesh.

Video ini diproduksi oleh channel Nazmul Shadat yang bersubscribe 30,6 ribu dan sudah ditonton 1 juta lebih.

Sirajgonj adalah distrik yang terletak di bagian tengah-utara Bangladesh. Jarak dari Dhaka ibukota negara sekitar 100 kilometer.

Sebagai negara dunia ketiga, ‘in come per capita’ Banglasdesh 2.640 dollar. Bandingkan dengan Indonesia yang 4.919 dollar.

‘Income per capita’ negara yang terletak di Asia Selatan ini berada pada urutan ke-130. Sedangkan Indonesia ke-90.

Bangladesh cukup lumayan dibanding negara tetangganya Pakistan yang ‘in come per capita’-nya 1.551 dollar. Namun, masih di bawah tetangganya yang lain yaitu India: 2.301 dollar. (Sumber: Google).

Lantas apa yang unik? Semula saya hanya menyangka pasar ini jauh dari spirit modern. Artinya, selain berlokasi di ruang terbuka, juga ditandai dengan tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Ternyata inti uniknya terletak pada penjual dan pembeli yang semuanya laki-laki. Dan mayoritas mereka mengenakan sarung.

Dan yang unik lagi adalah timbangannya, mirip timbangan tangan simbol Dewi Keadilan. Banyak saya lihat, tangkai timbangan terbuat dari kayu. Bukan besi.

Menurut saya sepeda motor sudah menjadi alat transportasi personal sebagian besar penduduk Indonesia, setidaknya di kota dan desa di Jawa, Sumatera, serta sejumlah pulau lainnya. Demikian juga dengan penduduk negara-negara di Asia Tenggara, sudah banyak yang bersepeda-motor, sebagaimana sering saya tonton di YouTube.

Tetapi di pasar ini saya banyak menjumpai sepeda gowes kuno yang diparkir di beberapa sudut pasar. Maaf, banyak yang terlihat butut.

Yang unik lagi adalah traktor ukuran medium yang biasanya untuk membajak sawah, di sini dimodifikasi dan digunakan untuk mengangkut sembako. Sebetulnya hal itu tidak terlalu aneh, terutama jika disandingkan dengan negara tetangganya yang berada di sebelah selatan.

Di Myanmar traktor malah dimodifikasi dibuat angkutan orang, bangkunya di-‘setting’ menyamping saling berhadapan. Cuma terbuat dari bilah papan telanjang.

Lantas dimanakah para wanita yang biasanya bertugas selain mengasuh anak dan memasak, juga berbelanja? Ini saya yang belum menemukan jawabannya. Apakah lantaran faktor reliji? Saya tidak tahu. Saya sudah menonton sejumlah video pasar-pasar tradisional di sejumlah negara yang mayoritasnya muslim, seperti di Malaysia dan Brunai, namun saya jumpai wanitanya banyak yang menjadi pedagang di pasar, demikian juga pembelinya.

Saya rasa ini juga menyangkut budaya dan tradisi setempat. Di pasar yang lain di Desa Shongacha masih di distrik yang sama, kondisinya sama sebagaimana pasar yang saya ceritakan di atas yang oleh ‘vlogger’ Nazmul Shadat tidak disebut berada di desa apa. Yang jelas masih di Distrik Sirajgonj.

Menonton video yang saya anggap unik, kurang lengkap rasanya jika tak membaca kolom komentar. Seringkali kolom ini bisa lebih unik, konyol, dan “kurang ajar” dibanding videonya. Ada ratusan komen, datang dari banyak negara, termasuk dari Indonesia.

Yang dari Indonesia antara lain begini komennya:

  • Seperti pasar di Hindia Belanda tahun 1920-an. Atau ada yang nulis:
  • Mirip pasar di sinetron Saur Sepuh.

Tentang banyak sarung sehari-hari melengkapi ‘outfit’ para lelaki, dikomen :

  • Gajah Duduk kalau buka pabrik di sini pasti laris.

Soal sarung, saya membatin jangan-jangan merek itu sudah buka pabrik di sini, mengingat Bangladesh pasar potensial dengan jumlah penduduk 171, 2 juta jiwa.

Nah, yang membedakan dengan pasar tradisi di Mohakhali di Kota Dhaka bahwa di kota berpenduduk 7,3 juta jiwa itu tidak “seketat” yang di Sirajgonj. Satu-dua orang wanita terlihat membeli sesuatu. Tetapi para penjual di pasar tradisi itu semuanya laki-laki. (Channel AroundMeBD ).

O iya, hampir lupa. Ada saya tonton adegan ‘eker-ekeran’ –perselisihan kecil “on the spot– di video berdurasi 6 menit 9 detik di Sirajgonj ini, antara seorang penjual dengan pembeli. Justru perselisihan tersebut menambah uniknya konten itu. Perselisihan yang belum sampai pada taraf hangat, apalagi panas. Masih adem. Entah, saya kok malah terharu melihat ‘eker-ekeran’ ini. Timbul rasa kasihan saya. Mungkin karena mereka sama-sama terlihat lugu.

Ada lagi yang unik, kalau di Indonesia umumnya penjual gorengan menggunakan tabung gas, di sini kayu yang digunakan sebagai bahan bakar.

Amang Mawardi, penulis, tinggal di Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *