Masih Mujarabkah Pesona “Caleg-Artis” sebagai Vote Getter
Kholid A.Harras
Pemerhati Pendidikan dan Sosial. Dosen FPBS UPI
KEMPALAN: Fenomena artis nyaleg dan nyemplung di dunia politik menjadi anggota parlemen sesungguhnya bukan perkara baru di negeri ini. Dalam setiap Pemilu, baik pada masa Orde Baru maupun Orde Reformasi hal itu lumrah terjadi. Beberapa artis yang pernah menjadi anggota DPR semasa orde baru antara lain Tety Kadi, Dorce Gamalama, Ida Kusuma, dan Rhoma Irama.
Sedangkan pada pasca reformasi jumlahnya cukup banyak. Antara lain Anang Hermansyah (Musisi) Rieke Diah Pitaloka (aktris), Krisdayanti (aktris), Marisa Haque (artis) Maruarar Sirait (pengacara dan aktor), Adjie Massaid (aktor dan sutradara), Tora Sudiro (aktor), dan Rano Karno (Artis). Dengan demikian, jika dalam Pemilu legislatif tahun 2024 terdapat banyak nama artis yang tertarik dan atau ditarik mengadu peruntungan menjadi caleg sesungguhnya bukan hal yang aneh.
Banyaknya artis yang mencoba peruntungan menjadi seorang caleg, selain profesi politisi bisa dimasuki oleh siapa saja, juga persyaratannya di negeri ini sangat sederhana. Berusia minimal 21 tahun atau lebih, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dapat berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia, lulusan minimal SMA atau sederajat, serta sehat jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika.
Sedangkan keputusan partai politik untuk mencalonkan artis sebagai calon legislatif (caleg) dapat dipengaruhi oleh berbagai alasan strategis dan taktis. Secara umum, partai politik memilih mencalonkan artis sebagai calon legislatif (caleg) karena melihat potensi elektabilitas, popularitas, dan daya tarik media yang dimiliki oleh artis. Selain itu boleh jadi keputusan tersebut diambil untuk mendapatkan dukungan lebih besar dari pemilih dan meningkatkan citra partai.
Pengaruh kehadiran artis sebagai calon legislatif (caleg) atau yang sering disebut sebagai “vote getter” dalam pemilihan umum (pemilu) sesungguhnya dapat bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Meskipun artis dapat menjadi vote getter yang potensial, efeknya bukanlah jaminan kemenangan. Pemilih cenderung semakin kritis dan cerdas dalam menilai kualifikasi dan kompetensi calon, terlepas dari popularitas mereka di dunia hiburan. Oleh karena itu, keberhasilan kehadiran artis sebagai vote getter bergantung pada sejauh mana partai dan calon mampu menggabungkan popularitas dengan pesan politik yang meyakinkan dan berkualitas.
Sebagai ilustrasi, pada Pemilu 2019 tercatat dari 91 caleg yang mengikuti kontestasi untuk DPR pusat yang berasal dari kalangan artis, sebanyak 77 caleg pada akhirnya tidak berhasil masuk ke Senayan. Jadi hanya 14 orang atau sekira 15% caleg artis saja yang berhasil. Mereka adalah Mulan Jameela, Rieke Diah Pitaloka, Angel Lelga, Desy Ratnasari, Dede Yusuf, Putu Supadma Rudana, Eko Patrio, Krisdayanti, Happy Salma, Adjie Pangestu, Inggried Dwi Wedhaswary, Rano Karno, Nurul Arifin, dan Arzeti Bilbina
Konon banyak artis yang nekad menjadi caleg pada Pemilu 2019 yang hanya mampu mendulang sekira 2.000-5.000 suara di dapilnya masing-masing. Artinya, artis-artis itu tidak bisa mendulang suara untuk membantu mereka terpilih atau partainya mendapat kursi. Misalnya, artis Manohara Odelia bukan kelahiran Surabaya dan Sidoarjo pada Pileg 2019 maju di Dapil Jatim 1 (Surabaya dan Sidoarjo). Dia cuma meraih sedikit suara. Akibatnya, Manohara gagal masuk Senayan. Begitu pula halnya Ahmad Dhani Prasetyo yang maju di Dapil Jatim 1. Meskipun kelahiran di dapil tersebut, tetap saja Dhani tidak meraih kursi di Senayan.
Berdasarkan fakta tersebut, jelaslah bahwa asumsi artis menjadi caleg bisa mendulang suara banyak terbantahkan dengan sendirinya. Dengan demikian sesungguhnya tidak ada jaminan partai yang banyak mengusung caleg artis akan memperoleh kursi signifikan di Senayan. Karenanya, partai-partai lain yang tidak mengusung artis tidak perlu pula gentar tidak memperoleh kursi di Senayan. Mereka justru kalah bersaing dengan caleg yang rajin door to door menyapa warga di dapilnya. Caleg seperti ini yang justru banyak memperoleh kursi di Senayan. Jadi sesungguhnya kemampuan caleg-caleg itu sendiri di lapangan akan lebih menentukan dalam perolehan suara.
Apapun alasannya, fenomena banyaknya artis ramai-ramai didaftar menjadi calon legislatif oleh partai politik merupakan bukti bentuk kegagalan parpol melakukan kaderisasi. Sehingga parpol mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan kepopuleran artis untuk meraup suara pada Pemilu Legislatif. Walaupun memang banyak faktor lain yang ikut mempengaruhi terpilih atau tidaknya seorang caleg bukan hanya ditentukan oleh popularitas, melainkan juga oleh rekam jejak, kualitas kepemimpinan, pengalaman, dan kompetensi dalam bidang yang bersangkutan.
Sehubungan hal tersebut, kepada para caleg yang bukan artis tidak perlu berkecil hati. Selagi kalian memiliki jejak rekam yang baik serta kemampuan yang mumpuni, masih banyak rakyat yang akan mempercayai dan menjatuhkan pilihan kepada kalian. Sebagaimana telah dibuktikan pada Pemilu 2019, keartisan sudah tidak lagi bisa menjadi jaminan keterpilihan***