Para (Mantan) Wartawan di Surabaya yang Menulis Novel
KEMPALAN: Teman-teman saya yang wartawan di Surabaya yang se-angkatan dengan saya, pasti mengenal sosok Tjuk Suwarsono, wartawan senior, pernah jadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Surabaya Post.
Tjuk oleh banyak kalangan disebut-sebut sebagai salah satu suhu jurnalistik di Jawa Timur, selain almarhum Agil H. Ali, Dahlan Iskan, almarhum Peter Apollonius Rohi, Zainal Arifin Emka, Moh Anis, Dr. Dhimam Abror, dan beberapa nama lagi. Boleh juga disebut almarhum Errol Jonathans untuk jurnalistik radio.
Tjuk juga kakak angkatan saya di Akademi Wartawan Surabaya (AWS). Beliau Angkatan 1974, saya 1975.
Selain belajar di AWS, Tjuk juga pernah mengenyam pendidikan jurnalistik di Jerman dan Jepang. Mungkin ada lagi institusi pendidikan jurnalistik di luar negeri yang diikutinya yang saya tidak tahu.
Tentu saja, selain sehubungan lembaga pendidikan jurnalistik yang tadi saya sebut, lawatan-lawatannya ke beberapa negara seperti ke Amerika Serikat, China, Australia, dan sejumlah lainnya, memperkaya wawasan jurnalistiknya.
Sudah lama saya tak jumpa secara offline dengan Tjuk, mungkin ada 10 tahun. Selama ini hanya ngobrol-ngobrol kecil di jaringan pribadi gadget atau saling say hello di grup WA yang sama-sama kami ikuti.
Tanggal 12 Juli lalu saya menerima foto sebuah buku di nomor WA saya dari Tjuk Suwarsono. Di cover depan buku tersebut terlihat sesosok perempuan secara siluet membelakangi dengan ilustrasi bintang-bintang di angkasa. Di situ tertulis: Malam Tak Berujung.
Lantas saya respon: “Lho… opo iki, Mas Tjuk?”
“Ini novel, dik. Saya tulis sekitar 5 tahun lalu. Novel perdana dan terakhir. Satu-satunya novel saya, ya ini he-he-he.”
Maksud kalimat yang diucapkannya itu, saya maknai sebagai upaya dari sikap merendah, meski realitasnya Tjuk memang baru menulis 1 judul novel. Namun, siapa tahu setelah ini akan terus lahir novel-novel berikut dari tangan kreativitasnya.
Sebelumnya, saya sedikit heran, karena di bagian bawah judul novel tersebut tertera nama: Dewi Larasati.
“Saya malu, dik. Makanya saya pakai nama samaran,” lanjutnya. Begitulah style Tjuk Suwarsono, saya cukup mengenalnya.
“Tolong ya dik Amang, novel saya ini dibaca dan dikomentari. Segera saya kirim ke rumah panjenengan.” lanjutnya. Lantas Tjuk tanya alamat rumah saya.
Saya pikir novel akan dikirim via jasa ekspedisi, ternyata Tjuk datang sendiri ke rumah saya.
Dalam 2 minggu novel setebal 234 halaman ini saya selesaikan membacanya, dimana ditulis dengan cara bertutur orang pertama, dari tokoh sentral seorang wanita yang nama pendeknya: Ayu.
Karena ini novel biografi yang disampaikan secara monolog dengan penyertaan banyak kalimat langsung yang flashback, nyatanya menjadi tidak membosankan, setidaknya dari sudut persepsi saya.
Tjuk berhasil “memerankan” tokoh Ayu dengan sukses, meski saya sempat membatin, ‘terlalu cerdas bagi seorang gadis berusia 20-an tahun’, meski pada akhirnya saya mencoba berdamai dengan penyangkalan saya bahwa hal itu wajar-wajar saja mengingat Ayu adalah gadis cerdas yang pernah kuliah di fakultas kedokteran, kendati lantas pindah kuliah ke perguruan tinggi yang berbasis ilmu-ilmu sosial.
Soal bahasa dalam novel ini boleh jadi sulit mencari “belang-bonteng”-nya. Mungkin lantaran Tjuk lama menjadi editor koran. Ada kesan Tjuk taat pada azas berbahasa yang baik dan benar. Kendati begitu, berbagai konflik dalam novel ini mampu digulirkan Tjuk dengan lentur dan komunikatif.
Inti cerita: anak tunggal kontraktor kaya yang terpaksa menggantikan posisi ayahnya yang meninggal mendadak, dimana pada proses berikut tidak disangkanya bahwa dunia kontraktor adalah jagad laki-laki yang disekitarnya banyak menghampar ranjau-ranjau dan jebakan. Lebih-lebih bagi wanita secantik Ayu, yang kemudian menggiring dirinya ke dalam situasi pelik nyaris merontokkan harga dirinya.
Pada akhirnya Ayu lolos dari “sarang penyamun”. Namun, harus merelakan harta peninggalan ayahnya ludes untuk membayar denda adendum dari proyek-proyek yang dikerjakan ayahnya di sejumlah lokasi di Jawa dan Kalimantan, kendati ia sudah berusaha mati-matian mengatasinya.
***
Setelah itu diskusi tentang novel Malam Tak Berujung tidak saja disusul dengan pertemuan offline kedua kali di rumah saya, juga dengan bincang lanjutan secara digital.
Dalam benak saya, secara sekelebatan, timbul niatan: kapan saya bisa nyusul nulis novel sebagaimana dilakukan Tjuk Suwarsono dengan “Malam Tak Berujung”. Bukankah bekal keterampilan menulis sudah saya miliki. Bedanya, kalau dunia jurnalistik berbasis non-fiksi, sementara jagad per-novel-an (sastra) menjurus ke fiksi dan non-fiksi.
Perbedaan lain, kalau nulis reportase di koran, misal — “durasi” paling panjang boleh jadi cukup 5-6 seri pemuatan — sementara dengan novel bisa jauh lebih panjang.
Untuk novel sepanjang 234 halaman tersebut, Tjuk butuh waktu sebulan menyelesaikannya.
Deskripsi detailnya: Ibarat atlet, menulis reportase identik sprinter. Sedangkan untuk menulis novel dibutuhkan simpanan energi yang cukup dan nafas yang lebih panjang, mirip pelari maraton.
Nah, dari sini saya mencoba menimbang-nimbang, apa mampu saya menulis novel? Apalagi mengingat usia saya yang sebulan lagi 70 tahun.
Lantas lamunan saya memunculkan sosok-sosok (mantan) wartawan di Surabaya yang pernah nulis novel.
Sosok pertama yang muncul adalah Tiny Frida (Pos Kota, Surya).
Tiny ketika belum menjadi wartawan dikenal sebagai cerpenis produktif. Karya-karyanya selain cerpen juga sejumlah esai, sering dimuat di beberapa koran di Surabaya.
Seingat saya cerita bersambungnya berjudul Belantara Cinta pernah dimuat di majalah Liberty pada tahun 1980-an.
Lantas muncul nama Anshary Tayib (almarhum). Jurnalis yang pernah berkarir di majalah Semesta, majalah Liberty, dan Harian Surya ini, terbilang produktif menulis novel.
Beberapa kali saya melihat judul-judul cerita bersambungnya dimuat di Harian Jawa Pos dan Surabaya Post, seputar 20-30 tahun lalu. Ada sekian kali saya membaca pemuatan novel-novelnya itu.
Lantas muncul juga nama Syamsul Arifin (Memorandum, Surabaya Post).
Seperti juga Anshary Tayib, saya sering menjumpai cerita bersambungnya lebih dari sekali, masing-masing dimuat di Surabaya Post dan Jawa Pos.
Kebetulan saya dan Syamsul bertetangga. Dari posisi ini Syamsul bercerita bahwa biaya sekolahnya saat SMA maupun ketika kuliah di AWS, sebagian besar dari honor novelet-noveletnya yang dimuat di sejumlah majalah di Jakarta.
Kemudian Yuleng Ben Tallar (Kantor Berita ‘Antara’, Surabaya Post).
Jelang pensiun dari Surabaya Post dan sesudahnya, Yuleng yang juga dikenal sebagai kolektor lukisan, produktif menulis novel. Ada lebih dari lima judul novel yang telah ditulisnya.
Bahkan novel terakhirnya berjudul Menggapai Surga setahun sebelum beliau meninggal, dibedah di Hotel Garden Surabaya dengan pembicara Dahlan Iskan, Dr. Aqua Dwipayana, dan Toto Sonata. Saya bertindak sebagai moderator.
Arifin BeHa (Budi Hariono) saat menjadi koresponden Harian Pos Kota di Surabaya pernah menulis novelet di majalah wanita yang terbit di Jakarta, sebuah karya romantika yang disampaikan dengan nuansa humor. Saya pernah membacanya, hanya lupa di majalah apa novelet tersebut dimuat pada tahun 1980-an itu.
Ada lagi Iin Indiana. Mantan wartawan Kantor Berita ‘Antara’ dan kontributor Harian Kompas di Kuwait, pernah juga menulis novel. Sudah selesai, hanya belum ketemu penerbit. Hal ini disampaikan pada saya sekitar lima tahun lalu pada acara buka puasa Alumni AWS di Depot Prasmanan Bu Mus yang owner-nya alumnus AWS Angkatan 1976.
Anwar Hudiono wartawan Kompas yang pernah ditugasi sebagai pemimpin redaksi Harian Surya, setahu saya juga menulis novel. Paling tidak sebagian cerita bersambungnya pernah saya baca di Harian Surya, berlatar belakang salah satu kerajaan di Jawa Timur dalam genre silat.
Yang menarik adalah Mashuri. Saat berkarir sebagai wartawan di Harian Memorandum menjadi Juara I Lomba Sayembara Penulisan Novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2006, judul novelnya: Hubbu. Mashuri yang alumnus Fakultas Ilmu Budaya Unair jurusan Bahasa Indonesia, sekarang berkarier di Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur sebagai tenaga ahli.
Se-almamater dengan Mashuri, Sujai yang pernah menjadi wartawan Harian Surya, dikenal sebagai novelis produktif dan esais andal. Karya-karyanya beberapa kali memenangi penghargaan. Kini S Jai owner dari Pagan Press.
Gatot Susanto (Surabaya Post) yang sekarang pengusaha kuliner, juga menulis novel. Paling tidak saya ketahui dari postingan-postingannya di Facebook.
Begitu pula Henri Nurcahyo (Memorandum, Surabaya Post, Jakarta Jakarta). Bahkan Henri memuat secara serial novel karyanya di Facebook yang salah satu tokohnya seorang wanita perawat.
Siapa lagi?
Oiya, Widodo Basuki pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa ‘Jayabaya’ yang juga dikenal sebagai penggurit, pelukis, dan pematung, cerita bersambungnya berjudul Omah pernah dimuat di majalah tersebut saat awal masuk di ‘Jayabaya’.
Dari komentar Mas Wid di postingan saya di Facebook, majalah ini banyak menyimpan novelis berbahasa Jawa: almarhum Satim Kadaryono, almarhum Totilawati, almarhum Basuki Rachmad, dan Yunani.
Widodo Basuki selain menulis cerita bersambung Omah, juga menulis beberapa novel lagi dengan genre silat.
Di luar dugaan saya, Pei’i (Pos Kota, Surabaya Post) yang selama ini dikenal sebagai karikaturis tajam dan jeli, juga menulis novel.
Seputar 10 tahun lalu, serial novelnya dikirim ke email saya, tentang lika-liku seorang aktivis untuk saya komentari. Pei’i yang nama aslinya Ferry Suharyanto pada tahun 1978 pernah ditahan rezim Orde Baru bersama sejumlah aktivis mahasiswa lainnya. Pei’i saat itu Sekjen Senat Mahasiswa AWS.
Saya tidak tahu apa Sasetya Wilutama (Majalah Panjebar Semangat, SCTV, Arek TV) yang selama ini produktif nulis cerkak dan cerpen, juga menulis novel? Rasanya mustahil ‘Liksas’ (panggilannya oleh sejumlah teman akrabnya) tidak menulis novel. Kini Sasetya menjabat Humas Stikosa AWS.
Juga, Rusdi Zaki (Surabaya Post) dan Imong Mulyanto (Surabaya Post, Arek TV), saya tidak tahu apa mereka menulis novel. Kedua wartawan dan penyair ini, saya kenal sebagai editor sejumlah novel. Harapan saya, semoga mereka juga menulis novel. Atau siapa tahu sudah menulisnya.
Siapa lagi para (mantan) wartawan di Surabaya yang (pernah) menulis novel?
Mohon maaf kalau saya tidak menulisnya pada artikel ini. Bukan karena apa-apa, memang saya tidak tahu.
Oiya hampir lupa, Mochamad Tohir (majalah Liberty) juga menulis novel. Paling tidak saya ketahui dari informasi postingan-postingannya di Facebook, juga dari Baharmi salah satu sahabat Tohir. Kini Tohir tinggal di Blitar, bersama istri mengelola rumah makan spesialis nasi pecel.
Masih ada satu lagi, yaitu Azrul Ananda mantan pemimpin redaksi Jawa Pos. Cerita bersambungnya pernah dimuat Jawa Pos. Hanya, saat itu Azrul masih pelajar SMA.
Sebetulnya ada dua sosok lagi yang hendak saya catatkan di sini, tetapi mereka sudah lama bukan penduduk Surabaya saat menulis novel. Siapa?
Saya sebut saja, yakni Maria Andriana wartawati senior LKBN ‘Antara’. Andri yang pernah 4 tahun koresponden ‘Antara’ di Tokyo, bersama Eko Wienarto suaminya sekarang tinggal di Sumba.
Dari postingan-postingannya di Facebook, Andri saya ketahui menulis (sebuah) novel berbahasa Inggris.
Sedangkan Santoso (Jawa Pos) yang menjadi “warga” Surabaya saat mahasiswa AWS dan redaktur daerah Jawa Pos, sudah lama kembali ke kampung halaman. Saat pensiun menulis novel kisah percintaan TKW di Hongkong. Bondet Santos (nama akun di Facebook) pernah menjadi Ketua PWI Perwakilan Madiun.
Dalam kaitan “serupa tapi tak sama”, saya mencoba menyodorkan 2 nama, yakni almarhum Mohamad Ali penulis novel “Ibu Kita Raminten” dan Zoya Herawati penulis tujuh novel, saya nilai lebih kuat posisinya sebagai novelis dibanding posisi kewartawanannya.
Pak Ali pernah menjadi kontributor Surabaya Post di tahun 1970-an. Namun, lama sebelum itu beliau dikenal sebagai novelis dan penyair. Sementara Zoya saat mahasiswi Sastra Inggris di Jogja menjadi kontributor beberapa koran. Setelah menyelesaikan studinya, Zoya kembali ke Surabaya berprofesi sebagai guru dan tetap dengan kesastrawanannya.
***
Bagaimana posisi mereka di antara dunia jurnalistik dan sastra (novel)? Apakah cukup berimbang seperti yang dilakukan Putu Wijaya, Gerson Poyk, Arswendo Atmowiloto, Noorca M. Massardi, Seno Gumira Ajidarma, dan sejumlah sosok lain di Jakarta?
Rasanya –bagi saya– untuk rekan-rekan wartawan di Surabaya, lebih condong menggeluti dunia jurnalistik dibanding menghasilkan novel.
Barangkali yang mendekati itu Syamsul Arifin. Atau boleh jadi, juga Anshary Tayib.
***
Ketika saya informasikan sejumlah nama para (mantan) wartawan di Surabaya yang saya sebut di atas, juga menulis novel, apa kata Tjuk Suwarsono?
“Lho… Iya ta. Ayo dik, mereka kita undang. Kita bikin kumpul-kumpul, ngobrolin novel,” ujar Tjuk antusias. “Nanti saya tuan rumahnya,” tambahnya.
Wah, asyik iki !
(Amang Mawardi: Penulis dan Jurnalis Senior)