Dari Unboxing ke Amboksing
KEMPALAN: ‘Box’ artinya ‘kotak’, ‘bungkusan’, ‘kemasan’, atau boleh jadi masih ada lagi arti yang sepadan.
‘Boxing’ berarti ‘membungkus’, atau ‘mengemas’ atau ada lagi pengertian lain sejenis.
‘Unboxing’ berarti ‘membuka kemasan’ — itu yang paling tepat dalam konteks penggunaan sehari-hari.
Saya mengenal kata ‘unboxing’ dari beberapa video yang disajikan melalui medsos YouTube.
YouTubers (para YouTuber) yang disukai oleh warganet — terutama yang bentuk channelnya daily vlog — sering melakukan ‘unboxing’, khususnya yang saya saksikan dari konten-konten yang dihasilkan YouTubers di beberapa desa di Cepu. Mereka melafalkan pembacaan ‘unboxing’ dengan ‘amboksing’.
Mula-mula saya tidak tahu arti kata tersebut di mana hal itu ditulis di layar thumbnail/cover atau di bawah thumbnail dengan lafal: amboksing. Padahal kalau yang persis lafal mestinya: anboksing.
YouTubers terkenal seperti Lek Damis (mantan penjual sayur di emperan pasar), Vino Soromonyo (YouTuber usia 10 tahun, disutradarai ibunya), Maknyak Official (penjual pecel keliling), Hani Nima (bulik/tante-nya Vino Soromonyo yang pelajar SMA), Deni Isma-Ois (duet ibu rumah tangga), Pak Hanapi (pemilik toko kelontong), Lala Nirmala (guru SMP) dan masih banyak lagi, sering melakukan amboksing kiriman dari warganet karena konten kreator ini dianggap telah menghibur, atau atas dasar rasa simpati dan empati para warganet.
Sebagai YouTuber dengan subscriber paling banyak (di atas 600. 000 lebih) Lek Damis pada tahun-tahun ke-1 dan ke-2 sebagai YouTuber paling sering melakukan amboksing, disusul lain-lain yang penggemarnya lebih sedikit. (Catatan: sebutan subscriber oleh Lek Damis ibu tiga anak ini diistilahkan: nasabah).
Ketika mereka amboksing (yang biasanya kardus) — isinya pakaian (baju, jilbab, celana pendek, daster, rok), sandal/sepatu, dan makanan kering/camilan. Bahkan ada yang mentransfer uang.
Saya pernah menyaksikan channel Vino Soromonyo mempertontonkan konten yang berisi mbahnya putra putri (Solikin), Rivai pakliknya, Hani Nima buliknya, Ayah Rokan dan Bunda Kolifah (ortu Vino Soromonyo) menggunakan seragam batik warna biru di sebuah restoran di Cepu sana. Nah, makan besar dengan ‘outfit’ seragam ini hadiah dari seorang penggemar. Artinya seragam batik dan rekreasi kuliner itu dibiayai seorang warganet.
Sebelum memulai ‘ritual’ makan besar ini, Bunda Kolifah (biasa dipanggil Mbak Lipah) menyampaikan salam dan ucapan terima kasih kepada warganet penggemar konten-konten channel Vino Soromonyo, khususnya yang telah mentraktir mereka dan memberi seragam batik itu.
Karena sebagian besar dari channel youtubers ini bersifat daily vlog (video blog harian) maka isinya tentang masak-memasak, bersih-bersih rumah, belanja di penjual ‘mlijo’ (tukang sayur keliling), anak sakit, ngantar anak sekolah, ‘nonggo’ (ngerumpi bersama tetangga) dan lain sebagainya. Pernah juga dipertontonkan pertengkaran (kecil) suami-istri (Ayah Rokan & Bunda Lipah). Pertengkaran yang diakhiri dengan bercanda.
Tentu saja, sebagai YouTubers yang sudah bergaji, telah mengubah kehidupan ekonomi mereka.
Channel Vino Soromonyo dengan subscriber 50.000 lebih, saya taksir berpenghasilan sebulan rata-rata Rp 10 juta. Tentu jauh lebih besar yang diperoleh Lek Damis dengan subscriber 600.000 lebih. Lek Damis bisa membelikan motor anak gadisnya dan sering beramal kepada tetangga yang kesusahan.
Meski secara ekonomi berubah (ayah Soromonyo adalah seorang tukang batu), tetapi secara sosial budaya tidak mengubah mereka. Tetap santun, sederhana, tidak mengubah adab dan adat-istiadat. Saya rasa YouTubers lainnya di Cepu juga begitu.
Dari mana warganet tahu alamat dan nomor HP mereka? Ternyata ada di bawah nama akun mereka.
Banyak para pekerja migran/TKW yang mengirim mereka paket-paket itu, karena YouTubers ini telah dianggap menghibur dan mengobati kerinduan akan Tanah Air. Juga dari sekian warganet yang tinggal di dalam negeri.
Sesungguhnya sajian daily vlog YouTubers ini adalah bagian dari pertunjukan virtual, tetapi hadiah yang mereka terima adalah non-virtual, nyata, realitas sesungguhnya.
Melihat hadiah-hadiah yang lantas di-amboksing ini, saya jadi ingat masa kecil hingga remaja sekitar tahun 1960-1980-an saat nonton wayang orang, ketoprak, ludruk, Srimulat, Lokaria, di THR Surabaya. Pada adegan goro-goro (munculnya Punakawan), adegan lawak dan semacamnya itu, mereka sering mendapat lemparan rokok atau uang, sebagai penghargaan dari banyak penonton yang memenuhi gedung-gedung pertunjukan di THR itu.
Namun para penghibur yang dihadirkan medsos YouTube ini ditonton oleh ribuan, puluhan ribu, bahkan ratusan ribu orang di mana di antara penonton ini banyak yang sukses. Maka yang di-amboksing tidak sekadar sebungkus atau sekodi rokok atau seratus-dua ratus ribu rupiah (kalau di kurs dengan nilai uang saat ini) dalam amplop atau duit yang di-‘untel-untel’, melainkan macam-macam bentuk hadiah dalam box/kardus besar dan transfer uang lebih besar dari seratus-dua ratus ribu rupiah.
Kalau penonton di gedung pertunjukan memberi hadiah dengan cara dilempar dari kursi penonton, maka Anda sudah sangat bisa menebak bahwa para YouTubers daily vlog itu menerima kiriman hadiah melalui jasa pengiriman paket dan transfer antar-bank. (Amang Mawardi – penulis, tinggal di Surabaya).