Awas! Petok D dan Leter C Bisa Menjegal Sertifikat Kepemilikan Tanah
SURABAYA-KEMPALAN: Albert Kuhon, Juru bicara Widowati Hartono, menilai ada permainan mafia tanah di balik sengketa tanah di Jalan Puncak Darmo Permai Utara III Nomor 5-7 Surabaya.
Penilaian ini diutarakan Albert Kuhon, karena tanah seluas 6.850 meter persegi di Jalan Puncak Darmo Permai Utara III Nomor 5-7 Surabaya yang dimenangkan Mulya Hadi akan dilakukan peninjauan kembali oleh pihaknya yang mengklaim sebagai pemilik tanah yang sah.
Menurut Albert, Widowati memegang SHGB Nomor 4157/Pradah Kalikendal, dan dia menyebut dua perkara identik namun putusannya unik terkait sengketa tanah di lokasi yang sama tersebut.
Pasalnya, Yayasan Cahaya Harapan Hidup Sejahtera (CHHS) memenangkan sengketa lahan seluas sekitar 3.150 meter persegi melawan Mulya Hadi. Namun, terkait lahan seluas 6.850 meter persegi pihak pengadilan memutuskan bahwa Mulya Hadi yang berhak atas tanah tersebut. Padahal dalam perkara ini bukti yang ditunjukkan tak ada bedanya. Sehingga ia berharap ada kepastian hukum, karena kasusnya sama tetapi keputusannya berbeda.
“Ada dua perkara yang sangat identik. Bukti-buktinya sama, prosesnya juga sama, tapi putusannya bisa berbeda. Itu menurut saya suatu kejanggalan yang barangkali perlu kita cari kenapa bisa terjadi seperti itu. Karena hal seperti itu tidak menjamin kepastian hukum,” kata Albert setelah menggelar konferensi pers di salah satu hotel di kawasan Gubeng Surabaya, Selasa (22/8).
Terkait banyaknya praktik mafia tanah, Albert menegaskan bahwa hal itu terjadi karena tidak adanya kepastian hukum.
Sehingga, untuk memberantasnya
seluruh masyarakat harus berani melawan. Yaitu dengan cara mengawal proses penyelesaian sengketa tanah secara transparan.
“Dengan memastikan bahwa proses hukum itu berjalan dengan baik, dengan menegakkan kepastian hukum itu bisa terjadi. Kalau nggak gitu akan ada terus kasus mafia tanah,” tegasnya.
Menurut Albert, praktik mafia tanah yang beroperasi secara sistematis dan mampu menggerakkan berbagai instrumen tersebut bisa menjegal sertifikat kepemilikan tanah yang sah. Sehingga hal ini yang harus diwaspadai masyarakat.
Sebab, kata Albert, banyak sekali kasus yang terjadi, pemilik SHM maupun SHGB dan menempati sebuah lahan selama puluhan tahun, harus diusir karena muncul satu pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah tersebut hanya berdasarkan kepemilikan surat petok D.
“Padahal, sejauh ini peraturan menyebutkan bahwa sertifikat itu merupakan bukti yang paling kuat kepemilikan tanah,” ujarnya.
Tapi, lanjut Albert, nyatanya dalam beberapa perkara ini kita bisa melihat bahwa petok, leter C, dan sebagainya bisa menjadi bukti kepemilikan.
“Padahal itu katanya sudah tidak berlaku lagi, pembuktian-pembuktian seperti itu,” tandas Albert. (Dwi Arifin)
