Abrol! Abrol!

waktu baca 3 menit
Jamaah haji Indonesia 2024 di Makkah (foto kiriman Enty Djuraid)

Ada beberapa kejutan relijisuitas-spiritual mencerahkan yang saya alami ketika beribadah haji bersama istri pada tahun 2014. Namun, banyak juga hal-hal unik yang kami jumpai berkaitan dengan “relasi sosial“ selama kami berada di Tanah Suci, salah satunya sebagaimana yang saya kisahkan di bawah ini.

Kami rombongan Keloter (kelompok terbang) 28 Embarkasi Surabaya menginap di Maktab D 12/Hotel Rahhal Mina yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Masjidil Haram, Mekkah. Salah satu pengurus hotel kami seorang Banglades. Kesan saya terhadap orang-orang Banglades, mereka ‘grapyak’ dan suka humor. Pengurus hotel tersebut berperawakan sedang-sedang saja. Tingginya sekitar 170 sentimeter, usianya kira-kira 40 tahun. Tentu saja dia sering saya jumpai di hotel.

Suatu hari serombongan jemaah masuk ke salah satu lift untuk naik menuju kamar masing-masing di lantai berbeda-beda. Dalam lift tersebut ada 12 jemaah termasuk pengurus hotel yang orang Banglades itu yang memakai baju gamis warna coklat strip-strip.

Saat dalam lift saya mencoba berbasa-basi bertanya kepada pengurus hotel tersebut dalam bahasa Indonesia, “Anda bisa berbahasa indonesia?”. Dia tidak menjawab, sepertinya tidak bisa menangkap arti pertanyaan saya. Lantas saya tanya dalam Bahasa Inggris “Could you speak indonesia?“ Dia spontan menjawab dalam bahasa indonesia, “kecil-kecil…,” disusul senyumnya. Serentak yang berada dalam lift tertawa. Seorang ibu lantas menimpali: ” ‘Sedikit-sedikit’, bukan ‘kecil-kecil’, Pak.” Lagi-lagi manajer yang Banglades itu tersenyum. Dalam Bahasa Inggris ‘kecil-kecil’: artinya ‘a little’, yang sering menjadi kata jawaban jika seorang (sedikit paham Bahasa Inggris) ditanya apa bisa berbahasa Inggris. Tapi, dalam konteks kalimat pertanyaan di atas, pemaknaannya lebih tepat: ‘sedikit-sedikit’ (bukan ‘kecil-kecil’).

Sejurus kemudian saya lanjutkan bertanya kepada manajer hotel tadi dalam Bahasa Inggris yang terjemahannya: “Anda mau ke lantai berapa?” Lantas dia menjawab dalam Bahasa Indonesia, “Ke tiga lantai!” disusul senyum ramah.

Anda tahu kan maksud jawaban manajer hotel tersebut? Ya, maksudnya dia mau ke ‘lantai tiga’, bukan ke ‘tiga lantai’, he-he-he …

Dalam pelajaran Bahasa Indonesia saya lupa ini masuk ‘Hukum M-D (menerangkan diterangkan’ atau ‘Hukum D-M (diterangkan menerangkan)’.

Masih di seputar orang-orang Banglades, kali ini kejadiannya berlangsung di belakang hotel kami menginap di mana terdapat sebuah jalan kecil jika dibandingkan jalan yang ada di depan hotel kami. Di situ terdapat banyak hotel-hotel yang lebih kecil lagi dibanding hotel/maktab tempat kami menginap, dan dikerubungi oleh bangunan-bangunan semi permanen tempat berjualan para pedagang barang-barang kelontong dan ‘outfit’ pakaian Muslim — mukena, sajadah, sarung, topi haji, kafiyeh, dan lain lain — serta para pedagang kaki-lima tak beratap yang menjual barang-barang sejenis itu, juga penjual buah-buahan. Mereka umumnya berkebangsaan Banglades dan bisa berbahasa Indonesia. Mungkin tingkat kepintarannya sama dengan orang-orang Bali dalam berbahasa Inggris.

Ketika saya menawar barang yang dijual, salah satu pedagang di situ menjawab spontan dengan nada terkejut. Mungkin karena saya menawar terlalu rendah, maka dia jawab dengan : “Manaaaa???!!!”. Saya paham maksudnya, meski geli mendengarnya.

Lantas saya jelaskan, mestinya jawabannya begini: “Apaaaa???!!!” Sebab kata ‘apa’ lebih bersifat penyangkalan dibanding kata ‘mana’ dalam konteks tawar menawar tersebut. Dia manggut-manggut, disusul seringai. Moga-moga dia paham yang saya sampaikan.

Dari belanja di kios-kios dadakan di belakang hotel kami itu, lantas kami berlima melanjutkan dengan berjalan beriringan.

Melihat rombongan kami, seorang pedagang berkebangsaan Banglades lainnya, di depan barang-barang yang dijualnya berteriak lantang ke arah kami : “Abrol! Abrol!”.

Bu Ashadi yang seregu dengan kami yang berjalan bersebelahan dengan istri saya, kontan nyeletuk: “ Wong ‘obral’ kok dibilang ‘abrol’…”

Amang Mawardi – penulis, tinggal di Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *