Jokowi Batuk
KEMPALAN: Orang menderita sakit batuk adalah berita biasa. Tapi, kalau yang sakit batuk Presiden Jokowi pasti menjadi berita yang luar biasa. Apalagi, Presiden Jokowi sudah mengalami batuk sampai empat minggu alias sebulan.
Sebagai seorang kepala negara Jokowi mendapatkan layanan kesehatan kelas satu. Dokter-dokter terbaik dikerahkan untuk menjaga kesehatan presiden. Karena itu, ketika Jokowi sakit batuk sampai satu bulan tentu ada ‘’something wrong’’, sesuatu yang salah.
Usut punya usut ternyata sakit Jokowi itu disebabkan oleh kualitas udara yang buruk. Beberapa waktu terakhir ini kualitas udara di Jakarta memburuk karena tingkat polusi yang tinggi. Kondisi ini, ditambah dengan cuaca yang berubah-ubah, menyebabkan mudahnya penularan penyakit saluran pernafasan.
Kondisi sudah mendekati darurat. Jokowi memberikan sejumlah instruksi kepada sejumlah menterinya hingga gubernur untuk menangani polusi udara di Jakarta yang semakin mengkhawatirkan. Jokowi memimpin langsung rapat itu di Istana Merdeka Senin (14/8).
Indikator kualitas udara di DKI berada pada level angka 156 yang berarti masuk kategori tidak sehat. Salah satu penyebabnya adalah kemarau panjang selama tiga bulan terakhir. Hal itu diperburuk dengan pembuangan emisi dari transportasi, dan juga aktivitas industri di Jabodetabek, terutama yang menggunakan batu bara di sektor industri manufaktur.
Jokowi menginstruksikan berberapa langkah. Yang pertama jangka pendek, secepatnya harus dilakukan intervensi yang bisa meningkatkan kualitas udara di Jabodetabek lebih baik. Jokowi kemudian meminta ada rekayasa cuaca untuk memancing hujan di kawasan Jabodetabek, dan menerapkan regulasi untuk percepatan penerapan batas emisi khususnya di Jabodetabek. Jokowi juga meminta agar ruang terbuka hijau diperbanyak.
Salah satu jalan pintas yang ditempuh adalah melaksanakan WFH (work from home) untuk mengurangi emisi dari knalpot mobil. Langkah ini dianggap praktis, tapi oleh para pengamat lingkungan dianggap tidak substansial dan tidak akan bisa berkelanjutan.
Dalam beberapa waktu terakhir cuaca buruk dan banjir serta berbagai jenis bencana alam terjadi susul menyusul di Indonesia. DKI Jakarta tetap menjadi langganan banjir, Jawa Tengah terendam air berbulan-bulan. Banjir meluas di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.
Bumi akan semakin terancam oleh bencana alam yang muncul akibat salah kelola lingkungan oleh manusia. Jika kondisi ini berlanjut tanpa terobosan yang revolusioner, tidak mustahil bumi ini akan menjadi planet yang tidak lagi layak huni.
Bumi berada dalam kondisi bahaya. Kita sudah mendapatkan peringatan ‘’red code’’ kode merah yang menjurus pada situasi berbahaya. Sekjen PBB Antonio Gutteres menyampaikan peringatan bahaya itu. Guterres mengatakan bahwa kode merah itu berlaku untuk semua negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Gutteres menyatakan bahwa pemanasan global telah menjadi penyebab bencana cuaca ekstrem di seluruh dunia ini. Kalau manusia tidak mengambil sikap tegas dan masih menjalankan hidup ‘’business as usual’’ maka dalam 20 tahun kedepan cuaca ekstrem berisiko tidak lagi dapat dikendalikan.
Belasan ribu studi yang berkaitan dengan perubahan iklim menunjukkan bahwa penyebab utama kenaikan suhu adalah pembakaran bahan bakar fosil. Salah satunya industri pembangkit listrik yang mayoritas bahan bakarnya masih menggunakan batubara.
Indonesia adalah salah satu penghasil dan pengekspor batubara terbesar di dunia. Karena itu kita bisa tahu seberapa besar dosa kita terhadap lingkungan. Belum lagi pembakaran dan pembalakan hutan liar yang masih tetap menjadi aktivitas yang tidak bisa dihentikan, karena kurangnya tekad politik.
Kenaikan suhu bumi sebesar 1.1°C kelihatannya angka yang kecil. Namun efek yang ditimbulkan sangatlah besar dan destruktif. Yang sudah terjadi sekarang ini adalah hujan dengan intensitas tinggi, siklon tropis, banjir, dan musim kemarau yang semakin panjang dan menjadi penyebab kebakaran skala besar.
Efek lain perubahan iklim yang sangat mengkhawatirkan adalah gelombang panas ekstrem yang terjadi beberapa bulan terakhir, yang menyebabkan sebagian besar wilayah Eropa dan Amerika mengalami panas ekstrem dan kebakaran hutan di ratusan titik.
Akibat pemanasan global, daratan yang selama ini dianggap beku permanen atau permafrost meleleh, dan bahkan terjadi kebakaran besar di wilayah Siberia. Hal ini sangat mengherankan karena Siberia merupakan wilayah berpenghuni dengan cuaca paling dingin di dunia.
Sektor pertanian juga akan terancam. Jika suhu bumi terus memanas maka perubahan iklim akan mengubah ritme musiman, yang bisa mengakibatkan penurunan produktifitas hasil pertanian secara signifikan, termasuk risiko gagal panen akan semakin sering terjadi.
Perubahan iklim ini juga bakal menyebabkan perubahan pola cuaca di seluruh dunia. Akibatnya akan semakin sering terjadi gelombang panas dan kekeringan dalam waktu panjang, yang akan memicu kebakaran hutan dengan area yang sangat luas.
Ketika turun hujan maka intensitasnya bisa berlangsung selama berhari-hari tanpa henti, hingga terjadi bencana banjir bandang seperti yang baru saja terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Banjir membawa banyak korban, dan kebakaran hutan mengancam keselamatan jiwa manusia di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Bumi bisa menjadi planet yang tidak layak dihuni. Wartawan dan pemerhati lingkungan dari Amerika Serikat David Wallace-Wells menulis buku ‘’Uninhabitable Earth’’ atau Bumi yang Tak Bisa Dihuni (2020). Dia memaparkan faktor-faktor yang membuat planet bumi tidak layak huni.
Saat ini saja dengan kenaikan suhu 1,1 derajat selsius kita mengalami berbagai macam bencana yang menghancurkan. Menurut prediksi Wallace-Wells, kalau tren ini tidak dihentikan, dan panas bumi mengalami kenaikan sampai ke angka 5 derajat selsius, maka bumi ini dipastikan tidak akan bisa lagi ditinggali oleh manusia. Itulah saatnya dunia mengalami kiamat.
Kerusakan di bumi terjadi karena ulah manusia sendiri. Sudah saatnya kita mengingat kembali jargon para aktivis lingkungan, bahwa bumi ini bukan milik kita. Bumi ini milik anak cucu yang dititipkan kepada kita. ()