Gibran, ‘’Dekengane’’ Pusat
KEMPALAN: Nama pendakwah muda Agus Muhammad Iqdam Kholid atau Gus Iqdam asal Blitar, Jawa Timur, makin populer. Majelis pengajian, Sabilu Taubah yang diasuhnya didatangi ribuan jamaah dari berbagai daerah. Potongan ceramahnya yang diunggah di media sosial ditonton ratusan ribu orang. Narasi yang sering diucapkannya sekarang menjadi viral dan ditirukan orang dimana-mana. Salah satunya adalah ungkapan ‘’dekengane pusat’’.
Majelis Sabilu Taubah tidak dikhususkan untuk orang-orang Islam. Nonmuslim pun banyak yang mengikuti pengajian Gus Iqdam.
Materi pengajian yang inklusif dan disampaikan dengan bahasa yang sederhana menjadi daya tarik para jamaah. Gus Iqdam dai milenial yang baru berusia 29 tahun, tampilannya yang charming dan semanak, membuat banyak gadis dan emak-emak terpesona.
Gus Iqdam mendirikan Majelis Sabilu Taubah pada 2028 dengan 7 jamaah. Tetapi setelah namanya viral sekarang jamaahnya lebih dari 66.000 dari seluruh pelosok negeri. Potongan video ceramah Gus Iqdam tersebar luas di media sosial. Seperti di TikTok, YouTube, Instagram dan lainnya.
Sabilu Taubah dikonsep sebagai tempat mengaji bagi orang-orang marjinal, anak-anak jalanan, gelandangan, anak-anak punk, pengamen, dan bahkan para petty criminal, penjahat-penjahat kelas teri dan ada juga pemakai obat bius dan pezina. Mereka ini oleh Gus Iqdam disebut sebagai ‘’garangan’’.
Garangan adalah hewan kecil karnivora pemangsa daging. Bentuknya kecil tapi buas, karena bisa memakan berbagai macam binatang kecil mulai dari tikus, burung, reptil, kodok, yuyu, serangga, kalajengking, dan hewan ternak seperti ayam dan kelinci.
Sebutan garangan melekat kepada orang-orang yang sering melakukan berbagai jenis kejahatan. Sebutan ini tidak berkonotasi menghina atau merendahkan, malah lebih terkesan akrab dan lucu.
Para garangan itu berbaur dengan jamaah lainnya mendengarkan pengajian Gus Iqdam dengan antusias. Pemilihan bahasa yang sederhana membuat ceramah Gus Iqdam mudah dimengerti terutama oleh orang awam. Ia memakai ungkapan-ungkapan sederhana yang mengena dan kemudian menjadi viral.
Salah satu ungkapan yang sering dipakai oleh Gus Iqdam adalah ‘’dekengane pusat’’. Setiap kali memberi ceramah kalimat ini hampir selalu muncul. Ungkapan ini menjadi sangat populer dan diucapkan oleh banyak orang di berbagai kesempatan. Banyak juga meme di Whatsapp yang memakai ungkapan itu beserta foto Gus Iqdam.
Ungkapan itu bukan temuan Gus Iqdam karena sudah banyak dipakai orang jauh sebelum Gus Iqdam lahir. Sebagai milenial yang lahir pada 1993 Gus Iqdam tidak ‘’menangi’’ masa Orde Baru karena dia masih kanak-kanak.
Ungkapan dekengane pusat muncul di masa Orde Baru untuk menggambarkan seseorang yang memperoleh perlindungan dari pusat, yaitu Jakarta. Dekengan diambil dari kata ‘’dekking’’ dari bahasa Belanda, dan juga ada pengaruh dari bahasa Inggris ‘’backing’’.
Ungkapan itu hanya dikenal di sebagian Jawa Timur, menggambarkan situasi politik sentralisme Orde Baru yang memusatkan semua otoritas kekuasaan di pusat. Dekengane pusat dimaksud sebagai seseorang yang mendapat perlindungan dari orang kuat di pusat.
Sangat mungkin Gus Iqdam tidak secara sengaja memakai istilah itu. Dia juga tidak punya maksud khusus kecuali hanya bercanda. Setiap kali ada jamaah yang bertanya dan penampilannya unik, Gus Iqdam kemudian menyeletuk ‘’iki dekangne pusat’’, orang ini mendapat backing dari pusat. Hadirin pun tertawa.
Karena istilah itu menjadi populer, Gus Iqdam mencarikan makna di balik ungkapan itu. Ungkapan itu diberi maksa religius, yaitu seseorang yang menjalankan perintah-perintah Allah, yang wajib dan sunnah, akan mendapatkan perlindungan yang kuat dari Allah. Perlindungan itulah yang disebut sebagai ‘’dekangane pusat’’. Yang dimaksud pusat adalah Allah.
Politik Indonesia yang masih diwarnai oleh KKN memberi peran yang sangat luas bagi kemunculan dekengane pusat. Politik Indonesia, yang sering jauh dari etika dan menghalalkan segala cara untuk berkuasa, bisa disebut sebagai politik garangan. Para politisi nir-etika itu, memakai istilah Gus Iqdam, adalah para garangan pemakan segala jenis makanan tanpa peduli etika, halal, dan haram.
Politik Indonesia sekarang heboh oleh fenomena nepotisme dan politik dinasti. Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo, dideklarasikan menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, Senin (22/10).
Gibaran jelas mendapat ‘’dekengan’’ dari pusat. Ia politisi yang masih hijau, miskin pengalaman, karena baru dua tahun menjadi walikota Solo. Umurnya juga masih 35 tahun, tidak memenuhi syarat untuk menjadi wakil presiden.
Tetapi, berkat dekangane pusat, Gibran bisa mendapat karpet merah untuk melenggang menjadi calon wapres. Aturan undang-undang itu bisa berubah karena Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah aturan itu. Batasan usia 40 tahun tetap bertahan, tetapi siapapun yang punya pengalaman sebagai kepala daerah yang terpilih, barang sehari pun, melalui pemilihan langsung, bisa menjadi calon wakil presiden.
Anwar Usman, pamanda Gibran, ialah ketua MK. Hubungan paman dengan keponakan inilah yang banyak disorot oleh publik sebagai hubungan nepotisme. Gibran dianggap mendapat dekengane pusat dari sang paman.
Dekengane pusat yang paling top diterima Gibran dari sang ayahanda, Presiden Jokowi. Para pengritik menyebut bahwa Gibran tidak akan bisa menjadi wakil presiden tanpa cawe-cawe dari Jokowi. Gibran menjadi cawapres karena dekengane pusat dari Jokowi.
Jokowi boleh berkilah dengan berbagai macam alasan, tetapi publik sudah banyak yang kehilangan kepercayaan. Sebuah survei dari Litbang Kompas menyebut bahwa 60 persen responden menyatakan bahwa Jokowi melakukan politik dinasti.
Para pendukung fanatik Jokowi balik badan mencaci maki junjungannya. Goenawan Mohamad, Butet Kertaredjasa, para pemengaruh seperti Denny Siregar, Rudy Kamri, Eko Kuntadi, dan banyak lainnya berteriak-teriak mengecam Jokowi.
Jokowi tutup mata dan tutup telinga. Silakan anjing menggonggong, pencalonan Gibran sebagai wapres jalan terus. Jokowi terlihat yakin bahwa dekengane dari pusat akan bisa memenangkan anaknya bersama Prabowo.
Tetapi, merujuk kepada Gus Iqdam, ada dekengane pusat yang lebih ampuh ketimbang dekengan politik, yaitu dekengan dari Allah yang jauh lebih ampuh dari dekengan siapapun. Gibran boleh saja dapat dekengan pusat dari bapaknya. Tetapi, dia belum tentu dapat dekengan dari Allah.
Vox populi vox dei, suara rakyat akan menjadi suara Tuhan. Rakyat sudah terlalu pintar untuk dibodohi oleh dekengan para garangan di pusat yang rakus kekuasaan. ()