Sawung Jabo Terus Bergerak 

waktu baca 7 menit
Sawung Jabo, Susan Piper, dan rombongan Sirkus Barock, Minggu pagi bertolak ke Surabaya dari Jogja. (Dok: Feri Barock).

KEMPALAN: Saya “mengenal” Sawung Jabo seputar tahun 1987 atau mungkin 1988. Saat itu saya menangani desk seni dan hiburan Mingguan Surya, cikal bakal harian Surya.

Mingguan ini terbit di Surabaya di bawah “bendera” Harian Pos Kota yang berkedudukan di Jakarta. 

Setelah “terkonversi” menjadi Harian Surya pada 10 November 34 tahun lalu, kepemilikan saham berubah menjadi: Kompas (51) dan Pos Kota (49). 

Saat jadi desk tersebut, ada naskah masuk. Saya lupa dari reporter resmi Mingguan Surya atau dari kontributor. 

Naskah straight news itu dilengkapi foto sesosok lelaki muda berambut gondrong sebahu, beralis cukup tebal — dalam posisi duduk memainkan gitar akustik. 

Di situ antara lain ditulis bahwa Sawung Jabo (pernah) kuliah di Akademi Musik di Jogjakarta dan (kalau tidak salah) menjadi salah satu anak buah Rendra di Bengkel Teater. 

Tahun 1988 saya resign dari Mingguan Surya dan menjadi wartawan freelance sambil mengelola kios buku dan alat-alat tulis. 

Meski saya sudah tidak bergabung dengan institusi pers –tetapi terus mencoba  eksis sebagai wartawan freelance, disertai wirausaha ‘ndek-ndekan’– akhirnya saya menjadi lebih leluasa membantu Log Zhelebour Enterprises sebagai humas. 

Saat masih aktif di institusi pers (koresponden Pos Kota dilanjut redaksi Mingguan Surya), saya tidak bisa optimal membantu Log. Kalau Log Zhelebour menggelar pentas musik rock di Jawa Timur, saya masih bisa mengikuti. Namun, jika di luar provinsi Jawa Timur, sesekali saja saya bisa membantu. 

Pada tahun 1989-1990 saat Log Zhelebour menggelar Tour Raksasa Godbless (plus Elpamas, Mel Shandy, dan Power Metal) di Jawa dan Sumatra, saya ikut full. 

Nah, di beberapa tour itu (terutama di Jawa) di belakang panggung, sesekali saya jumpai sesosok lelaki muda yang wajahnya mirip foto Sawung Jabo di Mingguan Surya dulu. ‘Jangan-jangan anak muda (seusia saya ini) Sawung Jabo’, saya membatin. 

Lantas sosok yang sesekali saya lihat ngobrol dengan satu-dua personel Godbless, atau terkadang berdiri sendirian dengan tangan bersedekap bersandar ke tiang di bagian belakang panggung dengan salah satu kaki ditekuk, saya kesankan pendiam. 

Kepada sobat salah satu kru Log (kalau tidak salah Pras atau Yudo) saya bertanya: “Siapa laki-laki muda itu?”. Jawabnya: “Lho..itu Sawung Jabo penulis lagu ‘Sang Jagoan’ di album ‘Raksasa’ – Godbless”.

Dari tatapan sekilas ke Jabo, saya mempersepsikan sosok ini selain terkesan pendiam, juga rendah hati. 

Dan, tidak pada setiap kota dalam rangkaian Tour Raksasa, Sawung Jabo tampak terlihat. Pikiran saya: entah menggunakan kendaraan apa jika Jabo hadir. Yang jelas pada armada sedan dan van (juga truk) yang membawa kru, sejumlah artis pendukung Tour Raksasa dan peralatan panggung, tak terlihat Sawung Jabo. Mungkin dia membawa kendaraan sendiri. 

Di sela menulis artikel ini, lantas saya selingi googling, mencoba cross check, apa benar Jabo penulis (sebagian atau salah satu) lagu-lagu yang dibawakan Godbless.

Maka ketahuanlah bahwa pada album “Raksasa” (1989) Godbless, tercatat dua lagu yang ditulis Sawung Jabo bersama Jockie Surjoprajogo, yaitu  lagu ‘Sang Jagoan’ dan ‘Anak Kehidupan’. 

Lantas pada album “Apa Kabar” Godbless (1997) ada peranan Sawung Jabo di situ, yakni pada lagu ‘Apa Kabar?’ (Teddy Sujaya, Jockie Surjoprajogo, Ian Antono, Sawung Jabo), ‘Srigala Jalanan’ (Teddy Sujaya, Eet Sjahranie, Sawung Jabo) dan ‘Pengamen Kecil’ (Jockie Surjoprajogo, Sawung Jabo).

Setelah Tour Raksasa berakhir, saya sudah tidak pernah menjumpai sosok Jabo. Kemudian saya dengar Jabo bergabung dengan komunitas musik Swami dimana di situ antara lain terdapat Iwan Fals, Jockie Surjoprajogo, Naniel dan sejumlah sosok lain yang saya lupa. Mungkin ada lagi Inisisri. Atau Toto Tewel? 

Lantas terbentuklah Kantata Takwa dimotori seorang pengusaha yang musisi. Personel intinya: Setiawan Djodi, Rendra, Iwan Fals, Jockie Surjoprajogo, dan Sawung Jabo. 

