Berburu Naturalisasi, Lupa Pembinaan Usia Muda  

waktu baca 3 menit

Oleh : Dr. Imam Syafi’i M.Kes Universitas Negeri Surabaya

SURABAYA-KEMPALAN : PSSI saat ini begitu gencar mendatangkan pemain yang punya garis keturunan darah Indonesia untuk memperkuat Tim Nasional melalui proses kewarganegaraan atau naturalisasi. Terkini, setidaknya nama-nama seperti  Rafael Struick, Ivar Jenner, Shyane Pattynama, Sandy Walsh, Jordy Amat, Jay Idzes, Thom Haye, Ragnar Oratmangoen, Nathan Tjoe-A-On dan Justin Hubner sudah merasakan bermain untuk tim Garuda pada pertandingan resmi. 

Kemenangan 3-0 atas Vietnam pada lanjutan putaran kedua kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, Selasa, 26 Maret 2024,  di Stadion Internasional My Dinh, Hanoi tidak lepas dari peran pemain Naturalisasi. Bahkan, dua gol kemenangan tersebut dicetak oleh Jay Idzes dan Ragnar Oratmangoen, yang baru saja bergabung saat melawan Vietnam.

Langkah PSSI berburu pemain keturunan tentu punya alasan tersendiri, paling tidak untuk meningkatkan daya saing Tim Nasional di level yang lebih tinggi. Argumen sebagian kalangan, yang menyatakan bahwa warga Indonesia keturunan juga punya hak untuk membela Tim Nasional Indonesia rupanya menjadi penguat PSSI untuk memperkuat kebijakannya.

Jika kebijakan ini terus dilakukan, bagaimana dengan nasib pemain lokal yang dihasilkan dari proses pembinaan dalam negeri. Apa artinya kita melakukan pembinaan, punya kompetisi usia muda seperti Piala Soeratin dan Elite Player Development (EPA), Kompetisi Liga 3, Liga 2 dan Liga 1.

Salah satu momen pada laga Indonesia vs Vietnam di Stadion Gelora Bung Karno (*)

Bahwa proses yang dilakukan kita sampai saat ini belum bisa menghasilkan pemain yang bisa mengangkat prestasi Tim Nasional di kancah Internasional harus kita akui. Seharusnya kondisi ini yang perlu dicari permasalahannya, lalu dicarikan solusinya. Mungkin etos kerja kita selama ini yang kurang bagus sehingga tidak mampu menghasilkan Tim Nasional yang bagus pula.

Apa yang dicapai Tim Nasional selama ini bukan karena faktor pelatih dan proses persiapannya. Luis Milla Aspas (Spanyol), Peter White (Inggris), Ivan Kolev (Bulagria), Alfred Riedl (Austria), Simon McMenemy (Skotlandia) dan beberapa pelatih asing lainnya bukan tanpa kualitas. Persiapan Tim Nasional Indoonesia tidak jarang dilakukan di luar negeri dengan melakukan serangkaian uji coba dengan tim yang peringkat FIFAnya berada di atasnya. Namun semua itu belum mampu mengangkat prestasi sepak bola Indonesia menjadi kekuatan di level Asia.

Satu hal yang perlu dilakukan adalah bersunggu-sungguh untuk membenahi tata kelola sepak bola usia muda. Sektor ini belum mendapat perhatian serius dari PSSI, baik mulai dari tingkat Askab/Askot hingga pusat. Belajar dari negara besar seperti Jerman, Belgia, dan Prancis misalnya. Ketika prestasi Tim Nasional mereka terpuruk, prioritas utama program mereka adalah memperbaiki pembinaan usia mudanya. 

Antara tahun 2000-2005, Jerman mendirikan sebanyak 121 Centre of excellence  atau semacam dan mewajibkan tim Liga utama mereka memiliki pembinaan pemain usia 10-17 tahun. Hasilnya Jerman menjadi finalis Piala Dunia 2010,  Piala Eropa 2008 dan 2012 serta juara Piala Dunia 2014.

Begitu juga dengan Belgia, Michael Sablon, yang ditunjuk sebagai direktur teknik RBFA (Royal Belgian Association), pada tahun 2006,  benar-benar menjadi motor perubahan bangkitnya sepak bola Belgia. Dia melakukan mendasar pada kurikulum sepak bola Belgia dengan konsentrasi pembinaan usia muda. Hasilnya, lahirlah generasi emas sepak bola Belgia, seperti Eden Hazard, Thibaut Courtois, Kevin De Bruyne dan Romelu Lukaku.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *