Naluri Musik Iwan Fals 

waktu baca 7 menit
Iwan Fals (*)

KEMPALAN: Sabtu sore 1 Juni 2024, sehabis beli obat, tetiba saya ingin dadar jagung (konon di kawasan mataraman  disebut: bakwan). 

Sesudah mengantongi dua emplek allopurinol 100 mg pesanan istri, motor saya larikan ke arah selatan menuju warung pecel Nyamleng yang jaraknya sekitar 300 meter dari apotik. ‘Mudah-mudahan dadar jagungnya belum habis’, batin saya. 

Setelah memarkir motor, saya sibak tirai kain Nyamleng, lantas saya duduk dan berpesan kepada mas putra  ibu pemilik warung pecel: “Mas, tolong bikinkan teh anget, sediakan dua biji dadar jagung dan sepiring sayur pecel tanpa nasi tanpa bumbu. Suwun ya.”

Sambil menunggu pesanan tiba, saya raih lembaran Jawa Pos yang ada di depan saya. Sesaat saya membatin ‘sudah hampir setahun saya tidak baca koran’. 

Di salah satu halaman koran yang dimiliki Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Lukman Setiawan, Dahlan Iskan dan dua nama lagi yang saya lupa, terpampang berita: Iwan Fals Persiapkan Diri Menuju Tur Konser 25 Kota. 

Penyelenggara acara ini adalah Gaung Merah. Dan diberi tajuk: Tur Gaung Merah SeGALAnya. 

Dalam berita tersebut, ‘road show’ Iwan Fals ini diawali di kota Sukabumi pada 8 Juni 2024. Lantas dilanjutkan di sejumlah kota di Pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan di Bali. Dan diakhiri pada Februari 2025.

Kata Iwan, saat ini  teamnya terus mempersiapkan diri. 

“Sesungguhnya, ada job atau tidak, seminggu dua kali kami intens latihan, dari pukul 10.00 hingga 17.00.”

Saya salah satu pengagum Iwan Fals. Bagi saya, musik dan syair-syair pemilik nama Virgiawan Listyanto ini inspiratif. Meski mengagumi musisi ayah dua orang anak tersebut, saya belum pernah menonton  konsernya.

Sebetulnya pernah nonton Iwan tampil tunggal, tapi dalam ‘event’ “gado-gado” pada sebuah pertunjukan di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta, seputar 30 tahun lalu. 

Cerita tentang penampilan Iwan di TIM itu pernah saya muat di fesbuk tahun 2013.

Untuk ikut menggemakan tur itu, saya mencoba menuliskan kembali. 

Setelah saya  scroll ke bawah di beranda fesbuk saya, ketemulah tulisan saya itu, sebagaimana di bawah ini, dengan sedikit revisi, di antaranya yang tadinya judulnya ‘Iwan Fals’, lantas saya posting lagi dengan judul: ‘Naluri Musik Iwan Fals.’

Selengkapnya begini teman-teman:

Membayangkan TIM (Taman Ismail Marzuki) di Jakarta adalah melambungkan lamunan tentang kiprah seniman-seniman bertaraf nasional dalam menunjukkan karya-karya mereka berpentas maupun berpameran.

Tetapi menonton kiprah ratusan seniman top di Jakarta ‘tumplek blek’ di TIM dalam satu kesempatan, tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Apalagi gratis!

Awal tahun 1990-an saya pernah diserahi Dahlan Iskan memanajemeni sebuah koran tabloid dari grup Jawa Pos. Sekitar tahun itu Jawa Pos sudah punya banyak anak dan cucu perusahaan. 

Jawa Pos Group punya kantor perwakilan di Jakarta di Jalan Raya Prapanca, Kebayoran Baru. Di situ berkantor puluhan media dari Jawa Pos  Group se-Indonesia yang sifatnya perwakilan. Secara periodik saya sering ke Jakarta untuk urusan pekerjaan.

Suatu hari saya bertemu teman-teman dari koran-koran di bawah naungan Jawa Pos di kantor perwakilan itu, yaitu Henri Nurcahyo (Tabloid Agrobis), dan Jacky Kussoy  serta Joko Irianto Hamid  (keduanya Tabloid Nyata).

Mereka berasal dari Surabaya. Henri kebetulan sedang ada tugas di Jakarta seperti halnya saya. Sedangkan Jacky sudah lama tinggal di kawasan Bintaro. Sementara Joko rumahnya masih di Surabaya tapi dia ditempatkan di Jakarta dan sehari-hari tidur di kantor.

Waktu itu tanggal 16 Agustus. Jacky Kussoy menginformasikan bahwa malam hari di TIM akan ada acara Malam Renungan yang akan dihadiri sejumlah seniman di Jakarta.

Informasi yang bernada ajakan ini segera kami sambar dengan sama-sama setuju untuk menonton acara tersebut. Selepas mahgrib, dengan taksi kami berempat meluncur ke TIM.

Kami tiba sebelum acara dimulai. Di sana kami ketemu teman-teman dari Surabaya yang bermukim di Jakarta, antara lain Naniel musisi anggota Konser Rakyat Leo Kristi dan dramawan Akhudiat  yang saat itu sedang mengambil program S-2 di Ul. “Wah, orang-orang Surabaya pada reuni, nih,” kata Diat disusul tawa ngakaknya.

Karena acara Malam Renungan dalam rangka peringatan Kemerdekaan RI, maka malam itu diisi dengan semangat perjuangan kebangsaan menurut kaca-mata seniman dan budayawan.

Saya lihat ada Mochtar Lubis, Putu Wijaya dan Dewi Pramuwati istrinya, sastrawan kembar Noorca M. Massardi  dan Yudhistira Massardi, Slamet Rahardjo, cerpenis Lastri Fardani Sukarton, penyair Yvonne De Fretes, penyair dan dramawan Sitok Srengenge, musisi Sawung Jabo, Franky Sahilatua, Iwan Fals, Anto Baret dan kawan-kawan, juga beberapa bintang sinetron. Bertindak sebagai pemandu adalah Jose Rizal Manua  yang  sebelumnya saya  ketahui jago deklamasi.

Di deretan bangku terdepan di teater terbuka itu, saya lihat Jacky Kussoy asyik berbincang dengan lelaki ganteng  30-an tahun. Selepas bicara dengan lelaki tadi, Jacky saya tanya: “Sopo iku (siapa itu), Jack?”.

Dia menjawab: “Arya Gunawan wartawan Kompas”.

Mochtar Lubis malam itu membacakan pidato kebudayaan. Lantas disusul pembacaan cerpen dan puisi, pertunjukan musik, dan lain-lain.

Anto Baret menyuguhkan beberapa lagu didukung puluhan musisi dari Bulungan, Kebayoran Baru. Demikian juga Iwan Fals, Sawung Jabo, Franky Sahilatua, dan masih ada beberapa musisi lagi yang saya lupa namanya. 

Noorca dan Yudhis baca puisi berdua, bersahutan-sahutan. Sitok pun tampil baca puisi.

Pokoknya yang musisi dan yang sastrawan sama-sama tampil patriotis. Gayanya pun macam-macam. Sebagai contoh, seorang musisi tampil atraktif dengan  ‘outfit’ dan atribut menempel di badan. Kalung, gelang, dan rumbai-rumbai melingkar di leher serta pergelangan tangan. Rambutnya gondrong, kepalanya diikat dengan kain lebar mirip bando. Sementara gitar yang dibawanya dua biji, satu dimainkannya, satu lagi diletakkan di punggung mirip samurai meletakkan pedangnya. Wuih!

Sedangkan Jose Rizal Manua memandu acara dengan efektif. Tanpa basi-basi. Seniman yang akan tampil cuma dipanggil namanya, lantas maju ke panggung terbuka yang letaknya ada di bagian kiri kompleks kesenian terbesar di Indonesia ini. Misalnya, ketika mengumumkan nama Iwan Fals yang akan segera tampil, Jose cuma menyebut: “Iwan !”. Maka Iwan dari titik tengah bangku-bangku penonton lantas berdiri dan dengan gontai berjalan sambil terawa-tawa menuju panggung.

Acara Malam Renungan di TIM berakhir larut malam. Saya puas. Puas melihat penampilan mereka, juga puas melihat wajah-wajah mereka para bintang pentas dan jago-jago sastra dari dekat, yang seumur-umur baru saat itu saya alami.

Esoknya saya pulang ke Surabaya dengan kereta api. Dalam perjalanan pulang, pikiran saya banyak menerawang ke acara di TIM malam itu, terutama kepada sosok Iwan Fals. Kenapa Iwan? Barangkali lantaran kesederhanaannya. Ya, kesederhanaannya!

 Ketika namanya dipanggil pemandu acara Jose Rizal Manua untuk tampil di panggung, Iwan hadir tanpa gitar, harmonika, atau alat musik lainnya. Apakah Iwan menyanyi? Ya, ia menyanyi!

Saat tampil di panggung, ia berdiri di belakang meja podium. Maka mengalunlah sebuah lagu dengan syair tentang dinamika Indonesia beserta pasang-surutnya. Suaranya kadang melengking tinggi, kadang ke volume paling rendah seperti bergumam. Sementara lagu yang keluar dari mulut Iwan cuma diiringi ketukan-ketukan telapak tangannya di meja podium seperti bunyi suara ‘kothekan’. Lagu ini belum pernah saya dengar sebelumnya. Mungkin spontanitas diciptakan Iwan di panggung malam itu. Sederhana tapi indah. Bikin wah. Saya pun terperangah !

Sejenak saya termenung: Iwan… Iwan… Iwan …

Ah, jangan-jangan saya sebelumnya terlalu kagum dengan Iwan? Saya termenung lagi….

Ah, enggak juga! Saya juga suka dengan Leo Kristi. Saya pun menikmati betul lagu-lagu Ebiet G. Ade. Ketiga seniman ini di mata saya masing-masing punya kelebihan.

Atau jangan-jangan penampilan Iwan malam itu bagian dari realitas ungkapan ilmu komunikasi ‘Man Makes News’, tokoh yang (selalu) membuat berita, apapun yang dilakukannya, yang lantas bikin banyak orang terpesona?

Barangkali Iwan memang tokoh. Tapi yang dipersembahkan Iwan malam itu tetap sebuah lagu, yang intinya mengharmonisasi syair, irama, dan iringan (sebuah) “perangkat musik”. Hasilnya sebuah kesatuan yang indah, kendati musiknya cuma ‘kothekan’. 

Kereta api terus melaju membawa pikiran dan lamunan saya, ‘jug ijag ijug’ … ‘jug ijag ijug’…

Amang Mawardi – penulis sejumlah buku, tinggal di Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *