Jokpin dan Satu-satunya Nomor yang Tersisa
KEMPALAN: Pagi ini, Sabtu 27 April 2024, Sastrawan dan penyair Joko Pinurbo meninggal dunia di RS Panti Rapih, Yogyakarta, pada pukul 07.14 WIB. Seandainya malaikat maut tak menjemput, dua pekan lagi, pada 11 Mei, usianya genap 62 tahun.
Tetapi ajal adalah konstanta yang tak bisa ditawar meski hanya untuk sekedipan mata. Termasuk bagi penerima Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001), Hadiah Sastra Lontar (2001), Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002), Kusala Sastra Khatulistiwa/Khatulistiwa Literary Award (2005), South East Asian (SEA) Write Award (2014), dan deretan penghargaan sastra lainnya itu.
Ingatan saya melayang pada satu puisi yang ditulis Jokpin, nama panggilan akrabnya, khusus untuk saya 17 tahun silam. Larik-larik sajaknya begini:
Susu Rindu: Akmal Nasery Basral
Ada seseorang di kepalamu yang mirip ibumu.
Setiap subuh ia teteskan susu rindu
ke kuncup kata-katamu.
Joko Pinurbo, 13.04.2007
Saya bukan penyair dan tak terlatih menulis puisi. Namun mendapatkan kehormatan dari seorang Jokpin membuat saya berikhtiar sekuat tenaga menyusun konstruksi _licentia poetica_ seperti ini:
Menyusu pada Sepi: Joko Pinurbo
dibacanya peringatan pada kemasan itu dengan hati hati
sebaiknya digunakan sebelum mati
lalu disesapnya tetes-tetes luka sampai terakhir nyeri
masih diingatnya sebuah pesan terpampang di balai kesehatan
anak sapi menetek pada sapi
anak manusia menyusu pada sepi.
Akmal Nasery Basral, 13.04.2007
“Saya suka puisi Mas Akmal,” puji Jokpin yang berusia enam tahun lebih tua dari saya, dengan kesantunan nan prima. “Ekspresi pada larik terakhir kuat sekali.”
Saya lega, meski tetap menduga, jangan-jangan Jokpin hanya sedang ngomong saya sebagai yuniornya.
Pertukaran dua sajak kami yang digubah pada hari yang sama itu adalah satu-satunya momen ketika frekuensi estetika kami sedang selaras.
Setelah itu, saya tak pernah lagi mampu mengejar kelincahan diksi Jokpin, yang sering (terlihat) sederhana, lembut, lucu, namun hangat memancarkan aneka spektrum makna termasuk kedalaman spiritualitas yang penuh renjana.
Pada baris pertama puisinya untuk saya itu, Jokpin menulis, “Ada seseorang di kepalamu yang mirip ibumu”.
Bagi pembaca umum, larik itu terdengar acak. Namun sejatinya Jokpin sedang merujuk kumpulan cerpen saya yang berjudul Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku (2006) yang terdiri dari 13 cerpen.
Yang mengenalkan kami berdua adalah Yohanes Sugianto, salah seorang penggagas Sastra Reboan di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan. Antologi puisi pertama Yo berjudul Di Lengkung Alis Matamu disunting oleh Jokpin dengan apik. Dalam salah satu momen proses penyuntingan itulah saya bertemu penyair alumnus IKIP (sekarang Universitas) Sanata Dharma Yogyakarta tersebut di rumah Yo di kawasan Lebak Bulus.
Beberapa bulan kemudian saya dan Jokpin bertemu lagi di kantor redaksi majalah Balairung Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di bawah siraman lampu redup di halaman belakang rumah yang dijadikan kantor, Jokpin mengumpulkan beberapa orang aktivitis literasi Yogyakarta. Dia mengulas antologi cerpen saya dengan serius, dengan rokok yang terpasang di bibir hampir terus menerus.
Diskusi kami dijejali bergelas-gelas kopi pahit dan aneka gorengan yang terlihat eksotis di bawah temaram sayap-sayap malam.
“Cerpen Mas Akmal yang paling saya sukai dalam antologi ini adalah Boyon,” katanya dengan nada kalem kepada hadirin. Saat saya tanyakan apa sebabnya, Jokpin memberikan jawaban tak terduga, “Sebab pada akhir cerpen tertulis tanggal penulisan 11 Mei 2006. Tanggal 11 Mei adalah tanggal lahir saya.” Jawaban yang membuat saya dan para peserta diskusi tertawa lepas.
Malam itu saya gunakan sebagai kesempatan untuk menggali proses kreatifnya dalam memproduksi puisi. Apa rahasianya? “Saya selalu membawa notes ke mana pun pergi, sehingga ketika ada ilham meski hanya 1-2 kata, saya catat supaya nggak lupa. Nanti saya kembangkan menjadi puisi utuh,” ungkapnya.
Ada beberapa topik lain menyangkut kebudayaan dan kesenian yang kami bicarakan, namun terlalu panjang jika dituliskan ulang untuk obituari singkat ini.
Namun yang paling menghunjam di benak saya adalah penjelasan Jokpin yang terdengar seperti penyesalan tak berkesudahan. “Dulu saya bersikap keras terhadap para penulis pemula. Karya mereka saya kritik tajam dengan maksud agar mereka menghasilkan karya yang lebih baik lagi sesudahnya. Tetapi yang terjadi, sebagian besar dari yang saya kritik itu malah tidak pernah menulis lagi,” katanya sembari kembali mengisap rokok dalam-dalam. “Saya lalu mengubah pendekatan dalam melakukan kritik agar para penulis muda tetap berkarya. Peningkatan kualitas bisa dilakukan bertahap tanpa harus memadamkan energi kreatif mereka.”
Rabu, 26 Mei 2010, pada acara Sastra Reboan di Wapres Bulungan, Blok M, saya bertugas sebagai moderator untuk diskusi. Selain Jokpin yang datang dari Yogya, narsum lainnya adalah Aan Mansyur (penyair Makassar), Heru Emka (penyair Lampung), dan Kurnia Effendi (penyair-prosais Jakarta).
Kiprah komunitas sastra dan kantong-kantong kebudayaan dalam dinamika modernisasi masyarakat dilihat Jokpin sebagai pemberontakan dalam sunyi. “Pemberontakan terhadap kecenderungan situasi yang membuat orang tidak merasa nyaman dan akrab terhadap sastra, sehingga mereka menganggap sastra terkesan eksklusif, berat, dan bahkan ‘menakutkan’,” katanya.[1]
Maka, dengan kredo seperti itulah Jokpin menyusun puisi-puisi yang tidak terkesan eksklusif, tidak berat, tidak menakutkan. Dia memiliki “urat humor” dalam memilin diksi baik dalam puisi maupun dalam interaksi sehari-hari. Sependek pengetahuan saya, Jokpin adalah yang pertama kali menggunakan ucapan ‘Selamat Menjalankan Ibadah Puisi’ di kalangan para penulis, ketika kaki-kaki waktu bergegas memasuki bulan Ramadan.
Menutup obituari singkat ini, saya pinjam puisi Jokpin berjudul “Perjamuan Khong Guan”.
Tuhan, ponsel saya
rusak dibanting gempa
Nomor kontak saya hilang semua
Satu-satunya yang tersisa
Adalah nomorMu
Tuhan berkata:
Dan itulah satu-satunya Nomor yang tak pernah kau sapa
Jokpin, Guruku, kawanku, mulai hari ini kau tak perlu lagi ‘Nomor’ itu karena kau akan bertemu langsung denganNya. Namun sajakmu akan terus mengingatkanku–juga para pembaca dan pengagummu lainnya–agar jangan pernah (lagi) menyia-nyiakan ‘satu-satunya Nomor yang tersisa’ dalam kehidupan manusia yang kian karut-marut dalam ingar-bingar yang mencerabut makna. Seperti di zaman ini.
Oleh: Akmal Nasery Basral
Cibubur, 27 April 2024