Tidak Punya Ibu

waktu baca 3 menit
Ilustrasi ibu dan anak (*)

Dulu, saat masa kanak-kanak, saya punya teman sepermainan yang kalau lebaran bersama keluarganya mesti berkunjung ke rumah eyang-nya di Mojokerto untuk sungkem, sekalian silaturahmi ke tetangga dan saudara di sekitar kampung halaman (salah satu) orangtuanya itu. Ketika ia mengucapkan kata ‘eyang’ berkaitan dengan sungkem silaturahmi tersebut, kedengarannya keren sekali.

Sementara kalau saya memanggil kakek-nenek saya dengan sebutan ‘mbah’ atau persisnya ‘mbah kakung’ untuk sebutan kakek dan ‘mbah putri’ untuk nenek. Dalam hati saya (waktu itu): Kok saya nggak memanggil ‘eyang’, ya? Sebutan ‘eyang’ kedengarannya selain keren juga terkesan aristokratis. Tentu saja istilah ‘aristokratis’ saat itu belum saya kenal. Yang biasa saya dengar  yaitu: bangsawan atau kebangsawanan. 

Dalam konteks cerita di bawah ini manakala dikaitkan dengan ilustrasi di atas, berbeda seratus delapan puluh derajat. Begini. Setelah dewasa, saya punya teman salah seorang tokoh Surabaya, namanya Kadaruslan (almarhum), atau lebih sering dipanggil dengan Cak Kadar. Beliau selain dikenal sebagai penggiat seni, juga salah satu tokoh Surabaya.

Suatu hari Cak Kadar kurang enak badan, lantas berobat kepada seorang dokter kenalannya. Setelah bertemu, lantas berbasa-basilah mereka.

Pak Dokter bertanya kepada Cak Kadar: “Cak, Ibu sampeyan bagaimana kabarnya?”

Cak Kadar menjawab: “Ibu? Ibu yang mana? Saya nggak punya Ibu, dok…”

Mendengar ucapan Cak Kadar, dokter itu pun sedikit heran, lantas mengatakan: “Itu loh, Ibu yang empat bulan lalu sampeyan antar ke sini untuk berobat…” 

“Oo… itu to. Itu sih Emak saya. Kalau saya nggak punya Ibu…,” kata Cak Kadar disusul senyumnya. Rupanya Cak Kadar mengajak guyon.

“Ah, sampeyan…ada-ada aja,” kata Pak Dokter tadi.

Dialog tersebut dilakukan dalam bahasa Suroboyoan yang menampakkan semangat egaliter, sederajat. Dan tentu saja ‘ibu’ sama artinya dengan ‘emak’. Atau ‘embuk’ dalam bahasa Madura, ‘ambu’ dalam bahasa Sunda, ‘bundo’ dalam bahasa Minang, atau ‘enyak’ dalam bahasa Betawi, dan lain sebagainya.

Sepertinya dalam “strata” bahasa di atas, kata ‘ibu’ lebih keren dibandingkan ‘emak’. Atau ‘eyang’ lebih aristokratis dibandingkan ‘mbah’. Tapi Cak Kadar mendobrak bentuk-bentuk “feodalisme bahasa”. Beliau lebih pas kalau mengatakan dengan sebutan ‘emak’. (Dalam konteks peta pergaulan sosial dan tempat tinggal, dulu — di Surabaya dan sekitarnya — orang-orang Surabaya asli kebanyakan tinggal di perkampungan, seperti di kawasan Peneleh, Plampitan, Lawang Seketeng, Bubutan, Kalisari, Tambak Dukuh, Kawatan, Bogen, Gersikan, dan lain-lain).

Yang tinggal di rumah-rumah loji, di jalan-jalan besar, kebanyakan “menggunakan” : ibu. 

Saya percaya, meski dialog dengan dokter tadi disampaikan secara guyon, bercanda, tapi sesungguhnya di alam bawah sadar Cak Kadar terkandung nilai-nilai betapa kuatnya Cak Kadar menjunjung tinggi budaya Arek. Betapa hebatnya beliau mengangkat kearifan lokal. Sekali ‘emak’ tetap ‘emak’, rek! 

Amang Mawardi, penulis, tinggal di Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *