Menulis Berita Berbeda dengan Menulis Puisi
KEMPALAN: Saat dulu bertugas sebagai reporter, dalam sehari saya bisa menghasilkan dua hingga tiga berita. Apalagi untuk jenis ‘strait news’ pendek, bisa lebih banyak lagi.
Berita, bisa saya dapatkan di lapangan secara insidental maupun dari instansi dimana saya ngepos. Juga berdasarkan penugasan dari redaksi, baik yang saya laksanakan secara personal maupun secara kolektif.
Namun, menulis puisi, bagi saya lebih mengarah pada gagasan yang muncul secara tiba-tiba, atau yang berdekatan dengan “ilham”.
Bisakah puisi ditulis dengan mengabaikan datangnya gagasan sebagaimana saya maksud atau yang sebangsa itu, “ilham” misalnya? Ya, bisa. Contohnya? Puisi yang ditulis karena permintaan. Bagaimana jelasnya?
Akan saya beri tiga contoh.
Yang jelas, meski itu saya sebut sebagai ‘puisi permintaan’, atau bisa saja disebut ‘puisi dalam rangka’, ketika mengerjakannya sama seriusnya ketika saya menulis berita berdasar
tugas dari redaksi.
Nah, jika Anda seniman yang tinggal di Jawa Timur, insya Allah mengenal nama Bagus Putu Parto, seorang penyair, cerpenis, dramawan, dan pengelola Rumah Budaya Kalimasada di Blitar.
Beliau dikenal juga sebagai pemerhati literasi yang intens.
Sekira 4 tahun lalu, saya dihubungi Bagus Putu Parto, diminta untuk menulis puisi tentang (almarhum) R. Giryadi seorang penyair, dramawan, dan pemikir kebudayaan yang tinggal di Sidoarjo, dalam rangka mengenang 100 hari berpulangnya almarhum.
Ada lebih dari 80 penulis puisi yang berperan-serta dengan menulis puisi tentang kiprah sosok Giryadi yang lantas dibukukan dalam sebuah antologi, judulnya : ‘GIR’.
Saya pun menyanggupi permintaan Mas Bagus.
Dalam seminggu, sebuah ‘puisi permintaan’ itu, berhasil saya selesaikan.
Di bawah ini puisi tersebut.
TERUS MELANGKAH
Adalah jelajah
Tinggalkan jejak
Jelmakan tonggak
Adalah gerak
Tebarkan cerah
Hadirkan gairah
Inikah perjalanan keabadian, menoreh sejarah?
Kamu tak menoleh, terus melangkah
(2019)
Masih dalam kaitan ‘puisi permintaan’, saya sodorkan contoh lagi. Begini latar belakangnya.
Bagi wartawan di Surabaya, terutama yang berusia 60 tahun ke atas, nama Mas Harto atau H. Soeharto, 80, insyaAllah akan dikenal. Beliau puluhan tahun berkarier di Harian Surabaya Post.
Mas Harto pernah (ikut) mencatat sejarah akibat musibah jatuhnya pesawat haji Loftleider Icelandic di Colombo pada tahun 1978, dimana pesawat tersebut terbelah menjadi tiga bagian. Dari 262 penumpang, 183 jemaah meninggal.
Sebagai wartawan, tentu kejadian ini tak luput dari keinginan yang kuat untuk dituliskannya.
Setelah tiga bulan pasca-musibah, Mas Harto yang juga penumpang pesawat haji tersebut, sembuh dari cedera patah tulang salah satu kakinya. Kemudian beliau berhasil menulis dalam bentuk sebuah buku yang judulnya: ‘Menunggu Nikmat Ketiga’.
Setelah Mas Harto menulis buku perdananya itu, disusul beberapa buku lainnya tentang tragedi tersebut, baik yang ditulis lagi oleh Mas Harto maupun oleh penulis lain.
Buku terbaru tentang musibah jatuhnya pesawat itu, meski kejadian sudah lama berlalu, masih ada saja yang menuliskannya dalam bentuk buku, salah satunya berjudul ‘Musibah Itu Rahmat dan Nikmat’, ditulis oleh Abdul Hakim, S. Pd., M. Pd. I., terbit pada tahun 2021.
Berkaitan buku tersebut, saya diminta Mas Harto untuk menulis semacam pembuka dalam bentuk puisi, dan saya beri judul: ‘Titik Balik.’
Selengkapnya sebagai berikut:
TITIK BALIK
Takdir tak pernah salah alamat
Mendarat pada yang tepat
Dari yang papa sampai yang sejahtera
Dari Loftleidir Iceland tersebut
Pada 15 November 1978 mengangkut ratusan jemaah dari Tanah Suci
Terbelah tiga jelang mendarat di negeri Srilanka pada malam berkabut
Berkabarlah seluruh dunia
Tentang mereka yang mati syuhada dan luput dari maut
Kamu termenung sesudah musibah
menggetarkan segala relung
Menyadarkanmu jalan hidup menuju kesadaran baru
Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Adalah harapan Ibu
Hidup mestinya bukan kusam kelabu, tapi seperti warna senja: keemasan!
Semoga harapan itu menyertaimu
Minggu ke-3 Agustus 2021
Apakah setiap permintaan menulis puisi, saya penuhi? Kebanyakan, iya! Pernah juga saya menolak karena permintaan itu tema nya tidak saya kuasai. Terlalu berat.
Puisi dengan tema seputar kesenimanan (almarhum) R. Giryadi saya laksanakan karena saya kenal betul Gir, meski secara pribadi tidak akrab-akrab sekali, tapi secara kiprah insyaAllah: oke!
Juga mengenai puisi dengan tema musibah jatuhnya pesawat haji di Kolombo (sekarang disebut: Sri Lanka) pada tahun 1978, saya punya tiga buku mengenai itu, di samping saya kenal baik secara pribadi dengan Mas Harto, juga pernah saya wawancara podcast melalui channel saya ‘Informasi Amang Mawardi’ di YouTube selama lebih kurang 40 menit tentang dampak spiritual yang dialami sebagai salah satu korban musibah jatuhnya pesawat tersebut.
Atau tentang permintaan lagi dari Mas Bagus sekitar lima bulan lalu untuk menulis tentang (rencana) ngundhuh mantu salah satu putranya, dimana selain puisi dari saya, juga dari lebih kurang 60 penyair se-Indonesia (kebanyakan dari Jawa Timur) yang lantas dibukukan dalam buku antologi berjudul: ‘Di Pelaminan Angin Berbisik.’ Ini antologi puisi semacam nasehat pernikahan.
Ya, karena usia saya sudah jelang 70 tahun dengan perjalanan pernikahan 42 tahun, adalah faktor penting untuk mengiyakan permintaan Mas Bagus.
Dalam konteks holistik, apa yang dilakukan beliau melalui upaya-upaya literasi tersebut, adalah bagian dari silaturahmi budaya yang terus digulirkan Rumah Budaya Kalimasada.
Yang agak mengejutkan, puisi saya berjudul ‘Jangan Takut Duka Lara‘ ikut dibahas dalam kata pengantar yang ditulis oleh Prof. Dr. Tengsoe Tjahjono, bersama 5 penyair lain yaitu: Rusdi Zaki (Sidoarjo), Wina Wibowo Bojonegoro (Pasuruan), Sosiawan Leak (Solo), Yusri Fajar (Malang), dan Warok Sutedjo (Ponorogo).
Senangkah saya? Ya, senanglah. Meski senang atau susah, bagi saya adalah sebuah keniscayaan. Oleh sebab itu, dalam usia yang makin senja yang sebulan lagi 70 tahun, manakala rasa senang muncul, tentu saya syukuri dengan harapan jangan jatuh kepada atmosfer euforia. Ya, berusaha biasa-biasa saja.
Sebaliknya jika timbul kesusahan, berusaha saya ambil hikmah tanpa lupa doa disertai segera mengambil tindakan solutif agar susah itu tak berlarut-larut.
Oia, inilah puisi saya ‘Jangan Takut Duka Lara’.
JANGAN TAKUT DUKA LARA
Kehidupan adalah laut
Tak selamanya landai dan damai
Kehidupan adalah gurun
Panas dan sepi
Pasti ada oase bukan pantulan ilusi
Jangan takut duka lara, asal tetap bersama
Berlayarlah terus hingga pulau impian
Berjalanlah terus hingga tanah harapan
Seperti pesan Rumi : cinta itu ketika derita menjadi bahagia, tak tersisa duri nestapa
2023
(Amang Mawardi).