Cerita Berburu Dadar Jagung

waktu baca 6 menit
Ilustrasi Dadar Jagung (*)

KEMPALAN: Istri saya jika masak pecel, sayurnya: bayam, kenikir, kacang panjang, tauge, krai (rebus), dan (sesekali) kembang turi. Lauknya: tahu dan tempe bacem, telur mata sapi, ayam goreng (kadang ada, kadang tidak), dan dadar jagung. Ada lagi: kerupuk. Beberapa kali: peyek. 

Untuk dadar jagung tidak menggoreng sendiri, melainkan membeli. Sasaran pertama, beli di lapak Bu Adam yang jual nasi campur. Di situ, juga menjual jajanan, dadar jagung, aneka botok dan pepes. 

Untuk jajanan (pisang goreng dan tahu isi) Bu Adam bikin sendiri. Sedangkan untuk dadar jagung dan botok dan pepes: titipan orang. 

Meski warung ini berada di lain kompleks, tapi jaraknya cuma seputar 200 meter dari rumah. Buka jam 5 pagi, tutup pukul 08.00.

Kalau di Bu Adam dadar jagung sudah ludes,  biasanya saya keliling di tiga lapak penjual kue, dan aneka nasi — baik dalam bungkus kertas maupun kemasan plastik, letaknya: di samping Indo**ret, seberang depan masjid Al Wahyu, dan yang sedikit jauh sekitar 500 meter seberang depan –agak serong kanan– masjid Al Shobirin. 

***

Setelah mengerjakan tugas-tugas rutin, pagi itu saya leyeh-leyeh di tempat tidur di kamar belakang, sambil ber-HP. Terdengar suara lirih. 

Depan saya, di seberang ranjang, terdengar suara lagi —  berdiri istri sambil mengatakan sesuatu yang saya tidak dengar. Mungkin karena telinga saya pagi itu tak terpasang abd (alat bantu dengar). 

“Opo Buk?”

“Pak, tulung tukokke dadar jagung,” kata istri saya dengan suara lebih keras dari sebelumnya. 

“Oke,” jawab saya, lantas bangkit dari tempat tidur. 

Uang lima belas ribu diserahkan kepada saya. Berarti saya harus beli dua bungkus dadar jagung dalam kemasan plastik berbentuk kotak pipih itu, dimana isi per kotak kalau tidak salah 6 biji. 

Saya perkirakan dadar jagung di Bu Adam telah habis, mengingat sudah pukul 06.00. Tapi niatan tetap akan saya coba realisasikan ke Bu Adam. Siapa tahu masih tersisa dua kotak. 

Motor Beat saya keluarkan dari teras. Terus saya turunkan melalui pintu pagar kecil. Sedikit curam, kurang lebih kemiringan 30 derajat. 

Sekira dua meter dari pintu pagar kecil itu, tombol starter segera saya pencet. Mula-mula mesin tidak langsung hidup. Saya tekan lagi starter: wreennng!!!

(Oiya, tadi waktu motor saya standar lantaran saya harus balik badan untuk segera menutup pintu pagar itu, kepala menabrak gelayutan anak cabang dan ranting-ranting sawo kecik yang makin merendah. ‘Sudah saatnya dipangkas nih ranting-ranting sawo kecik yang posisinya di berm (depan, samping kiri pintu pagar kecil)’, saya membatin. ‘Musim hujan, bahaya kalau terus dibiarkan, bisa-bisa roboh ini pohon’)

Cekak cingkrang, yang di Bu Adam betul sudah habis. Sedangkan yang di tiga lapak kue dan nasi kemasan itu, dadar jagung masih belum ada. Yang dua lapak menyebut: sebentar lagi. Masih nunggu kiriman (mungkin sistem konsinyasi).

Yang satu lapak sebelah minimarket, menginformasikan: nanti jam setengah tujuh. (Ini karena nggoreng sendiri, lebih jelas kepastiannya). 

Lantas saya datangi lagi lapak depan masjid Al Wahyu. Ternyata masih belum datang. Informasi dari mbak pemilik lapak yang menantu Mas Karno : “Dereng dugi, Pak (belum datang)”.

***

Lantas motor saya larikan ke arah selatan, selanjutnya belok kanan. Eladalah … mungkin berkendara sambil ngelamun, lha kok sudah melewati sekitar 30 meter dari target. 

Selanjutnya motor saya ‘turn u’-kan. Sampailah di warung pecel Nyamleng. Rupanya baru buka. Pembeli baru ada satu: seorang lelaki bertubuh tinggi besar, berkulit gelap, duduk di bangku panjang. 

“Belum ada, Pak” kata mbak yang sepertinya pelayan warung tersebut dalam posisi berdiri, sibuk membungkus pesanan laki-laki itu.

“Maksudnya belum ada, belum nggoreng atau belum dikirim?”

“Masih digoreng”

“Berapa lama?”

“10 menit …”

“Wauw … kalau sepuluh menit lagi, ya lebih baik saya tunggu, Mbak…”

Daripada saya pulang ke rumah, nanti balik lagi, entah ke sasaran mana di antara empat lapak yang ada dadar jagungnya: capek, lur ! Yang jelas gak akan balik lagi ke Bu Adam, karena sudah habis dibeli orang’. (Kalau ga dibeli orang, lantas dibeli siapa, ya? Hehe…aneh monolog saya ini).

Saya arahkan mata ke dapur yang ada di belakang mbak pelayan, pandangan menerobos sela-sela rak alumunium dan meja panjang tempat makan. 

Saya lihat samar-samar dua kompor sedang menyala, memanasi dua wajan yang hampir penuh minyak goreng. Ada seorang lelaki di depan wajan-wajan itu. 

Saya pindah posisi ke bangku yang lebih pendek, mendekati penggorengan tersebut. Pengaturan bangku panjang di sini seperti huruf L, menghadap ke penjual dan: nasi, sayur-mayur serta lauk pauk — yang ditata rapi di rak aluminium. 

Lelaki berusia lebih kurang 50 tahun tersebut masih dalam posisi membelakangi.

Tiba-tiba mata saya melihat di pintu samping yang ‘daun”-nya masuk ke ruang dapur tulisan dalam print-out huruf-huruf komputer:

Perhatian. Di dalam jam kerja dilarang main HP. 

Setelah membaca tulisan itu, saya tersenyum. 

Tak lama kemudian masuk dari pintu belakang  seorang wanita berhijab, setelah memarkir motor. Langsing. Cantik. Meski berwajah — maaf– ndeso. Bibirnya dihiasi lipstik sedikit di atas tipis. 

Saya asumsikan bahwa mbak langsing cantik ini, pemilik warung pecel Nyamleng. 

Sesaat setelah meletakkan jaketnya di meja kecil, saya tanya disusul senyum: “Mbak, pegawainya gak boleh main HP ya?”

“Iya, Pak” jawab pendek, disusul senyumnya. Kemudian saya berpikir ulang, yang tepat sebetulnya sosok ini tidak “ndeso”, tapi: sederhana. 

(Foto tulisan peringatan ini tiga hari lalu saya  posting di story facebook. Dramawan Meimura  berkomentar: gosoong! Maksudnya kalau sedang masak disambi menggoreng, bisa-bisa hangus yang digoreng). 

Dari tulisan yang ada di daun pintu itu, saya mencoba menangkap apa yang tersirat bahwa betapa gadget dengan unsur utama HP sudah merangsek ke –maaf– kalangan strata bawah, termasuk mbak-mbak pelayan warung pecel Nyamleng itu. 

***

Tetiba, saya teringat sekitar 10-15 tahun lalu, saat kami mudik ke rumah mertua di Magelang. Saat ‘unjung-unjung’ ke rumah saudara di pelosok desa-desa di wilayah kabupaten, saya tidak membayangkan bahwa para remaja dan orang tua sudah sangat  banyak yang ber-HP. Saat itu –kalau tidak salah–  belum ada sistem android.

Dari info yang ada di google tercatat, jumlah smartphone di Indonesia 354 juta. Melebihi jumlah penduduk Indonesia yang 278 juta jiwa. Sedangkan pemakai HP di Indonesia ada 167 juta orang. 

Saya membayangkan, yang tidak menggunakan HP boleh jadi anak-anak di bawah 12 tahun. Atau jangan-jangan –diam-diam– sudah banyak yang menggunakan di bawah usia itu. 

Btw, sumpah: dadar jagung di warung itu uenaak tenan! Sebiji dua ribu rupiah. Saya pagi itu beli 12 biji.

*Amang Mawardi*, penulis sejumlah buku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *