Quick Count
KEMPALAN: Seorang profesor ilmu politik Singapura dalam sebuah seminar membuat joke mengenai pemilu di Indonesia. Sang profesor mengatakan, di Somalia hasil pemilu baru diketahui setelah 20 atau 30 hari. Di Amerika hasil pemilu diketahui dalam beberapa jam. Dan, di Indonesia hasil pemilu diketahui sebelum pemilu dilaksanakan. Terdengar tawa audiens mendengar guyonan sang profesor.
Entah dari mana sang profesor mendapatkan guyonan itu. Sangat mungkin dia kulakan joke ke Indonesia, karena joke itu sudah beredar lama ketika masa-masa Orde Baru berkuasa. Joke itu bagian dari humor politik yang banyak beredar di Indonesia secara klandestine semasa Orde Baru. Bahkan melawak politik pun berisiko di Indonesia semasa Orde Baru. Oleh karena itu, tidak ada orang yang berani buka mulut. Dokter gigi pun tidak laku karena tidak ada yang berani buka mulut.
Pemilu di masa Orde Baru bukan hanya diketahui hasilnya sebelum digelar. Bahkan, lima tahun sebelum pelaksanaan pemilu pun hasilnya sudah bisa diketahui. Sang profesor menyebutnya dengan sinis sebagai sistem yang efektif. Begitulah adanya. Pemerintah yang otoriter dan anti-demokrasi selalu efektif dalam mengelola pemilu prosedural yang berlangsung tanpa substansi.
Joke sang profesor itu sudah beredar bertahun-tahun yang lalu tapi sekarang beredar lagi. Sudah berkali-kali menonton terpaksa kita masih tersenyum lagi karena lucu tapi pahit. Hasil hitung cepat atau quick count sudah diketahui empat atau lima jam setelah pencoblosan. Bersamaan dengan itu ribuan orang sudah berkumpul di Istora Senayan untuk merayakan hasil hitung cepat itu. Banyak yang heran bagaimana bisa mengumpulkan ribuan orang dalam waktu singkat dan mempersiapkan segala peralatan dengan sebegitu efektif. Hanya EO kelas dunia yang bisa melakukannya. Atau, hanya EO ordal yang bisa melakukannya.
Sebelum quick count dimulai informasi mengenai hasil pilpres sudah beredar. Pagi hari sudah beredar info bahwa pendukung pasangan Prabowo-Gibran akan berkumpul untuk mendeklarasikan kemenangan di Istora Senayan sore hari. Malah sudah beredar kabar bahwa 02 menang 53 persen, yang berarti pilpres hanya berlangsung satu putaran.
Siang hari semua televisi nasional menayangkan hitung cepat secara live. Ada enam atau tujuh lembaga survei yang melakukan hitung cepat. Hasilnya seragam memenangkan 02 dengan angka yang nyaris seragam juga yaitu 57 atau 58 persen.
Sore harinya Prabowo-Gibran muncul di depan ribuan pendukungnya dan melakukan victory speech, pidato kemenangan, seolah-olah sudah menjadi pemenang pilpres. Prabowo dan Gibran berpidato layaknya presiden dan wakil presiden, Prabowo berbicara mengenai rekonsiliasi nasional dan akan merangkul semua unsur yang berkontestasi dalam pemilu.
Dalam tradisi demokrasi seperti yang berlaku di Amerika Serikat, victory speech dilakukan oleh pemenang yang sudah mengetahui hasil melalui hitung cepat. Dalam tradisi itu pasangan yang kalah kemudian mengumpulkan pendukungnya di tempat terpisah dan memberikan concession speech, pidato pengakuan kekalahan sekaligus memberikan ucapan selamat kepada pemenang.
Budaya concession speech–ketika hasil pemilihan umum menunjukkan tanda-tanda semakin konklusif berdasarkan hasil polling–merupakan hal yang lumrah di negara-negara demokrasi yang sudah matang seperti di Amerika Serikat dan Inggris. Pidato tersebut menunjukkan kenegarawanan kandidat, dan upaya rekonsiliasi bangsa setelah gigih berkompetisi selama berbulan-bulan sebelumnya.
Tentu saja ada catatannya, yakni pasangan yang berkontestasi sama-sama mengakui hasil polling, dan sama-sama mengakui bahwa pemilu dilaksanakan secara jujur dan adil. Dalam kasus pilpres Amerika 2019, petahana Donald Trump tidak mau memberikan concession speech setelah pesaingnya, Joe Biden, mengumumkan kemenangan dan memberikan victory speech.
Bukan hanya itu. Trump menolak mengakui hasil pemilu dan menuduh KPU Amerika melakukan kecurangan. Trump melakukan provokasi kepada pendukungnya dan mendorong untuk melakukan demonstrasi besar-besaran. Ribuan pendukung Trump kemudian menyerbu gedung DPR Capitol Hill dengan membawa berbagai jenis senjata api.
Hal yang kurang lebih sama dilakukan oleh Prabowo Subianto pada pemilu 2019. Ketika itu dia kalah dari Joko Widodo yang sudah melakukan victory speech berdasar hasil hitung cepat. Prabowo menolak memberikan concession speech, karena menganggap banyak kecurangan dalam pemilu. Ribuan orang kemudian melakukan unjuk rasa di Kantor Bawaslu yang menyebabkan jatuh korban puluhan orang.
Kali ini kondisinya berbalik. Prabowo-Gibran berkontestasi sebagai capres dengan aroma petahana, karena mendapatkan dukungan total dari Jokowi. Sejak awal sudah sangat terasa aroma keberpihakan Jokowi terhadap pasangan ini. Film Dirty Vote yang mengungkap semua praktik kecurangan itu sudah ditonton hampir 5 juta pemirsa. Andai Youtube tidak menutup tayangan itu pemirsanya sangat mungkin tembus 10 juta dan bahkan lebih.
Hal itu menjadi indikasi bahwa publik bersikap kritis terhadap berbagai indikasi kecurangan pemilu. Kecurangan dalam bentuk bagi-bagi uang sebelum pencoblosan diduga terjadi secara masal. Intimidasi dan intervensi oleh aparat ditengarai terjadi secara sistematis dan masif.
Ada petugas penyelenggara pemilu yang tidak mengedarkan surat pemberitahuan kepada pemilih, dan menggantinya dengan amplop yang berisi uang. Kartu suara yang sudah tercoblos untuk pasangan 02 ditemukan di beberapa daerah.
Penggelembungan suara ditengarai terjadi secara sistematis. Seorang pemilih memergoki penggelembungan suara sampai ratusan di tempatnya mencoblos. Ketika hal ini menjadi viral, Ketua KPU mengakui ada kesalahan input dari hitungan manual aplikasi IT milik KPU. Dugaan adanya 54 juta DPT yang diduga bodong, sampai sekarang belum dijawab secara tegas oleh KPU.
Suasana di beberapa daerah tegang dan cenderung panas. Trust atau kepercayaan kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu sedang dipertaruhkan. Hasil hitung cepat–yang terasa berlebihan dan sulit dipercaya–memunculkan kecurigaan masyarakat bahwa ada kekuatan besar yang mengintervensi pelaksanaan pemilu kali ini.
Joke sang profesor ternyata benar. Pemilu Indonesia paling efektif di dunia karena hasilnya sudah diketahui sebelum pemilu digelar. Sad but true, sedih tapi nyata.
() Dhimam Abror Djuraid, founder kempalan.com