Setelah itu? Saya tidak hafal. Yang saya ingat, Jabo mencoba lebih mengaktifkan (Sirkus) Barock yang didirikannya bersama sejumlah mahasiswa asal Surabaya yang kuliah di Jogja pada tahun 1976, yang lantas dikenal dengan: Sawung Jabo & Sirkus Barock. 

Tahun 2004 saya diajak sobat  M. Djupri (almarhum) garap tabloid yang diprakarsai dan didanai  Henky Kurniadi. Ikut juga bergabung Toto Sonata untuk membantu penerbitan tabloid itu. 

Di sela-sela acara bikin tabloid tersebut, selentingan saya dengar bahwa Henky dekat dengan Jabo. Mungkin sudah  lama, hanya saja saya yang tidak tahu. 

Seputar tahun itu, saya dengar juga Henky dan Jabo terlibat kerja sama bikin rekaman lagu. Terbukti, Toto Sonata dan sejumlah teman diajak untuk melihat latihan Sawung Jabo dkk di studio Bagong Kussudiardjo di Yogyakarta. Karena saat itu saya sedang sakit, saya tidak ikut ke Jogja. Hanya Toto Sonata yang ikut sebagai teman dekat saya. Djupri juga tidak ikut, saya lupa alasannya apa.

Persahabatan Jabo dan Henky terus berlanjut, hingga kemudian saat kami membentuk komunitas Seduluran Semanggi  Suroboyo yang lantas membuka WA Group, Sawung Jabo ada di situ juga. 

Dari WAG itu, saya baru tahu kalau Sawung Jabo adalah arek kelahiran kampung Ampel, Surabaya, sebagaimana pengakuannya. 

Ternyata persepsi saya tentang Jabo yang nama aslinya Moehamad Djohansyah ini sebagai sosok pendiam, keliru. Lewat pendapat-pendapatnya di WAG itu, Jabo ekspresif, lugas, ceplas-ceplos khas arek Surabaya. 

Beberapa kali saya baca dorongan Jabo kepada musisi Bambang Jon agar bikin konser tunggal. “Iki wayahmu Jon!” kata Jabo. 

Bambang Jon yang dokter hewan ini, saat masih muda dikenal dengan duet Jon & Sulih. Lagu-lagu yang dibawakannya khas balada.  

Bambang Jon se-angkatan dengan musisi lagu-lagu balada  lainnya dari Surabaya, seperti : Leo Kristie, Franky Sahilatua, Naniel, dan Gombloh (yang lantas “pindah jalur” ke pop).

Dari ceplosan-ceplosan itu, saya membatin bahwa meski Jabo tinggal di Sydney, Australia –karena istrinya yakni Susan Piper berasal dari negeri tetangga di selatan Indonesia itu– tetap ulet menggenggam “bahasa ibu” : Suroboyo!

Ke-suroboyoan Jabo yang kental meski pernah lama tinggal di Jogja dan Sydney, tidak menjadikan Jabo kehilangan jati diri kelokalannya. Budaya dan watak arek Suroboyo masih kuat dicengkeram Sawung Jabo. 

Sehubungan dengan hal tersebut, saya jadi ingat cerita Toto Sonata  wartawan yang penyair pada seputar 30-35 tahun lalu tentang acara khitanan putra Sawung Jabo & Susan Piper yaitu Johan Sanjaya Marais Piper. 

Pada acara khitanan yang dihelat di rumah (keluarga) Jabo di kawasan Bogen, Surabaya, Sawung Jabo nanggap tokoh ludruk garingan Cak Markeso. 

Saat pulang, Cak Markeso pamit — juga pamit ke istri Jabo yang bule: “Terima kasih tante, saya pamit pulang ya…”

Saya yang diceritai Toto, ketawa ngakak. Di mata Markeso biar “Londo” wedok masih muda   di bawah usia Cak Markeso, ya “wajib” dipanggil ‘tante’. 

Lepas dari cerita Toto Sonata –sekali lagi– yang bisa dipetik betapa kuatnya Jabo  menggenggam tradisi dan budaya Surabaya. Markeso, rek! 

Setelah Sawung Jabo & Sirkus Barock melanglang-pentas di Yogyakarta, Bandung, dan Bogor, maka di penghujung tahun ini, Sawung Jabo dkk menyapa kota Surabaya, persisnya pada tanggal 14 November di Gedung Cak Durasim Jl. Genteng Kali 85 Surabaya. Aksi konser Sawung Jabo & Sirkus Barock diberi tajuk: Kado Nggo Jabo. Diselenggarakan oleh Seduluran Semanggi Suroboyo. 

Kata Cak Sjamsul Umur yang ketua panitia, Sawung Jabo & Sirkus Barock akan tampil dalam formasi: Jabo (gitar), Toto Tewel (lead guitar), Ucok (violin), Denny (perkusi), Hasnan (cello), Bagus (kibor), Joel (gitar), Tauhid (bas) dan Wasis (drum). 

Sedangkan pemberi kado, yakni keluarga besar Seduluran Semanggi Suroboyo akan tampil pada Sesi I, menampilkan: Djatu Parmawati, Utiek S, Desy Agustina, Bambang Jon, Ndindy & Helen (teatrikal musik&puisi), Prof. Rubi Castuby Band, dan  Asri Nugroho (teatrikal seni rupa).

“Pertunjukan ini gratis. Bagi yang kehabisan tiket, jangan kuatir  — panitia menyiarkan streaming” tambah Cak Sjamsul.

(*) Amang Mawardi, wartawan dan penulis buku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *