Puisi Minggu Ini: Bambang Kempling

waktu baca 2 menit
Bambang Kempling (*)

KEMPALAN: Melengkapi ulasan sang guru kreatif dan tak pernah lelah berulah seni, Bambang Kempling, berikut ini saya sertakan puisi-puisinya. Semoga bisa jadi bacaan puisi yang cukup berarti pada minggu ini. Bacalah!

Bambang Kempling – LADANG AIR MATA

Kita di sini sedang menggarap ladang air mata

tentang bumi yang tercabik-cabik

oleh tsunami.

Aku mendengar kabar itu

bersama derai angin dan gerimis

(seperti ikut merasakan kepedihan ini)

Desember tiba-tiba menjadi pucat

Lalu,

apa yang kita bisa berikan

pada luka yang terlalu menganga,

pada ribuan mayat saudara,

pada lebam sejarah kehidupan?

Sedang membalutnya saja

ternyata tangan kita tak mampu 

merengkuh pendar-pendar langit

maka,

dengan jiwa

kukirimkan salam kangenku

pada senyum mereka

Semoga tersampaikan.

(Januari 2005) 

Bambang Kempling – SUATU MALAM DI PERSIMPANGAN X SBY

di depan, lampu kereta memberi isyarat 

pada batu-batu di sepanjang rel

yang sedang berbisik kepada rumput,

kepada pilar jembatan beton

yang angker di atas kepala kita,

bahkan laju mobil-mobil yang melintas

juga mendengarnya.

“Siapa laki-laki itu?”

bisik yang kemudian 

menggambar wajahnya sendiri

pada keasingan terbang belalang.

malam belum selesai mengenali kita

ketika roda-roda baja menggilas

embun dari tetes keringat

yang bersetubuh dengan pijar lampu kota.

dan isyarat adalah kebakaan diam

terbawa kereta bersama hembus angin.

(Mei 2004) 

Bambang Kempling – ANSAMBEL PUTIH

hadir bersama cahaya 

kau simpan wajah kota 

dalam gerimis 

anak-anak bergaun putih 

menebar sunyi 

bagai genangan sebaris sukma 

(kekasih di balik kelam) 

ia catat itu dalam rinai diam 

dalam sebuah komposisi 

Dadali ataupun Sebastian Bach

:air 

sunyi 

mengalir 

dari nadi ke nadi

(Januari, 2007) 

Bambang Kempling – USAI JAM PERTAMA

/1/

beragam kisah

terpatri di setiap butir debu

usai ia menggores mimpi

hidup di kemudian hari

/2/

jari-jari lentik

menari 

berselendang embun

“pada samudra kelak kau akan berlayar,” katanya.

/3/

maka,

kau pun mekar 

laksana senyum matahari pagi.

(Aming Aminoedhin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *