Jonan dan Anti ‘Plung Lap’

waktu baca 3 menit
Ignasius Jonan (*)

KEMPALAN: Saya kemarin ‘menemukan’ video Ignasius Jonan (nama aslinya: Djonan), dalam posisi berdiri, berbicara dihadapan banyak orang. Sepertinya acara seminar. Video ini berada di tiktok yang saya tidak perhatikan siapa nama akun pengunggahnya. Boleh jadi, ini potongan video. 

Jonan saat itu bicara tentang bagaimana cara menampung tinja di toilet gerbong kereta api yang selama itu dibuang begitu saja saat kereta berjalan ‘plung lap’. 

Bagi Jonan yang saat itu sedang membenahi total manajemen perkeretaapian di Indonesia, sistem ‘plung lap’ jauh dari adab, karena, maaf, kotoran manusia berjatuhan begitu saja di sepanjang rel kereta api sampai beberapa meter saat kereta berjalan, berceceran. Padahal kereta yang melintas silih berganti setiap sekian saat. 

Di Belanda, kata Jonan, sejak tahun 1930 sudah tidak menggunakan sistem ‘plung lap’. 

“Lha kok kita kepada sesama bangsa masih menggunakan cara ini,” ujarnya dengan wajah netral. 

Lebih lanjut diceritakan Jonan, dengan lantas memanggil Direktur Teknik PT KAI untuk memecahkan problem ini. Kemudian Direktur Teknik itu menghubungi PT INKA Madiun. Maka setelah dikalkulasi diperoleh informasi bahwa untuk membuat tangki penampung tinja tersebut per toilet diperlukan dana Rp. 250 juta. 

“Wuik…larange. Lak podo karo rego Kijang anyar …,” begitu kata Jonan yang arek Suroboyo. Terjemahannya: Wuih, mahal amat, sama dengan harga mobil Kijang baru. 

Saat itu harga Kijang terbaru sekitar segitu. (Catatan saya: Sebagaimana data di Google saat ini, harga Innova terbaru tergantung tipe: Rp 425 juta – Rp 625 juta). 

Harga pembuatan tangki itu apa tidak bisa ditawar? Lantas Direktur Teknik tadi ngontak yang berwenang di INKA. 

“Ini Pak harga yang sudah di diskon, jadi: Rp 245 juta.”

Masih kemahalan, kata Jonan. 

Jonan (yang saya ketahui alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis jurusan Akuntansi Unair), berpikir keras, lantaran jumlah seluruh gerbong penumpang yang dikelola KAI  dikalikan Rp 245 juta, jatuhnya sekitar Rp 750 miliar. 

“Lek ngene carane, sing bodo lak aku,” kata Jonan di hadapan ratusan orang tersebut. Terjemahannya: Kalau begini keadaannya, yang bodoh kan saya. 

“Saya tidak marah, kalau orang mengatakan ‘hai Jonan kamu miskin’,” katanya. “Tapi kalau saya dikatakan bodoh, lain lagi reaksi saya”.

Maka soal Rp 245 juta tadi gak jadi. Lupakan. 

Lantas Jonan yang lahir pada tahun 1963, memanggil Direktur Balai Keselamatan PT. KAI (mudah-mudahan saya gak salah dengar). 

“Pak Rono, tolong dipikirkan cara menampung tinja di toilet supaya gak ‘plung lap’. Gunakan sistem bakteri ya,” ujar Jonan, disampaikan kepada Rono Pradipto yang bergelar sarjana hukum. 

“Baik, Pak Jonan, akan saya coba. Pakai uang pribadi saya saja. Sebab, kalau gagal, saya tidak disalahkan,” kata Pak Rono, begitu kurang lebihnya. 

Sekian saat kemudian tangki itu dipasangkan ke bagian toilet. Terus dicoba rute Jakarta – Bandung dua bulan: ga ada masalah. “Dicoba lagi dengan rute Jakarta – Surabaya: aman,” lanjut Jonan. Maka dibuatlah massal. 

“Anda tahu berapa biaya untuk bikin tangki anti ‘plung lap’ itu per toilet, cuma Rp 9 juta,” terang Jonan dengan wajah netralnya: senyum tidak, cemberut juga tidak. 

Penemuan tangki anti ‘plung lap’ itu selanjutnya dipatenkan dengan nama: PT KAI, Rono Pradipto dkk. 

“Tak ada lho nama saya di situ,” kata Jonan, lagi-lagi disertai wajah netralnya. 

“Tadi pagi saya WA-an dengan Pak Rono. Gak tahu siang ini, apa beliau masih hidup,” ujar Jonan dengan sedikit sunggingan senyum. Disambut penonton dengan tertawa kecil, dan nyengir. 

(Begitu teman-teman kurang lebihnya narasi sekaligus lika-liku kebahasaan Ignasius Jonan yang saya tonton di tiktok kemarin sore). 

(*) Amang Mawardi, penulis sejumlah buku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *