Kenangan Bersama Penyair yang Pelukis, Rudi Isbandi
KEMPALAN: Bicara soal pelukis yang juga penyair di Surabaya itu banyak jumlahnya, ada Amang Rachman, Hardjono WS, Wiwiek Hidayat, Haryadhi BS, Abdul Kadir Zaelani, dan mungkin banyak lagi.
Bahkan saya telah pernah menulis mereka setahun lalu, tentang “Pelukis yang Penyair” buat buku kumpulan puisi bertajuk ”Jembatan Merah” dan dibacakan di DKS (Dewan Kesenian Surabaya).
Kali ini saya ajak mengenang dan bicara salah satu dari mereka, yaitu almarhum Rudi Isbandi. Lelaki yang suka bertopi dan jalan-jalan kaki itu adalah pelukis kelahiran Yogyakarta,
2 Januari 1937, dan meninggal dunia 18 September 2016 yang lalu.
Ketika bersama-sama jadi juri lomba seni tingkat Provinsi Jawa Timur, saat itu dilaksanakan di kota Blitar (jika tak salah), saat bangun pagi saya diajak jalan-jalan memasuki pasar tradisional di kota tersebut. Melihat-lihat penjaja barang dagangan dari barang rongsok hingga makanan. Pokoknya, bersama Pak Rudi Isbandi, saya merasa seru saja.
Seingat saya jabatan beliau ini adalah supervisor budaya di PPIA (Perhimpunan Persa-habatan Indonesia Amerika, sewaktu masih di Jalan Dr. Soetomo 110 Surabaya; hingga pindah di Jalan Dharmahusada Indah Barat, Surabaya. Sebagai supervisor budaya, beliau mengurusi pameran lukisan, pentas musik, pentas teater dan sastra.
Ketika PPIA masih di Dr. Soetomo (sekitar 1987) itulah; saya termasuk anak muda yang cukup dipercaya oleh Rudi Isbandi, jadi koordinator komunitas FASS (Forum Apresiasi Sastra Surabaya) yang mengadakan diskusi sastra dan baca puisi di PPIA.
Lewat FASS bisa buat kumpulan puisi “Nuansa Biru” yang dicetak secara stensilan (1989). Bahkan penulisnya kumpulan puisi ini, tidak lagi tampak tulisannya. Lantas FASS pernah pula adakan baca puisi para wartawan, temu penyair Indonesia, dan banyak lagi.
Bahkan beberapa puisi beliau ikut dalam barisan Malsasa (Malam Sastra Surabaya), yang saya jadi koordinatornya, dan ikut tampil bacakan puisinya. Ampuh temenan!
Kegiatan sastra Surabaya kala itu, kian bergairah lantaran Rudi Isbandi, menyuruh saya agar FASS selalu adakan kegiatan seni sastra di PPIA Surabaya. Selain sastra juga musik, bahkan pernah datangkan Slamet Abdul Syukur, Marini, dan Idris Sadri.
Kembali bicarakan tokoh sastra yang juga pelukis ini, bahwa menurut Rudi Isbandi, “Seni itu ibarat sebuah pohon. Pasti mengenal kapan saat tumbuh, kapan berdaun, berbunga, dan berbuah untuk kemudian mati karena ditelan usia.”
Selama di Surabaya, saya merasakan bahwa Rudi Isbandi merupakan pelukis yang mau menulis. Bahkan jika tak salah juga menulis buku seni rupa (judulnya lupa), tapi saya pernah diberi beliau bersampul warna kuning gambar wajah beliaunya.
Menurut tulisan Desynovita, “Kecintaannya terhadap dunia seni rupa membuat Rudi memiliki impian untuk memiliki sebuah museum seni rupa. Hal itu berhasil diwujudkan bersama istrinya, Sunarti, dengan mendirikan dan mengelola Museum Rudi Isbandi (MRI) pada 2009 di kota Surabaya. Museum seni rupa pertama di Surabaya dan keenam di Indonesia itu menyajikan sekitar 150 karya yang menandai perjalanan kesenian seorang Rudi Isbandi mulai tahun 1952 saat ia berusia 15 tahun hingga 2009.”
Pada waktu itu saya sempat ke MRI tersebut, yang banyak lukisannya di letakkan di lantai dua. Sedang di halaman bawah banyak piaraan langka semacam merak dan kalkun, serta burung-burung, piaraannya.
Lantas bagaimana kabar Museum Rudi Isbandi tersebut? Saya tidak begitu tahu jun-trungnya. Yang pasti Rudi Isbandi adalah seniman yang dikenal sebagai kritikus seni rupa dan penulis puisi. Beliau telah meninggalkan kita semua, tapi karya seninya tetap abadi. Semoga sumbangsihnya pada kesenian di Surabaya, akan mengantarkan beliau ke surga. Aamiin YRA.
(Aming Aminoedhin).
